Ketimbang Beri Kredit Pendidikan, Lebih Baik Efektifkan APBN dan Zakat
Jakarta – Pendidikan merupakan eskalator bagi warga negara untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi mereka. Oleh karena itu, pemerintah tidak hanya perlu meningkatkan anggaran untuk pendidikan, tetapi juga mengelola dana tersebut agar tepat sasaran. Wacana pemberian kredit pendidikan (student loan), seperti yang diusulkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bisa menjadi alternatif pembiayaan.
Namun, pemerintah disarankan untuk mengefektifkan pengelolaan dana pendidikan dari APBN 2018 sebesar Rp 444,131 triliun (20%) dan menggenjot potensi dana zakat nasional yang bisa mencapai Rp 217 triliun untuk dana pendidikan. Peran swasta melalui beasiswa pendidikan juga perlu ditingkatkan agar lebih banyak lagi warga negara yang berpendidikan tinggi.
Koordinator Nasional Jaringan Pemerhati Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan, usulan penerapan student loan atau kredit mahasiswa itu kurang tepat diterapkan di Indonesia. Pola seperti itu akan membuat pendidikan lebih mengarah kepada komersialisasi dan industrialisasi.
“Peserta didik, terutama dari kalangan keluarga kurang mampu, akan terbebani. Setelah lulus mereka akan kesulitan untuk mengembalikan dana pinjaman pendidikan tersebut, sehingga tidak ada kepastian untuk pengembalian dana,” kata Ubaid kepada di Jakarta, Selasa (20/3).
Ubaid juga menegaskan, pinjaman dana ini tidak sesuai dengan Pasal 76 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Pasal itu menegaskan, pemerintah pusat dan daerah serta perguruan tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi. Artinya, negara bertanggung jawab untuk memfasilitasi mahasiswa, bukan menjerat mereka dengan utang dana pendidikan.
“Student loan ini akan menjerat leher mahasiswa dengan tanggungan utang setelah mereka lulus. Anak dari orang tua yang tidak mampu juga tidak memiliki kepastian untuk mengembalikan dana yang dikredit setelah mereka lulus,” katanya.
Menurutnya, upaya meningkatkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan bukan dengan pinjaman pendidikan. Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi terhadap alokasi dana 20% pendidikan di APBN. Alokasi dana tersebut belum menunjukan dampak siginifikan, karena mutu pendidikan Indonesia masih rendah, termasuk akses pendidikan yang masih minim.
Pekan lalu, Presiden Jokowi mengusulkan ada pola pinjaman dana untuk calon mahasiswa agar bisa melanjutkan pendidikan. Presiden mencontohkan program student loan di Amerika Serikat (AS). Di negara itu, kredit pendidikan itu mencapai US$ 1,3 triliun per 2016. Pinjaman bagi mahasiswa itu berada di peringkat kedua setelah kredit pemilikan rumah (KPR).
Tidak Fokus
Anggota Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia (FRI) Asep Saefuddin mengatakan, pemanfaatan dana pendidikan 20% dari APBN tidak fokus pada pendidikan, melainkan disalurkan ke berbagai sektor lainnya. Hal itu yang membuat dana tersebut tidak hanya disalurkan ke Kemdikbud dan Kemristekdikti, tetapi juga ke Kementerian Agama dan kementerian/lembaga lainnya.
“Bila hanya fokus ke kementerian terkait (Kemdikbud dan Kemristekdikti), saya pikir dana pendidikan 20% APBN itu lebih dari cukup. Dana sebesar itu juga bisa memenuhi gaji guru dan dosen. Bila kebutuhan primer dan sekunder mereka sudah terpenuhi, saya yakin dosen dan guru bisa fokus di akademik,” ujarnya.
Dia pun mengusulkan agar anggaran pendidikan di Kementerian Agama, juga kementerian/lembaga lainnya, diserahkan ke Kemdikbud atau Kemristekdikti. Sehingga, apabila ada ketidakberesan, dua kementerian itu yang bertanggung jawab.
Guru Besar bidang Ilmu Pendidikan Anak Berbakat pada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Rochmat Wahab menambahkan, usulan student loan ini menunjukan pemerintah positif memiliki perhatian terhadap pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan dana bantuan keuangan. Pasalnya, 20% dana pendidikan di APBN sejak awal dirancang untuk operasional, bukan untuk pengembangan pendidikan.
Menurut dia, kredit pendidikan itu sebaiknya menjadi alternatif terakhir. Skema pinjaman ini pernah dijalankan oleh Bank BNI dengan memberi Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) dan hingga kini banyak yang tidak bisa melunasi. Bahkan, ijazah sebagai jaminan masih banyak yang tersimpan di kampus. Dia justru mendorong pemanfaatan dana zakat dan mendorong peran serta dunia usaha untuk berkolaborasi dalam memberikan beasiswa.
Pernah Gagal
Mantan Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan, banyak hal yang harus dipertimbangkan pemerintah dalam menerapkan kredit mahasiswa itu. Apalagi, sistem kredit mahasiswa tersebut pernah dijalankan oleh BNI dan gagal. Kegagalan program ini karena banyak lulusan yang belum membayar. Ketika itu, data terkait dunia pendidikan juga masih sangat lemah. Belum ada single identity number seperti saat ini, sehingga perguruan tinggi dan perbankan sulit melacak keberadaan dan tempat kerja lulusan tersebut.
“Dulu itu urusan data masih lemah. Berbeda dengan sekarang, yang sudah ada KTP elektronik. Data sekarang sudah bisa terinegrasi, sehingga bisa memantau keberadaan mahasiswa tersebut setelah lulus dan bekerja. Jadi, bila mau ada kebijakan kredit mahasiswa, selama data terintegrasi, tentu akan mudah dan positif untuk perbankan,” tuturnya.
Nuh menyarankan, pemerintah memperhatikan peluang pelamar kredit mahasiswa untuk mendapatkan pekerjaan. Dalam hal ini, program studi (prodi) dan akreditasi perguruan tinggi harus diperhatikan. Pasalnya, apabila mahasiswa tersebut sulit mendapat pekerjaan, karena jurusan dan perguruan tinggi bermutu jelek, maka akan berpotensi terjadi kredit macet.
Lalu, kerja sama dengan perbankan harus ada kesepakatan dan hitungan yang realistis terhadap besaran bunga yang akan diberikan. Dengan demikian, kredit itu tidak membebankan mahasiswa. Terakhir, program student loan itu diuji coba terlebih dulu di beberapa daerah dan perguruan tinggi (PT).
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan, usulan student loan itu sebagai salah satu cara pemerintah untuk meningkatan APK perguruan tinggi, yang saat ini masih 37% dan solusi mengatasi mahasiswa putus kuliah.
Nasir menuturkan, program itu mengingatkanya kembali pada KMI beberapa tahun lalu. Menteri Nasir adalah salah satu mahasiswa penerima dana KMI sebesar Rp 1,5 juta untuk menyelesaikan tugas akhir. Saat itu, ujarnya, banyak mahasiswa yang tidak melunasi pinjaman mereka.
Meski demikian, Nasir mengatakan, usulan Presiden Jokowi itu positif dan patut diapresiasi, karena bisa memberi peluang baru untuk meningkatkan APK pendidikan. Hanya saja, kata dia, hingga saat ini belum ada pembahasan khusus terkait wacana student loan itu.
Pemerhati pendidikan, Indra Charismiaji mengatakan, jika ingin diterapkan, student loan itu harus disinergikan dengan cetak biru kebutuhan tenaga kerja pada Revolusi Industri 4.0. Artinya, tidak semua program studi berhak mengajukan pinjaman, melainkan hanya jurusan-jurusan yang sesuai dengan kemajuan industri.
“Saran saya, student loan ini jangan dibuka untuk semua jurusan. Misalnya, lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang setiap tahun melulusan lebih dari 20.000 tenaga pendidik, namun tidak semua terserap lapangan kerja. Ini bisa menjadi beban,” katanya.
Oleh karena itu, dia berharap ada kerja sama antara dunia usaha dan dunia industri dengan perguruan tinggi. Sehingga, perguruan menjalankan kurikulum sesuai kebutuhan industri. Lulusan perguruan tinggi langsung terserap dan dapat segera membayar kredit tersebut.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.