Kekerasan di Sekolah, Jadi Pandemi di Dalam Pendidikan
Apabila kita sadari, berbagai pemberitaan tidak pernah berhenti memberitakan kasus kekerasan yang terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tak dipungkiri, berbagai kalangan terlibat dalam kasus kekerasan itu, mulai dari kasus guru yang dibacok siswanya karena tak terima mendapat nilai jelek saat Ujian Tengah Semester, siswa senior yang menganiaya adik kelasnya dengan dalih ‘mendisiplinkan,’ atau bahkan kekerasan antarsiswa yang saling menantang hingga terjadi baku hantam yang sebetulnya alasan dibaliknya hanya karena hal yang sepele.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2023 terdapat 379 anak usia sekolah menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan di lingkungan sekolah.
Terbukti, baru-baru ini ada kasus seorang siswi kelas 2 SD di Menganti, Gresik, Jawa Timur harus kehilangan penglihatan sebelah matanya karena kekerasan yang dilakukan oleh kakak kelasnya. Alasannya pun sepele, karena korban tidak mau memberikan uang jajannya yang diminta oleh pelaku sehingga matanya ditusuk dengan tusuk pentol.
Kekerasan yang dilakukan kakak kelas kepada adik kelasnya tersebut tentu tidak bisa dibenarkan. Apalagi, dibalik kekerasan tersebut terjadi hanya karena alasan sepele tidak mau memberikan uang jajannya. Di tingkat SD saja sudah kita temui problem senioritas atau bullying, apalagi di tingkat yang lebih tinggi.
Sebenarnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah membuat undang-undang yang nantinya diharapkan menjadi payung hukum pencegahan dan penanganan kekerasan di dalam dunia pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) dan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023. Namun, dari kenyataan yang kita ketahui, aturan ini hanya menjadi ”harimau kertas”.
Permasalahan yang sampai pada tindak kekerasan tersebut sebenarnya tidak serta merta terjadi karena faktor premanisme tetapi bisa jadi karena lingkungan mereka, seperti ketika ada orang dewasa yang berkata kotor atau suka memukul maka anak kecil yang melihatnya secara otomatis merekam peristiwa tersebut di otak dan kemudian mempraktikkannya. Selain itu, bisa karena faktor tontonan. Orang tua yang tidak bijak, membiarkan anak bermain gawai dengan melihat tontonan yang tidak sesuai dengan usianya ataupun bermain gim yang memiliki unsur kekerasan mengakibatkan anak mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dari banyaknya kekerasan yang telah terjadi di sekolah, diketahui bahwa faktor-faktor penyebab munculnya berbagai bentuk kekerasan yang dialami atau dilakukan siswa di sekolah, di antaranya adalah proses interaksi antara siswa senior dengan juniornya, siswa dan guru, ataupun antar siswa yang tidak rukun serta proses pendidikan yang tidak mendukung suasana belajar yang berpihak kepada siswa serta lingkungan belajar yang tidak aman, nyaman, dan menyenangkan.
Lalu solusi apakah yang dapat dilakukan untuk mencegah bahkan mengurangi tingkat kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan kita?
Guru selain harus paham akan berbagai jenis dan faktor terjadinya kekerasan, mereka juga perlu memahami dan mengetahui bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan kepada siswa di dalam satuan pendidikan. Mengacu kepada keyakinan Ki Hadjar Dewantara bahwa kunci utama agar dapat terciptanya siswa yang beradab adalah melalui pendidikan. Pendidikan menjadi tempat belajar dan berproses munculnya nilai-nilai kemanusiaan yang kemudian diharapkan dapat berlanjut ke generasi berikutnya. Oleh karenanya, perlu untuk menciptakan pendidikan yang memerdekakan siswa.
Guru sebagai penuntun dan fasilitator memberikan kebebasan kepada siswa dalam proses pembelajaran tetapi tetap mengawasi dan mengarahkan mereka agar tidak terjadi kekeliruan sehingga mereka selain diberi kesempatan untuk bereksplor dalam proses pembelajaran juga tetap terarah. Selain itu, guru harus bisa menciptakan pendidikan yang memerdekakan siswa dengan memahami kebutuhan belajar siswa sesuai dengan tahap perkembangannya. Siswa mempunyai hak untuk berpendapat dan berpartisipasi, tidak hanya dijadikan objek saja. Oleh karena itu, diperlukan strategi pembelajaran yang berpusat kepada siswa.
Selain itu, guru dengan menerapkan sistem ‘Among’ harus bisa menuntun siswa agar menemukan dan mengembangkan potensi dirinya sesuai dengan kodratnya. Kita pernah mendengar ungkapan, didiklah mereka sesuai dengan zamannya. Ungkapan tersebut memang sangat berpengaruh dalam mendidik anak sesuai dengan kodrat zamannya. Apalagi, di zaman yang serba canggih saat ini diharapkan guru dapat mengintegrasikan media teknologi di dalam pembelajaran agar siswa juga tidak hanya berpacu kepada sumber buku saja.
Di dalam pendidikan selain kemampuan kognitif dan keterampilan, diharapkan siswa juga mendapatkan pendidikan karakter yang baik. Sesuai dengan semboyan Ing Ngarso Sung Tulodho (di depan memberi teladan), guru harus menjadi teladan dalam menumbuhkan budi pekerti dan tingkah laku kepada siswanya. Sehingga, sebelum guru menyuruh anak untuk bersopan santun, berkhlak yang baik tentu seharusnya guru sudah menanamkan perilaku tersebut di dalam dirinya serta selalu diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga anak tanpa harus dipaksa mereka dengan melihat sikap gurunya tersebut akan mengikuti dan sedikit demi sedikit mulai tertanam karakter tersebut.
Guru juga dapat berkolaborasi dengan siswa untuk melibatkan mereka dalam membuat keputusan terkait kegiatan belajar, seperti yang tertanam dalam semboyan Ing madya mangun karso (di tengah membangun kehendak) yaitu guru mampu membangkitkan semangat, dan kolaborasi dengan siswa melalui dialog. Selanjutnya, pendidik dengan Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan) harus bisa memberikan dukungan dan motivasi kepada siswa agar dapat semangat dalam meningkatkan kemampuannya. Guru juga sebaiknya dapat memberikan umpan balik atas setiap usaha atau pencapaian yang telah dilakukan agar mereka tahu kelemahan dan kelebihannya, serta selalu mengapresiasi atas usaha dan capaian mereka.
Selain itu, pendidikan juga harus bisa mengakomodir keberagaman siswanya. Kita ketahui bersama bahwa setiap anak memiliki karakteristik dan latar belakang yang berbeda-beda. Keberagaman tersebut berasal dari keberagaman masyarakat Indonesia yang universal, mencakup keragaman suku, agama, ras, bahasa, dan budaya. Untuk itu, penting juga bagi guru menjunjung tinggi rasa Kebhinekaan Tunggal Ika sebagai dasar memberikan materi ataupun nilai-nilai sesuai dengan latar belakang siswa yang berbeda-beda. Selain itu, penting juga untuk menumbuhkan sikap toleransi dan nilai-nilai Pancasila agar siswa nantinya memiliki sikap taat, simpati dan empati, bergotong royong, dan adil.
Dengan suasana pendidikan yang memerdekakan siswa, guru memerhatikan kebutuhan belajar siswa. Dengan menerapkan Among guru menuntun siswa agar dapat mengetahui potensi dan keampuan yang ada di dalam dirinya. Pendidik juga harus bisa menjadi teladan, motivator, dan pembimbing untuk membantu siswa. Dengan begitu, diharapkan tingkat terjadinya kekerasan yang dialami ataupun dilakukan siswa di sekolah dapat diminimalisir karena siswa merasa diperhatikan dengan mengakomodir keunikan dan keberagaman yang dimiliki setiap siswa.