Potret Gizi Buruk, Kemiskinan dan Pendidikan di Indonesia
Jakarta – Masalah gizi buruk belakangan tengah melanda sejumlah wilayah di Indonesia. Di Kabupaten Asmat, Papua, ratusan orang terdeteksi wabah campak dan gizi buruk. Akibatnya, 60 orang lebih meregang nyawa.
Di Wonogiri, Jawa Tengah, jumlah penderita anak gizi buruk hingga Desember 2017 sebanyak 20 balita. 16 merupakan sisa kasus tahun 2016, 1 kasus baru dan 5 kasus lama kambuh, dan 2 balita dinyatakan telah sembuh.
Gizi buruk tak cuma terjadi di daerah. Di DKI Jakarta yang notabene menjadi pusat ekonomi dan pemerintahan negara, masalah gizi buruk juga terjadi pada warga ibu kota. Informasi dari Kepala Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara, M Helmi, pada 2017, terdapat 194 orang menderita gizi buruk.
Jumlah tersebut kemudian berkurang pada akhir Desember 2017 menjadi 34 orang penderita gizi buruk. Mereka mengalami gizi buruk dengan penyakit penyerta seperti TB (Tubercolosis), dan sisanya karena masalah kurang gizi.
Guru Besar Sosiologi Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Musni Umar prihatin atas masalah gizi buruk yang masih saja terjadi di tanah air. Menurutnya pembangunan ekonomi yang dilakukan sejak zaman Orde Baru hingga kini era Presiden Joko Widodo hanya bisa dinikmati kelas menengah atas, tak menyentuh kelas bawah. Salah satu buktinya masih terjadinya gizi buruk di tanah air.
Menurutnya, masalah gizi buruk erat kaitannya dengan kemiskinan. Sementara kemiskinan bermuara pada masalah pendidikan. Dia mengatakan, dengan tak adanya pendidikan mengakibatkan seseorang sulit untuk bekerja. Hal itu berujung pada kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
“Jadi jangan Anda lihat gedung-gedung pencakar langit banyak lalu banyak mobil berseliweran, tapi masih banyak yang kehidupannya memprihatinkan. Di Jakarta misalnya, ada 220 kawasan kumuh dan miskin. Jadi pembangunan kita itu mengakibatkan kesenjangan dan ketidakadilan karena yang menikmati kalangan menengah atas yang punya pendidikan. Sementara masyarakat bawah yang pendidikannya tidak memadai tidak bisa kerja, tidak bisa bisnis. Jadi gizi buruk itu dampak dari pembangunan, tapi sumbernya pendidikan tidak ada,” kata Musni Umar kepada merdeka.com, Senin (5/2) malam.
Dia mengatakan solusinya adalah pendidikan. Dia memberi contoh China. 33 tahun lalu, China mengutamakan pendidikan pada warganya. Hasilnya, China kini menjadi negara maju dengan teknologi dan hasil industri yang berhasil dijual ke seluruh dunia.
“Sama juga dengan Singapura. Pendidikan digenjot. Jepang juga sama. Mereka kalah Peran Dunia II lalu pemuda mereka kirim ke AS buat belajar hasilnya sekarang mereka petik,” katanya.
Dia menjelaskan, sejak zaman Presiden Soeharto, orientasinya fokus pada pembangunan ekonomi. Hal itu dilanjutkan di era Reformasi dan kini di era Jokowi dengan pembangunan infrastruktur. Dia mengakui memang ada kemajuan. Namun, yang menikmati hanya masyarakat kelas menengah ke atas.
“Hasilnya sekarang gizi buruk karena kemiskinan. Apa Anda yakin dengan pembangunan infrastruktur akan mengubah? Tidak akan. Rakyat akan tetap miskin. Yang menikmati hanya orang-orang bermobil. Padahal semua pembangunan itu dibiayai oleh utang. Jadi kondisi kita di masa depan bisa lebih berat,” katanya.
Dia menegaskan pendidikan harus diutamakan buat mengatasi masalah kemiskinan. Dia mengakui pemerintah memang sudah mengalokasikan 20 persen dari APBN buat pendidikan. Namun, kata dia, jumlah tersebut tak seluruhnya untuk pendidikan masyarakat.
“Yang menikmati uang itu bukan cuma Kemendikbud, di situ ada juga Kemenhub yang ambil uang dari situ untuk pendidikan atau pelatihan, Kemendagri dari situ, untuk guru dan lain-lain dari situ juga. Coba hanya untuk pendidikan dari SD sampai perguruan tinggi, pasti bisa kita lihat signifikan hasilnya,” katanya.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.