Laporan Akhir Tahun Pendidikan 2017: Menyambut Revolusi Industri 4.0

0
595

ERA disrupsi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sudah mulai dirasakan di berbagai negara maju. Di antaranya pada sektor industri media massa berbasis cetak.

Laju penetrasi internet yang begitu masif menghasilkan beragam inovasi perangkat lunak berteknologi canggih yang memikat masyarakat. Mengakses informasi berupa berita kini tidak lagi harus dengan memegang puluhan lembar kertas berukuran besar. Walakin, pembaca cukup menggenggam telefon seluler pintar yang terkoneksi dengan internet.

Era disrupsi TIK bukan hanya bakal menggerus bisnis konvensional semacam media massa cetak, melainkan juga mengubah ekosistem dunia pendidikan, susunan baku lapangan pekerjaan, dan struktur interaksi antarmanusia.

Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi memperkirakan, datangnya disrupsi TIK ke dalam negeri bisa 5-10 tahun ke depan atau bahkan dimulai esok hari. Manfaat dan mudaratnya tidak bisa diukur secara pasti dan kapan akan terjadi. Yang jelas, era yang—oleh Kemenristekdikti—disebut Revolusi Industri 4.0 itu pasti datang ke Indonesia, cepat atau lambat.

”Contoh paling mudah yang sudah dirasakan dalam era disrupsi ini adalah perkuliahan tidak akan banyak secara tatap muka di kelas. Bisa melalui video conference, e-learning, dan distance learning. Kalau itu bisa dilakukan, perguruan tinggi harus mulai mencobanya. Ini yang harus kami lakukan, tetapi saya belum membuat regulasinya,” kata Menristekdikti Mohamad Nasir di Kantor BPPT, Jakarta, Rabu 13 Desember 2017.

Ia mengatakan, dengan pola kuliah seperti itu, kurikulum pendidikan tinggi nasional tidak secara otomatis harus berubah.

Meskipun demikian, kompetensi para dosen sudah mutlak harus ditingkatkan. Pasalnya, kuliah e-learning akan mereduksi interaksi antara dosen dan mahasiswa.

Jika dosennya tidak mampu menjelaskan mata kuliah secara komperehensif dan jelas, mutu lulusan yang akan dipertaruhkan.

”Kompetensi dosen harus di-upgrade. Dosen yang tidak mau meng-upgrade diri pasti nanti ketinggalan,” tuturnya.

Direktur Jenderal Kelembagaan Kemenristekdikti Patdono Suwignjo menjelaskan, salah satu cara yang dilakukan Kemenristekdikti untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0 adalah merevitalisasi 12 politeknik.

Kemenristekdikti juga sudah menyempurnakan regulasi yang melegitimasi pendidikan jarak jauh. ”Nanti kami akan tambah lagi aturan-aturan yang menyesuaikan dengan perkembangan implementasinya,” katanya.

Ia mengatakan, Revolusi Industri 4.0 akan banyak ”memakan korban”. Pekerjaan yang dulu bisa dilakukan secara manual, ke depannya bisa dilakukan oleh mesin. Di lain sisi, datangnya era disrupsi ini juga akan melahirkan banyak profesi dan lapangan pekerjaan baru, termasuk membuka pendirian program studi baru di semua kampus.

”Nanti, pekerjaan yang tidak ada, prodinya akan ditutup karena sudah tidak dibutuhkan. Misalnya, pekerjaan yang sifatnya inspeksi, nanti bisa dilakukan oleh robot. Nanti, program studi yang masih menangani masalah itu akan ditiadakan. Kemudian kompetensi apa yang harus dibangun, itu nanti didesain melalui kurikulum,” ucapnya.

Ia menuturkan, kecakapan dan visi rektor dalam membaca tantangan masa depan menjadi hal yang paling mendasar jika kampusnya ingin tetap eksis dan banyak peminat.

Menurut dia, pemimpin perguruan tinggi harus mulai mengidentifikasi mata kuliah apa saja yang akan tetap diajarkan dan harus segera ditinggalkan.

”Lalu kemampuan para dosennya untuk mengubah materi kuliah yang face to face menjadi materi kuliah yang distance learning. Kalau ada dosennya, saat dia menjelaskannya kurang bagus, mahasiswa bisa bertanya. Kalau distance learning kan tidak ada dosennya. Maka, materi pembelajarannya harus lebih lengkap dan jelas daripada materi pembelajaran face to face,” ujar Patdono.

Ia menyatakan, selain kompetensi dosen, infrastruktur IT harus mulai mendapat perhatian serius di semua kampus.

”Di Swiss, untuk mengubah satu materi pembelajaran face to face menjadi distance learning dibutuhkan 50 ahli dalam waktu enam bulan. Jadi, memang sangat sulit. Kami belum bisa memastikan kapan akan mulai dirasakan era disrupsi ini. Nanti, tahun 2018 baru akan dibahas lebih spesifik lagi,” tuturnya.

Berkat kemajuan teknologi, tembok kelas tak lagi menjadi sekat dalam mengakses pendidikan. Siswa bisa belajar di mana saja, kapan saja. Cukup dengan gawai pintar dan jaringan internet, dia bisa belajar ke mana saja.

Tren baru

Rektor Institut Teknologi Bandung Kadarsah Suryadi menyebutkan, perguruan tinggi telah menanggapi secara cepat tren akibat dari perubahan ini.

Beberapa waktu lalu, di Praha, diselenggarakan pertemuan rektor sedunia. Bahasan utamanya tentang perubahan yang kian cepat dan dampaknya terhadap perguruan tinggi.

Setidaknya, ada lima tren baru yang diprediksi dalam pertemuan tersebut. Pertama, demokratisasi akses pengetahuan. Setiap orang, siapa pun, dapat dengan mudah mengakses pengetahuan karena kemajuan teknologi digital.

Kedua, teknologi digital yang mendorong pembelajaran tidak perlu lagi di dalam kelas. Dosen tidak perlu lagi bertatap muka dengan mahasiswa. ”Meskipun demikian, masih ada atmosfer yang tidak mungkin hilang dan tergantikan,” kata Kadarsah.

Ketiga, integrasi dengan dunia kerja yang bergerak cepat. Ini seiring dengan tren keempat, mobilitas, yakni interaksi lintas budaya akan sangat cepat terjadi. Apalagi, mengingat pada 2035, di sejumlah negara, generasi mudanya akan hilang separuh.

Dampaknya, akan ada permintaan generasi muda dari belahan bumi lainnya. Kelima, persaingan yang ketat untuk mendapatkan dana dan pasar.

Tren itu pun akan diimbangi oleh permintaan agar sumber daya manusia mampu menjadi bagian aktif dari perubahan itu.

Kadarsah mengatakan, teknologi akan memaksa sumber daya manusia bergerak lebih cepat untuk memproses penyampaian barang. Mereka juga harus mempelajari keterampilan baru karena perubahan lapangan kerja. Terutama, adanya prediksi bahwa pada 2025, 50% lapangan kerja akan didominasi oleh komputer, robot, dan teknologi informasi.

Perubahan itu pun mendorong SDM lebih adaptif terhadap fluktuasi ekonomi. Perusahaan-perusahaan dituntut menyiapkan perlakuan yang berbeda bagi empat generasi, yaitu generasi X, Y, Z, dan milenial. Demikian juga dengan keuntungan demografi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Kadarsah juga mengatakan, perubahan itu pun harus diimbangi oleh produk hukumnya.

Perguruan tinggi memiliki peran besar dalam merespons perubahan itu. Diakui Kadarsah, ITB telah melakukan itu sejak lama.

Ia mencontohkan, keterampilan komputer sudah menjadi mata kuliah wajib sejak dekade 1980.

Ditambah lagi, keterampilan untuk menganalisis data yang dikemas dalam mata kuliah statistik. Bahkan, untuk beberapa program studi, wajib menguasai sistem permodelan.

Selain itu, atmosfer untuk melahirkan inovasi terus didorong dengan mendekatkan diri pada industri dan masyarakat. Para lulusan, sejak mahasiswa, diupayakan menjadi bagian dari kerja sama lintas disiplin. Harapannya, mereka akan siap saat bekerja. ”Dengan kata lain, ITB sudah siap dengan kemajuan yang serbacepat ini,” ujarnya.

Peran guru

Sisi lain dari menyiapkan lulusan adalah mempersiapkan pengajar. Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), sebagai salah satu lembaga yang mencetak guru, memiliki tantangan berat untuk melahirkan guru yang mampu bersaing dan tahan banting pada era digital ini.

Generasi milenial seakan-akan tidak membutuhkan guru karena sumber ilmu pengetahuan yang melimpah. Namun, menurut Rektor UPI Asep Kadarohman, pada era apa pun, peran guru tidak akan tergantikan.

”Kita ini membutuhkan guru yang berkarakter. Guru yang adaptif. Guru seperti itu akan mampu menghadapi berbagai tantangan, termasuk perkembangan pesat era digital,” katanya.

Era digital ini menghadapkan guru dengan peserta didik yang memiliki banyak pengetahuan. Mereka ini, kata Asep, perlu diarahkan dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Ia mengumpamakan peserta didik dengan banyak pengetahuan itu adalah bahan mentah yang belum diolah.

Guru adalah pembentuknya. Dengan demikian, guru harus mampu mengolah bahan mentah yang sudah bagus itu ke arah yang jauh lebih baik.

Diakui Asep, membentuk guru yang berkarakter cukup sulit. Ia membandingkan dengan guru-guru sebelum generasi Asep.

Guru-guru pada masa itu telah menetapkan tujuan untuk menjadi guru sejak sekolah menengah. Kendati demikian, Asep meyakini, masih banyak calon guru yang memang mengabdikan hidup untuk mendidik. Itu sebabnya, UPI telah menyiapkan sejumlah rancangan agar mampu mencetak guru berkarakter.

Salah satu yang telah disiapkan UPI adalah perubahan kurikulum seturut kebutuhan dan perkembangan. Kurikulum ini memanfaatkan multimedia. Selain itu, guru akan dibekali kemampuan mengenal teknologi sehingga tidak ketinggalan dari para peserta didik.

Ia berharap, keberadaan guru yang berkarakter itu akan menginspirasi para peserta didik untuk menjadi guru.

Cita-cita yang dipupuk sejak dini itu nantinya akan melahirkan guru berkarakter dan mendedikasikan hidup untuk mendidik.***/Tim PR

Leave a reply