Jatuh atau Bunuh Diri? Pemprov DKI Didesak Segera Investigasi Tewasnya Siswi SD

0
571

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus tewasnya siswi SD dari lantai 4 sekolahnya di Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Hal itu kaitannya ada dugaan perundungan atau bullying dalam peristiwa loncatnya korban dari ketinggian.

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, sebenarnya ada beleid yang mengamanatkan sekolah untuk membentuk tim pencegahan kekerasan. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Ubaid menyebut, meski ada aturan itu, hingga saat ini belum terlihat adanya penerapan satgas di sekolah, kaitannya untuk menangani masalah perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.

“Permendikbud untuk pencegahan kekerasan di sekolah sudah ada peraturan, kita tidak pernah mengalami kekosongan peraturan tentang pencegahan kekerasan di sekolah,” kata Ubaid kepada wartawan, Rabu (27/9/2023).

Menindaklanjuti masalah yang dialami siswi SD di Petukangan Utara, dia mendesak agar Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta untuk membentuk satgas pencegahan kekerasan. Diantaranya utamanya dalam menanggapi kasus perundungan.

Pasalnya, menurut Ubaid sekolah belum tanggap dalam melakukan pencegahan seperti sistem pelaporan hingga pendampingan mengenai masalah-masalah seperti perundungan. Pihak Disdik DKI Jakarta pun dinilai menutupi jika benar adanya kasus perundungan yang memakan korban.

“Itu menjadi sangat penting, ini harus ada semacam tim investigasi. Ada tata kelola yang harus ditata serius, yang harus dibereskan soal dinas menutupi, lalu bagaimana ini menjadi persoalan yang mampu meningkatkan awareness kepada seluruh masyarakat terhadap soal ini,” tutur dia.

Sebelumnya diketahui, Polres Metro Jakarta Selatan menyampaikan informasi terbaru mengenai hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) peristiwa meninggalnya siswi SD di kawasan Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Selasa (26/9/2023). Pihak kepolisian mulanya menyebut bahwa siswi kelas VI tersebut terjatuh dari lantai 4 sekolahnya, namun update informasi yang disampaikan bahwa korban ternyata lompat, bukan jatuh.

Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro mengatakan, pihaknya telah melakukan olah TKP kemarin dengan melakukan berbagai pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian menemukan barang bukti yang menunjukkan bahwa korban ternyata melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya.

“Kami tegaskan dugaan awal melompat karena ditemukan adanya barang bukti berupa meja, awalnya saya pikir kursi, yang dijadikan yang bersangkutan untuk pijakan melompat ke bawah,” kata Bintoro saat dihubungi Republika, Rabu (27/9/2023).

Dia menjelaskan, barang bukti itu menguatkan adanya indikasi korban melakukan aksi percobaan bunuh diri. Pihaknya juga melakukan pengecekan dari rekaman kamera tersembunyi atau CCTV.

“Ya kami melihat dalam hal ini, dari rekaman CCTV juga yang bersangkutan melompat dari ketinggian. Cuman masih kami dalami, kami belum menyimpulkan,” jelas dia.

Bintoro menyebut pihaknya belum menemukan motif dari aksi yang bersangkutan memutuskan untuk melompat dari ketinggian. Saat disinggung adanya dugaan perundungan atau bullying, Bintoro menegaskan bahwa pihaknya belum bisa menyimpulkan.

“Nanti setelah kami mendalami akan tahu motif yang bersangkutan kenapa melompat,” tutur dia.

Sejauh ini sudah ada empat orang saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut. Bintoro memastikan pihaknya bakal segera merampungkan upaya pemeriksaan.

sumber: Republika.co.id

Comments are closed.

Dampak Putusan MK soal Sekolah Gratis terhadap Anggaran Negara

0
234

MAHKAMAH Konstitusi atau MK mengabulkan sebagian gugatan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional atau UU Sisdiknas. MK memutuskan agar pemerintah pusat dan daerah menggratiskan sekolah negeri dan swasta untuk jenjang SD hingga SMP. Putusan soal sekolah gratis itu dibacakan dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa, 27 Mei 2025.

Gugatan itu diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan tiga pemohon atas nama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Pemohon meminta MK memutuskan agar wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tak dipungut biaya.

Melalui putusan Nomor 3/PUU-XXII/2024 itu, MK menyatakan frasa “wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” dalam Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas telah menimbulkan multitafsir dan perlakuan diskriminatif sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945.

Mahkamah mengubah norma frasa tersebut menjadi, “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya, baik untuk satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun satuan pendidikan dasar yang diselenggarakan oleh masyarakat.”

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan negara memiliki kewajiban konstitusional membiayai pendidikan dasar secara penuh sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) UUD 1945. Menurut Mahkamah, selama ini pembiayaan wajib belajar hanya difokuskan pada sekolah negeri. Padahal secara faktual banyak anak mengikuti pendidikan dasar di sekolah swasta.

Lantas, apa dampak putusan MK tentang sekolah gratis itu terhadap anggaran negara?

Sri Mulyani Pelajari Putusan MK soal Sekolah Gratis

Menanggapi putusan MK itu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sedang mempelajari putusan tersebut. Dia menyebutkan kementeriannya akan menggelar rapat khusus untuk membahas putusan MK itu, termasuk dampaknya terhadap anggaran.

“Pak Mendikdasmen (Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti) sudah membuat rapat, saya juga menyiapkan,” ujarnya saat ditemui sebelum rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin, 2 Mei 2025, seperti dikutip dari Antara.

Selepas rapat terbatas dan setelah sesi konferensi pers, Sri Mulyani kembali menekankan beberapa menteri seperti dirinya, Mendikdasmen, dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mempelajari putusan MK tersebut dan dampaknya terhadap anggaran.

Namun Menkeu tak menjawab saat ditanya kapan rapat mengenai putusan MK itu digelar.

Abdul Mu’ti Bilang Perlu Merombak APBN

Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengatakan pemerintah perlu merombak anggaran tengah tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk menindaklanjuti putusan MK ihwal sekolah swasta gratis.

“Itu kan berarti harus perubahan anggaran tengah tahun kan. Itu berarti harus ada pembicaraan dengan Menteri Keuangan, termasuk dengan DPR,” kata Mu’ti setelah menghadiri peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Jakarta Pusat, Senin, 2 Juni 2025.

Mu’ti mengatakan kementeriannya berkoordinasi terlebih dulu dengan Kemenkeu dan menunggu arahan dari Presiden sebelum menindaklanjuti putusan MK. “Yang kami pahami sebenarnya itu kan tidak menggratiskan semua pendidikan negeri dan swasta. Artinya, swasta itu masih boleh memungut dengan syarat ketentuan tertentu,” kata dia.

Dia menuturkan putusan MK bersifat final dan mengikat. Namun pemerintah harus berkoordinasi lintas kementerian untuk memastikan anggaran cukup. “Baru nanti kita menyusun skema kira-kira apa yang bisa kita lakukan untuk melaksanakan putusan MK ini,” ujarnya.

Kemendikdasmen Kelola Hanya Sekitar 4,6 Persen Anggaran Pendidikan
Adapun Wakil Mendikdasmen Atip Latipulhayat menilai putusan MK soal sekolah swasta gratis sejalan dengan amanat konstitusi. Namun dia menyebutkan tantangan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini terletak pada pengalokasian anggaran yang belum fokus.

“Putusan MK itu bukan sesuatu yang baru. Wajib belajar memang semestinya gratis. Tapi yang jadi masalah adalah bagaimana penganggarannya,” kata Atip saat dihubungi Tempo pada Sabtu, 31 Mei 2025.

Menurut Atip, persoalan utama bukan pada besar kecilnya anggaran pendidikan, melainkan pada distribusinya yang tersebar di banyak kementerian dan lembaga. “Anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, kalau dialokasikan dengan tepat, bisa memenuhi amanat undang-undang. Tapi sekarang hanya sekitar 4,6 persen yang dikelola Kemendikdasmen,” ujarnya.

Atip mencontohkan banyak kementerian mengklaim memiliki fungsi pendidikan dan menggunakan alokasi anggaran untuk pelatihan atau sekolah kedinasan. “Kita perlu refocusing. Perlu penataan ulang agar 20 persen anggaran itu betul-betul dipakai untuk penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah,” kata dia.

Dia mengatakan pihaknya belum membahas tindak lanjut putusan MK bersama presiden, dan baru akan memulai kajian internal. “Kami akan membahas ini lebih lanjut secara internal. Karena putusan MK telah menyatakan Pasal 34 ayat 2 inkonstitusional, perlu penyesuaian dalam pengaturan teknis dan detail pelaksanaannya,” tuturnya.

DPR Usul Realokasi Anggaran Tindaklanjuti Putusan MK
Sementara itu, Anggota Komisi X DPR—komisi bidang pendidikan—Adde Rosi mengusulkan realokasi anggaran pendidikan guna menindaklanjuti putusan MK tentang sekolah gratis.

Adde menilai putusan MK menjadi langkah progresif untuk mewujudkan keadilan pendidikan. Namun, untuk mewujudkan itu, terdapat suatu hambatan, yaitu kemampuan fiskal negara.

“Karena itu, pemerintah bersama DPR perlu segera merumuskan payung hukum, skema pendanaan operasional yang berkelanjutan, dan adil untuk implementasinya,” kata Adde dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo pada Senin, 2 Juni 2025.

Dia menuturkan realokasi anggaran dapat dilakukan dengan pelbagai cara. Misalnya, memperketat kriteria sekolah penerima bantuan dari pemerintah berdasarkan akreditasi, hingga mereformulasi kategori siswa yang dianggap tidak mampu.

Selain itu, kata Adde, pemerintah juga dapat memperluas dan meningkatkan nilai bantuan operasional sekolah (BOS) afirmatif untuk sekolah-sekolah swasta, atau membangun kemitraan strategis dengan organisasi masyarakat penyelenggara pendidikan guna merancang skema subsidi yang lebih efektif.

“Pada prinsipnya, Komisi X DPR amat mendukung putusan ini dan berkenan untuk berdialog konstruktif guna membahas hal-hal teknisnya,” ujar politikus Partai Golkar itu.

Mengenai realokasi anggaran dari kementerian atau lembaga lain yang memiliki kaitan dengan pendidikan, Adde mengatakan usulan itu akan ditampung. “Yang terpenting, dialog dulu dengan pemerintah,” ucapnya.

Comments are closed.