Duduk Perkara Guru Honorer Sugianti Memperjuangkan Status PNS
Empat tahun lebih, Sugianti, guru honorer di Jakarta Utara, menempuh jalur hukum demi memperjuangkan haknya diangkat sebagai PNS.
tirto.id – Sugianti (43) tak bisa menutupi raut muak saat menceritakan apa saja yang sudah dia lakukan demi mendapat status Pegawai Negeri Sipil (PNS). Upaya birokrasi, bahkan jalur hukum, sudah dia tempuh dan tak ada hasil. Pemerintah enggan memberi kepastian.
Guru di SMP 84 Koja Jakarta Utara ini telah menjadi tenaga honorer sejak 2005. Pada November 2013, dia mengikuti tes CPNS jalur honorer kategori II dan dinyatakan lolos oleh Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Nasional (BKN) pada Februari 2014.
Semua kualifikasi yang disyaratkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 tentang Pengangkatan Honorer dari jalur kategori II telah ia penuhi.
Segala dokumen yang disyaratkan untuk mendapatkan Nomor Induk Pegawai (NIP) segara disiapkan. Kemudian Sugianti mantap mengirimnya ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Badan Kepegawaian Daerah, hingga BKN.
Tapi dokumen tak berbalas; NIP tak pernah sampai.
“Nama saya ternyata belum termasuk dalam daftar memperoleh NIP. Itu sekitar Desember 2015, sudah hampir dua tahun [setelah dinyatakan lolos],” kata Sugianti kepada reporter Tirto, Selasa (29/10/2019) pagi.
Sugianti tetap menyandang status guru honorer dengan gaji setara Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI 2019, Rp3,9 juta. Sementara empat rekannya yang sama-sama lolos seleksi telah menerima gaji plus tunjangan hingga Rp14 juta per bulan.
Suatu ketika Sugianti pernah meminta penjelasan dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Badan Kepegawaian Daerah. Namun jawaban yang didapat berbeda-beda. “Ada yang [menjawab] berkas saya hilang, ada yang alasan berkas saya tidak diantar ke BKD.”
Sugianti jengah, lantas melayangkan somasi ke Dinas Pendidikan DKI Jakarta pada Maret 2016.
Somasi dijawab lewat Surat Dinas Pendidikan DKI Jakarta No. 9999/-089. Di sana dinas menjelaskan alasan yang bagi Sugianti tak masuk akal:dia tak memenuhi syarat karena berpindah-pindah tugas dari Sumatera Selatan, Mojokerto, hingga terakhir di SMP Negeri 30 Jakarta. “Padahal saya mengajar sejak 2005 ya di SMP 84 Jakarta sampai sekarang.”
Surat tersebut lantas dijadikan objek gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara pada Desember 2016. Menurutnya surat itu cacat materi, dan karenanya tidak berlaku.
Persidangan memakan waktu satu tahun lebih. Selama itu pula Sugianti tetap menjalankan kewajibannya mengajar.
Menggugat Empat Instansi
Maret 2018, setelah kalah dan banding, gugatan tersebut akhirnya dimenangkan oleh mahkamah Mahkamah Agung (MA) dengan status inkracht.
Dinas Pendidikan DKI lalu memberikan rekomendasi berupa proses ulang penetapan NIP yang sempat tertunda, yang didapat pada 2014. Status Sugianti akan jelas sebentar lagi.
Sialnya, ketika pemberkasan ulang, upaya tersebut dimentahkan oleh BKN.
“BKN menganggap proses ini sudah berakhir di 2015, tanpa mengindahkan adanya putusan baru. Intinya, mereka tidak mau memproses dan mengembalikan berkas ke BKD,” keluhnya.
Sugianti lalu berupaya mengonfirmasikan jawaban itu ke BKN. Namun jawaban yang ia dapat berbeda dengan keterangan resmi yang dikirim BKN lewat surat bernomor 0579/KR.V.25.3/IX/2018.
“Surat yang dikeluarkan BKN dan jawaban mereka, lisan dan tulisan, itu berbeda. Tertulis mereka anggap batas waktunya sudah berakhir, namun secara lisan mereka memberikan alasan bahwa BKD itu memberikan usulannya tidak lengkap. Jika BKD melengkapi berkas akan kami proses.” Merasa dipermainkan, Sugianti kembali menempuh jalur hukum.
Namun, kali ini, bukan hanya satu instansi yang ia gugat. Dalam perkara perdata nomor 1916/SK/PENGA/Inadt/2019/PN.Jaktim di PN Jakarta Timur itu, ada empat pihak sekaligus yang ia gugat. Mereka adalah Gubernur DKI Jakarta, Menteri PAN-RB, Dinas Pendidikan DKI Jakarta, dan BKN. “Supaya ketika ada putusan mereka tidak saling lempar bola,” terangnya.
Kuasa hukum Sugianti, Pitra Romadoni, mengatakan kliennya juga menuntut ganti rugi sebesar Rp5 miliar kepada para tergugat. Angka ini dihitung berdasarkan kerugian materi yang diderita Sugianti selama belum diangkat menjadi PNS sampai sekarang.
BKN dan Disdik DKI Lepas Tangan
Kepala Biro Humas BKN Mohamad Ridwan membenarkan Sugianti tidak bisa diangkat karena semua proses pemberkasan selesai tahun 2014.
“Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 mengamanatkan bahwa proses pemberkasan Tenaga Honorer Kategori 2 berakhir pada 30 November 2014,” ucapnya, kemarin (28/10/2019), dilansir dari Antara. BKN tidak dapat memproses berkas Sugianti karena tidak ada lagi payung hukum yang mengatur itu.
Ridwan lantas melempar bola ke Pemprov DKI Jakarta yang melakukan pemberkasan pengangkatan Sugianti. Menurutnya sampai batas waktu yang ditentukan, BKN tidak pernah menerima pengajuan berkas atas nama Sugiarti, guru honorer di SMPN 84 Koja, Jakarta Utara.
“Bagaimana mungkin kami akan menindaklanjuti?” katanya.
Kepala Bidang Pendidikan dan Tenaga Kependidikan Dinas Pendidikan DKI Jakarta Didih Hartaya mengatakan saat berkas diterima, mereka menerima laporan terkait dugaan kesalahan persyaratan CPNS milik Sugianti.
“Ditemukan ada ketidaksesuaian data. Yang dapat diangkat itu yang sudah bekerja di pemda terhitung 1 Januari 2005, bu Sugianti itu baru mengajar di SMP 84 itu 18 Juli 2005. Telat enam bulan,” kata Didih. Karena itulah pengangkatannya ditangguhkan.
Dia juga menegaskan gugatan terhadap instansinya salah alamat. “Karena bu Sugianti bisa jadi CPNS berkat dinas yang mengusulkan. Dinas Pendidikan DKI itu rumahnya Bu Sugianti. Masak rumah sendiri digugat? Kan, lucu,” katanya.
Sugianti jelas tidak menganggap itu lucu. Dia menggugat ‘rumahnya’ sendiri karena bertahun-tahun bekerja tanpa kejelasan status.
Saat ini, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh Sugianti adalah meminta diskresi atas PP No. 56 tahun 2012 tersebut ke Kementerian PAN-RB, kata Didih. “Itu solusi alternatifnya,” kata Didih.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai apa yang dialami Sugianti adalah wajah buruknya nasib guru honorer di Indonesia.
“Ini dirasakan juga oleh guru-guru lain. Mereka adalah korban PHP kebijakan pemerintah yang semu. Hanya janji manis tapi pahit pada kenyataannya,” ujarnya kepada reporter Tirto.
“Saya merasa ada permainan, saya dilempar sana sini, secara birokrasi menyulitkan,” katanya.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.