Posko Pemantauan PPDB 2018 Dibuka
Jakarta — Pekan ini Koalisi masyarakat sipil peduli pendidikan yang terdiri dari perkumpulan wali murid, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW) telah membuka posko pemantauan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) hampir di seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Posko ini bekerjasama dengan 34 jaringan untuk menerima dan menampung keluhan wali murid dalam proses penerimaan siswa baru. Keluhan yang paling banyak diterima pada tahun sebelumnya adalah pungutan ‘berbalut’ sumbangan yang disampaikan dalam konferensi pers pada Senin, 16 April 2018, bertempat di Kantor Indonesia Corruption Watch (ICW).
Koordinator Divisi Kampanye Publik ICW, Siti Juliantari biasa dipanggil Tari, menjelaskan bahwa sumbangan dan pungutan adalah hal yang berbeda. Sumbangan diberikan secara sukarela dan tidak mengikat, sedangkan pungutan menetapkan besaran uang dan waktu pemberian. “Laporan yang masuk, jika tidak diberikan maka orang tua akan dipanggil pihak sekolah bahkan anaknya bisa mendapat diskriminasi atau dikucilkan oleh sekolahnya”, papar Tari.
Dalam data posko tahun 2017, pungutan yang sangat sering terjadi yakni terkait pembelian bangku, dan dilakukan di sekolah-sekolah unggulan. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 44 Tahun 2012 tentang pungutan dan sumbangan biaya pendidikan pada satuan pendidikan sekolah dasar, sekolah tidak boleh membebani wali murid dengan berbagai pungutan yang mengatasnamakan sumbangan. Selain itu sekolah juga telah mendapatkan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dapat digunakan dalam proses PPDB. Sehingga tidak ada lagi permintaan uang dari sekolah dengan alasan membeli bangku, formulir, bahkan seragam sekolah. Tetapi hal itu sangat kontras terjadi dengan realita di lapangan.
PPDB dilakukan secara online dan offline. Meski PPDB online ini sudah berjalan baik, tetapi proses PPDB tetap sangat rawan dikorupsi. Ada 3 modus yang paling sering digunakan menurut Ubaid, Perwakilan JPPI, yakni pertama, siswa berkecukupan memanfaatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) untuk dapat masuk sekolah unggulan. Anak yang seharusnya tidak bisa secara kemampuan dan berkecukupan, menggunakan kuota siswa tidak mampu untuk masuk sekolah unggulan. Dalam hal ini sekolah unggulan tersebut mendukung juga perbuatan tersebut.
Kedua, PPDB online yang seharusnya transparan tanpa membayar, tetap menarik pungutan misalnya untuk membayar formulir pendaftaran. Dalam laporan yang diterima JPPI, ada wali murid yang harus membayar biaya formulir pendaftaran kemudian mendapatkan kwitansi pembayaran tetapi berstempel CV. Ketiga, titipan pejabat. “Tidak ada titipan yang gratis”, kata Ubaid. Ini menjadikan sekolah semakin bersemangat untuk memanfaatkan celah-celah korupsi tersebut.
Selain modus, Ubaid juga memaparkan mengenai zonasi yang dilakukan untuk pemerataan kualitas pendidikan. Tetapi yang terjadi saat PPDB 2017, zonasi membuat proses PPDB ruwet. Kualitas pendidikan yang tidak merata mengakibatkan banyak anak tidak ingin sekolah di zonasi tersebut. Padahal zonasi dimaksudkan supaya siswa dapat menjangkau sekolah dengan jarak tempuh dan waktu yang efektif. Contoh lain banyak siswa di daerah urban yang memiliki KTP wali murid tidak sesuai zonasi mengakibatkan siswa tidak dapat diterima di sekolah terdekat atau hanya dapat memanfaatkan kuota 5% bagi siswa luar zonasi. Daerah yang terdampak konflik memaksa anak sekolah di luar zonasi tetapi kesulitan untuk masuk sekolah. Adapun dalam satu zonasi yang tidak terdapat sekolah negeri mengakibatkan anak berkompetisi di zonasi lain dan akhirnya beralih ke swasta. “Pemerataan kualitas pendidikan adalah tugas pemerintah sehingga tidak ada sekolah unggulan dan sekolah regular, tetapi pemerintah ternyata belum siap akan tugas itu”, imbuh Ubaid.
Transparansi kelulusan menjadi salah satu masalah lain yang mendapat perhatian. Banyak keluhan yang diterima saat PPDB 2017 adalah tidak transparannya sekolah dalam mengumumkan diterima-tidaknya siswa dalam sekolah tersebut. Padahal sekolah tersebut masuk dalam zonasi siswa tersebut. “Seharusnya sekolah membuat pengumuman berapa jumlah siswa yang daftar, kemudian berapa jumlah siswa yang diterima. Untuk siswa yang tidak diterima harus diberi penjelasan mengapa tidak diterima, apakah alasan kemampuan atau zonasi atau lainnya”, kata Ubaid. Adapun PPDB offline semakin tidak transparan karena tidak diketahui secara persis jumlah bangku tersisa setelah PPDB online.
Selain regulasi Permendikbud yang digunakan sebagai acuan kegiatan sekolah, ada peraturan dari Kementerian Agama (Permenag) yang menjadi acuan kegiatan madrasah. Dua model regulasi ini diimplementasikan sangat berbeda. Jika Permendikbud tidak memperbolehkan sekolah melakukan tes sebelum masuk sekolah, berbeda dengan Permenag yang mewajibkan dilakukannya tes masuk. Koalisi masyarakat sipil peduli pendidikan berpendapat sebaiknya regulasi dijadikan satu payung, yakni mengacu Permendikbud. “Hal ini untuk membantu anak dalam mendapatkan haknya memperoleh pendidikan, terlebih di daerah yang hanya ada madrasah”, kata Heru Narsono, perwakilan Perkumpulan Wali Murid.
Adapun jalur inklusi (berkebutuhan khusus) pada PPDB 2017 tidak digunakan sebagaimana mestinya seperti yang terjadi di Jakarta Timur. Dalam laporan, ditemukan 50 siswa yang tidak berkebutuhan khusus tetapi menggunakan jalur inklusi. Menurut Dinas Pendidikan Jakarta Timur, pada tahun 2018 jalur inklusi akan disaring berdasarkan berkebutuhan khusus secara fisik atau mental. Karena jika fisik maka dapat diterima dalam jalur inklusi, tetapi jika mental akan diarahkan ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Selain itu ditemukan pula sekolah yang menerima siswa melebihi kuota sehingga menyebabkan ada kelas pagi dan siang. Hal ini karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) menyebabkan para siswa pun terlantar.
Tahun 2018 menjadi penting melibatkan masyarakat dalam pemantauan proses PPDB baik online maupun offline. Adanya posko yang bekerjasama dengan 34 jaringan belum dapat dikatakan mewakili seluruh wilayah Indonesia. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi masyarakat dalam melaporkan apapun pelanggaran yang tidak sesuai aturan yang berlaku dalam Permendikbud.
Laporan dapat disampaikan dengan 3 cara, yakni telepon, datang langsung ke posko pemantauan di 34 jaringan, ataupun melalui kanal laporpendidikan.com. Data mengenai posko pemantauan dapat diunduh di icw.or.id/M8M. Posko pemantauan akan dibuka selama April-September 2018 sebab seringkali pungutan terjadi saat proses belajar-mengajar sudah berjalan. Selanjutnya laporan akan dilanjutkan ke Ombudsman, Inspektorat Kemendikbud, Inspektorat Kementerian Agama, dan penegak hukum jika terindikasi terjadi korupsi. PPDB ini penting dikawal oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga bebas dari pungutan. Hal ini karena pendidikan merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Jangan biarkan sekelompok orang membajak hak pendidikan warga negara demi keuntungan pribadi atau kelompoknya.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.