BPS: Lulusan SMK Banyak Menganggur Sepanjang 2017

0
616

Jakarta, CNN Indonesia — Pemerintah gencar mendorong anak Indonesia untuk menuntaskan pendidikan 12 tahun hingga jenjang sekolah menengah, khususnya Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). SMK digadang-gadang bakal jadi pencetak tenaga kerja yang siap terjun ke lapangan.

Akan tetapi, justru temuan berbeda dipaparkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Belum ada perhatian serius terhadap pendidikan 12 tahun. Ditambah lagi, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2017 justru penyumbang terbesar angka pengangguran di Indonesia berasal dari lulusan SMK yakni sebanyak 11,41 persen.

“Lulusan SMK yang digadang-gadang langsung bekerja, malah nganggur. Kami pun berdialog dengan berbagai stakeholder, secara umum ada semacam miss match antara demand side dan supply,” ujar Ubaid Matraji, Koordinator Nasional JPPI dalam sebuah forum di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Lebih lanjut lagi Ubaid menjelaskan, sebenarnya kebutuhan akan tenaga kerja banyak, tetapi tenaga kerja yang tersedia tidak memiliki keahlian yang dibutuhkan dunia usaha. Selain itu, lanjutnya, ada kesan akses lebih diutamakan. Pembangunan sekolah gencar di berbagai wilayah tapi tidak diikuti tata kelola yang baik termasuk laboratorium yang tidak up to date. Ubaid memberikan contoh bengkel untuk siswa jurusan otomotif.

“Servis bengkel motor masih utak atik kaburator, padahal motor-motor zaman sekarang sudah enggak pakai,” tambahnya.

Sementara itu, Abdul Waidl, Koordinator Konsorsium Ketenagakerjaan memperingatkan bahwa ke depan, segala sesuatu akan berjalan otomatis nyaris tanpa bantuan tenaga manusia. Ia mengambil contoh ritel milik Jack Ma yang hanya memiliki sedikit pegawai sebab banyak hal digantikan oleh mesin berteknologi canggih. Belum lagi industri manufaktur yang memang menggunakan banyak mesin. Kemudian, apakah tenaga manusia benar-benar tak lagi dibutuhkan?

“Nanti muncul pekerjaan baru, tapi perlu keahlian. The World Economic Forum pada 2016 sempat mencetuskan bahwa nanti 65 persen anak-anak SD kita di masa depan tak akan merasakan pekerjaan yang kita rasakan sekarang,” kata Abdul dalam kesempatan serupa.

Kenyataan pahit ini memang mau tidak mau dihadapi para calon pekerja. Ia menyoroti bukan lagi soal ketimpangan demand dan supply. Namun soal input. Pertama, input siswa SMK. SMK selama ini memiliki passing grade lebih rendah daripada Sekolah Menengah Atas (SMA).

Abdul pun memberikan contoh perbandingan passing grade antara SMK dan SMA dari hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada 2016. Di Jakarta, passing grade untuk SMA sebesar 79,11 sedangkan SMK 66,17. Kota lain misalnya Semarang, untuk SMA sebesar 58,63 sedangkan SMK hanya 24,50. Passing grade rendah tak menuntut calon siswa untuk memiliki NEM atau nilai tinggi.

Kedua, input guru. Kini, jumlah SMK di seluruh Indonesia sekitar 13.710 sekolah, tetapi guru produktif hanya 22 persen. Guru produktif ialah guru yang mengajar mata pelajaran jurusan. Sedangkan 78 persen terkait mata pelajaran lain seperti agama, Bahasa Indonesia dan Kewarganegaraan.

Tak hanya jumlah, persoalan guru ini juga terkait kompetensi. Mungkin guru tersebut memang mengampu mata pelajaran produktif tetapi kadang latar belakang pendidikan tak sesuai. Kemungkinan lainnya, latar belakang mendukung, tapi sang guru tak pernah terjun ke lapangan, padahal sekolah kejuruan menuntut anak untuk terlibat aktif bukan duduk, mendengarkan dan menulis.

“Input kita kelas dua, guru-guru enggak memenuhi syarat, apa yang kita harapkan?” keluhnya.

Revitalisasi SMK

Meski presentasi angka pengangguran dari lulusan SMK memang yang terbesar, tetapi Saryadi Guyatno, Kepala Subdit Penyelarasan Kejuruan dan Kerjasama Industri, Kemendikbud mengajak publik untuk beranjak ke angka faktual. Menurutnya, bila dikonversikan ke jumlah riil, penganggur terbuka dari lulusan SMA justru jumlahnya lebih besar.

Kondisi sekarang, pengangguran terbuka mencapai 7,04 juta orang. Lulusan SMK menduduki presentase 11,41 persen atau sebanyak 1,6 juta. Sedangkan lulusan SMA yang memiliki presentase 8,29 persen bila dikonversikan ke angka riil menjadi 1,9 juta orang.

“Penghitungan presentase ini bedasarkan jumlah lulusan. Yang masuk SMK tidak sebanyak SMA sehingga presentasenya lebih tinggi. Dari angka riil ini, kita melihat bahwa lulusan SMK itu enggak kalah dari SMA,” ujarnya.

Saryadi tidak menampik paparan persoalan-persoalan yang dihadapi SMK kini. SMK perlu revitalisasi, tapi tak bisa sekaligus. Kemendikbud menjalankan revitalisasi secara bertahap mulai dari 219 SMK yang menjadi sasaran program. Program revitalisasi meliputi empat hal yakni, satuan sistem pembelajaran, satuan pendidikan, peserta didik dan pendidik dan tenaga kependidikan.

“Sasarannya untuk mewujudkan keselarasan dunia pendidikan dengan dunia industri,” kata Saryadi.

Ia pun menjelaskan, implementasi revitalisasi ini bisa terwujud misalnya dengan adanya kurikulum yang fleksibel. Fleksibel artinya bisa mengakomodasi perkembangan dunia industri. Harapannya sekolah dapat melakukan kerjasama dengan industri atau mengadakan pelatihan untuk guru. Kerjasama ini memungkinkan untuk diadakannya sertifikasi sehingga siswa yang lulus dapat langsung mengisi slot di perusahaan.

Bakrun, Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan dalam kesempatan serupa menambahkan bahwa kepala sekolah juga termasuk sasaran revitalisasi. Kepala sekolah SMK diharapkan merupakan orang yang memiliki kegiatan wirausaha atau berjiwa wirausaha. Hal ini untuk menumbuhkan semangat kewirausahaan para siswa SMK.

“Revitalisasi tuntas sampai 2025. Kami inginnya kalau bisa 2019, tapi kan tidak mungkin,” katanya pada CNNIndonesia.com.

Ia pun berkata bahwa selama ini pemerintah melalui Kemendikbud telah melakukan berbagai usaha, tapi kurang terdengar gaungnya. Ada begitu banyak persoalan tapi seringkali Kemendikbud yang jadi sasaran protes publik.

Perlu komitmen

Sebagai pengamat sekaligus praktisi pendidikan, Jimmy Phaat berpendapat bahwa selain peningkatan jumlah dan kualitas, pengajar juga perlu tahu budaya kelas bawah. Pengajar yang mengenal karakter dan budaya siswanya, diharapkan bakal membuat siswa betah belajar di sekolah.

“Berapa presentase anak SMK dan SMA? Asumsi saya SMK lebih banyak. Hasrat belajar tak begitu jalan karena pengajar kurang memahami budaya anak-anaknya,” jelas Jimmy.

Selain pemahaman budaya siswa, sekolah pun perlu menumbuhkan budaya produktivitas. Namun, Jimmy tak melihat hal ini dijalankan sekolah padahal nanti begitu lulus siswa akan langsung terjun ke dunia kerja, dunia yang berbeda dengan dunia sekolah.

Jimmy pun memberikan catatan terkait ujian di SMK. Model ujian antara SMK dengan SMA harus dibedakan. SMK melihat kompetensi kemampuan sesuai dengan jurusan dengan banyak praktek lapangan, bukan mengerjakan soal di belakang meja.

“Anak-anak SMK ini kebanyakan jurusan mesin sastra. Mereka enggak pernah ketemu mesin, ketemunya di buku-buku, padahal mesin yang di pabrik beda dengan yang di buku. Mana bisa mereka kerja seperti yang kita harapkan, kebiasaan menghapal. Ini sama saja seperti menyamakan model penilaian universitas dan akademi,” tuturnya.

Meski Kemendikbud mengklaim telah melakukan berbagai hal, Jimmy menekankan bahwa perlu ada komitmen demi mengusahakan perbaikan pendidikan tingkat SMK. “Saya sampai bosan mendengar bahwa kurang publikasi. Ayolah, ini perlu komitmen bersama,” tutupnya. (rah/rah)

Leave a reply