Masih Perlukah Sekolah Islam Terpadu di Indonesia?

0
716

Jakarta, Gatra.com – Setidaknya beberapa dekade belakangan ini, sekolah berlabel Islam Terpadu (IT) bermunculan di Indonesia. Sekolah IT sendiri muncul di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang pendekatannya cenderung sekuler. Hal ini tentu berbeda dari madrasah-madrasah yang berada dalam pengawasan Kementerian Agama (Kemenag).  

Sekolah IT sendiri muncul dengan kesan modern namun tetap agamis, berbeda dengan madrasah yang terkesan tradisional. Sekolah IT sendiri biasanya lebih mahal daripada madrasah atau sekolah umum lainnya. Namun, tak sedikit yang mempertanyakan akreditasi sekolah-sekolah mahal berlabel Islam ini.

Pengamat Pendidikan sekaligus Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau Network for Education Watch Indonesia (NEW Indonesia), Ubaid Matraji mengatakan bahwa sekolah IT hadir atas dasar kemauan masyarakat yang ingin membangun sekolah dengan mengelaborasikan pengetahuan umum dengan agama di bawah Kemendikbud. Sementara itu, kurikulum pelajaran agama di sekolah IT sendiri menjadi kebijakan tiap sekolah/yayasan dan tidak diatur oleh pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud.

“Kurikulum nasional tidak mengatur jauh sampai Islam Terpadunya. Muatan-muatan Islamnya itu dari sekolah sendiri tetapi mata pelajaran yang wajib sudah dari Kemendikbud,” ujarnya kepada Gatra, baru-baru ini.

Untuk rujukan pendidikan Islamnya sendiri, kata Ubaid, sangat beragam tergantung pada kecenderungan pengelola sekolah itu sendiri. Kurikulum pengajaran Agama Islam-nya pun belum diatur oleh Kemendikbud. 

Hal ini tentu turut membuka peluang bagi oknum yang ingin mengajarkan paham ekstrem dan intoleran atas nama agama melalui bangku sekolah. Menurut Ubaid, Kemendikbud sudah seharusnya mengatur konten-konten ajaran Islam dalam sekolah-sekolah IT. 

“Ya bahaya sekali kalau tidak diatur. Kita tidak tahu kecenderungan Islam seperti apa yang diajarkan oleh sekolah-sekolah berbasis Islam Terpadu itu,” imbuhnya.

Dari segi konten, lanjutnya, agama merupakan suatu konten yang baik. Namun, dalam kegiatan belajar mengajar, guru bisa saja mengajak para murid untuk membangun toleransi dan kebersamaan atau justru malah memberikan pemahaman ekstrem dan radikal.

Bagaimana konten itu dielaborasi, bagaimana konten itu di kontekstualisasi, bagaimana teks-teks agama itu ditafsirkan, itu yang dalam tanda kutip rawan. Jadi bisa dibawa ke kanan, bisa dibawa ke kiri,” tutur Ubaid.

Terkait hal tersebut, dia berpandangan bahwa Kemendikbud harus segera melakukan evaluasi terhadap sekolah-sekolah IT. Bahkan, jika sekolah-sekolah IT ini banyak melakukan penyimpangan dan tidak terdapat banyak perbedaan dengan sekolah lainnya, menurut dia lebih baik ditiadakan saja.

“Jelas kalau mau mengembangkan soal konten agama ya mending diarahkan ke madrasah yang kompetensi gurunya jelas, memahami tentang konten keislaman,” katanya.

Dia mengungkapkan, berdasarkan data dari lembaga-lembaga riset independen menunjukkan bahwa guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum saja banyak terpapar paham-paham radikalisme. Untuk itu, dia mengimbau agar pemerintah menjadikan data-data tersebut sebagai referensi dalam membuat kebijakan awal dalam mengatur sektor pendidikan dan pengajar di Indonesia.

“Jadi saya pikir sebagai pengelola institusi pendidikan, penting juga untuk berkolaborasi dengan Kemenag lalu melakukan strategi-strategi yang lebih efektif untuk dijalankan oleh sekolah-sekolah,” katanya.

Secara lebih lanjut dia menjelaskan, hampir tiap tahun ditemukan kasus pertanyaan-pertanyaan dalam ujian yang menjurus ke paham radikalisme. Tidak hanya itu, pada tahun 2019 lalu juga ditemukan kasus buku-buku ajar di sekolah yang mengajarkan konsep khilafah islamiyah yang telah dilarang oleh pemerintah RI.  “Artinya kalau tiap tahun terjadi hal seperti ini itu kan artinya pembiaran,” tegasnya.

Untuk itu, dia menilai pemerintah sudah seharusnya melakukan langkah-langkah investigatif, preventif terkait hal tersebut. Selain itu, dia juga meminta adanya kebijakan tentang perbukuan nasional.

Leave a reply