KEMELUT BIAYA PENDIDIKAN DASAR
Hari Selasa, 19 Maret 2024 telah berlangsung sidang pleno Mahkamah Konstitusi (MK) soal perkara uji materi pasal 34 ayat (2) Undang-Undang (UU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20/2003.
Perkara itu dimohonkan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) bersama sejumlah orang tua yang merasa jadi korban Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang didampingi oleh Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) sebagai kuasa hukum.
Adapun pasal yang dimaksud berbunyi “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”
JPPI berpendapat, seharusnya pasal itu berarti setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dasar tanpa harus membayar pendidikan dasar itu. Termasuk di dalamnya adalah biaya gedung, Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), buku, seragam, dan biaya hal-hal lainnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Namun, JPPI menilai realitanya tidak seperti itu. Menurut pihak mereka, pemerintah masih memaknai pasal itu dalam konteks penyelenggaraan sekolah-sekolah negeri saja. Dan tidak mencakup sekolah-sekolah swasta.
Hasilnya, penyelenggaraan PPDB selalu bermasalah karena tidak bisa menerima banyak, apalagi semua peserta yang mendaftar. Sebab, sekolah-sekolah negeri memiliki daya tampung yang terbatas. Sementara itu, PPDB hanya berlaku untuk mendaftar sekolah-sekolah negeri saja.
Alhasil, calon-calon peserta didik yang tidak lulus seleksi PPDB untuk masuk sekolah-sekolah negeri merasa terdiskriminasi. Beberapa dari mereka terpaksa harus menempuh pendidikan dasar di sekolah-sekolah swasta yang biayanya mahal. Belum lagi membahas ada banyaknya jenis pungutan yang mesti dibayarkan.
Karena itu, JPPI mempertanyakan kenapa pendidikan bebas biaya yang dimaksud pasal yang disinggung hanya berlaku untuk sekolah negeri saja dalam gugatannya. Dalam sidang kali ini, diagendakan sesi mendengarkan Keterangan Saksi dari Pemohon, Keterangan Ahli, dan Keterangan Presiden.
Pihak pemohon diwakili oleh dua orang saksi, yaitu Bapak Jumono dan Ibu Mirna selaku orang tua dari anak-anak yang terpaksa mengambil pendidikan dasar di sekolah-sekolah swasta.
Di sela-sela sidang, Jumono mempertanyakan sistem PPDB yang menurutnya aneh karena menerapkan cara seleksi. Padahal, menurutnya tugas pemerintah di sini adalah untuk memenuhi hak atas pendidikan, alih-alih menyeleksi siapa yang akan mendapatkannya.
“Hak untuk mendapatkan sekolah yang bebas biaya itu harusnya dipenuhi oleh pemerintah, bukan malah diseleksi. Pemenuhan hak kok diseleksi, aneh. Saya merasa terdiskriminasi,” ujar Jumono di sela-sela sidang,” ujar Jumono.
Keterangan Jumono dilengkapi oleh Mirna yang merasa keberatan dengan ongkos yang harus Ia bayar untuk pendidikan anaknya. Bahkan, Mirna bersaksi kalau beberapa teman anaknya terpaksa putus sekolah karena keterbatasan keuangan.
“Saat ini saya masih punya hutang ke sekolah sebesar 1,5 juta. Saya belum mampu bayar karena saya tidak punya uang dan masih banyak tanggungan lainnya. Ada juga teman-teman anak saya yang memilih untuk putus sekolah karena tak mampu bayar,” keluh Mirna.
Sementara itu, pihak ahli diwakili oleh Badiul Hadi dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA). Ia menilai kalau anggaran pendidikan yang ada seharusnya bisa digunakan untuk membiayai seluruh peserta didik di jenjang pendidikan dasar, di manapun mereka sekolah.
“Kita punya anggaran yang sangat besar untuk sektor pendidikan, jadi sangat cukup untuk bisa membiayai seluruh peserta didik di jenjang sekolah dasar, baik di negeri maupun swasta,” tandas Badiul.
Terakhir, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril memberikan Keterangan Presiden. Ia menjelaskan kalau pemerintah sudah melakukan pembiayaan kepada sekolah negeri dan swasta.
Hanya saja, JPPI menilai kalau itu belum bisa membebaskan biaya untuk seluruh anak yang sedang bersekolah di jenjang pendidikan dasar. Malahan, JPPI menemukan banyak tindakan pungutan liar (pungli), pungutan dan komersialisasi di sekolah dasar dan sekolah swasta.
Dalam sidang sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga memberikan keterangannya. Diwakili oleh Anggota Badan Legislatif (Baleg) Taufik Basari, DPR menyerahkan keputusan terkait UU Sisdiknas ini kepada hakim-hakim MK.
Berdasarkan keterangan-keterangan yang telah diberikan, JPPI menilai kalau sistem yang dikritik diskriminatif terhadap calon-calon peserta didik yang gagal PPDB.
Mereka juga menilai kalau tafsir pemerintah terhadap UU Sisdiknas bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945 yang menyatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
Sidang berikutnya kemungkinan akan diadakan pada bulan Juli. Dan masih mengagendakan keterangan ahli dan saksi dari pemohon.*