KPK: Perguruan Tinggi Belum Peka soal Korupsi

0
600

MEDAN – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menilai perguruan tinggi di Indonesia belum peka soal ancaman dan dampak korupsi.

“Meski kita tertatih prestasi Indonesia di eradikasi korupsi ada. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia jika dilihat di ASEAN awalnya paling rendah. Data 2016, angka Indonesia 3,7 poin berada di posisi tiga dan Malaysia justru ada di angka 4,7,” katanya dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2018 Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) di Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, Rabu (17/1/2017).

Menurut dia, hal itu merupakan gambaran bahwa hasil pemberantasan korupsi ada tapi masih perlu keterlibatan semua pihak. Persoalannya lagi, lanjutnya, masih banyak orang yang melihat seolah korupsi itu hal biasa saja, padahal kelaparan di Papua salah satu cermin.

“Dana otonomi khusus begitu besar larinya ke mana?,” kata Agus.

Gambaran pendidikan Indonesia dengan anggaran Rp400 triliun tetapi masih ada ditemukan sekolah bobrok terutama untuk sekolah dasar, menurut dia, merupakan hal yang mengherankan. Perguruan tinggi Indonesia di dunia rankingnya pun juga masih kalah dari negara-negara lain, ujar dia.

Produk domestik bruto (PDB) Indonesia ada di urutan 15 besar dunia, ini alasan masuk G20. Kondisi ini seharusnya, menurut dia, juga dibarengi perubahan tingkah laku, dan perlu kesadaran untuk betul-betul berubah karena untuk menjadi negara maju diperlukan mentalitas yang jauh dari korupsi.

Jika dilihat, berapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sudah memasukkan tema korupsi, ia mengatakan baru lima dan yang menonjol melakukannya adalah ITB. Ada aturan yang diterapkan di perguruan tinggi tersebut di mana mahasiswa dan dosen yang menyontek diskors satu semester.

Sedangkan Perguruan tinggi swasta (PTS) yang sudah memulainya adalah Universitas Bina Nusantara, di mana mahasiswa yang menyontek akan dikeluarkan sedangkan lulusan yang melakukan korupsi akan dicabut ijazahnya.

Belum peka Menurut Agus, terlihat bahwa perguruan tinggi belum peka untuk isu korupsi, terbukti pula sulitnya KPK untuk mendapat saksi ahli untuk kasus KTP elektronik. Fakultas-fakultas hukum seharusnya juga bisa membantu mendorong cepatnya aturan pemberantasan korupsi sektor swasta.

Pada isu pengawasan, menurut dia, perguruan tinggi seharusnya juga bisa membantu Pemerintah Daerah (Pemda) untuk soal penganggaran. Deputi Pencegahan KPK mendampingi beberapa daerah dengan staf hanya sekitar 200 orang.

“Pasti tidak mampu mendampingi semua daerah dan instansi, di sini sebenarnya perguruan tinggi bisa membantu melakukannya. Jadi bantu kami, kenapa Universitas Cenderawasig tidak berperan dampingi Pemdanya, agar layanan kesehatan lebih baik,” ujar Agus.

Leave a reply