Wahid Foundation: Perempuan Muslim Agen Perdamaian
Pekan ini Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2018, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani mengajak agar peringatan ini tidak hanya menjadi perayaan seremonial saja./NEW Indonesia
Survei nasional yang dilaksanakan Wahid Foundation dan UN Women menunjukkan bahwa perempuan Muslim Indonesia berpotensi menjadi agen perdamaian.
Direktur Wahid Foundation Zannuba Arrifah Chafsoh Rahman Wahid atau yang akrab disapa Yenny Wahid memaparkan, survei tersebut menemukan 80,7 persen responden perempuan Muslim Indonesia mendukung hak kebebasan menjalankan ajaran agama atau keyakinan.
“Di samping itu, 80,8 persen responden perempuan itu lebih tidak bersedia radikal dibandingkan laki-laki, yakni sebesar 76,7 persen,” ujar Yenny dalam konferensi pers yang dihadiri beberapa meteri kabinet kerja, Menko PMK Puan Maharani dan Meneg PP dan PA Yohana Susana Yembise di Hotel J.S Luwansa, Jakarta Selatan, Senin (29/1)
Sebagaiman dilaporkan media terkemuka nasional Kompascom , bahwa Jumlah responden perempuan Muslim yang tak toleran pun lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Survei menemukan, responden perempuan Muslim yang memiliki sikap intoleran sebesar 55 persen. Sementara responden laki-laki yang memiliki sikap intoleran sebesar 59,2 persen.
Sebanyak 53,3 persen responden perempuan Muslim Indonesia juga mempunyai lebih sedikit kelompok yang tidak disukai dibandingkan laki-laki.
“Dalam analisisnya, survei ini sebenarnya menunjukkan bagaimana peran perempuan Muslim di Indonesia dalam membangun nilai-nilai toleransi dan perdamaian,” ujar Yenny.
Survei tersebut dilakukan pada 6-27 Oktober 2018 dengan melibatkan 1.500 responden laki-laki dan perempuan yang tersebar di 43 provinsi di Indonesia. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara multi stage random sampling, dengan komposisi 50 persen laki-laki dan 50 persen perempuan.
Metode penghimpunan data melalui wawancara tatap muka. Margin of error dengan asumsi simple random sampling kurang lebih 2,6 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Yenny melanjutkan, potensi dan kontribusi perempuan dalam perdamaian sejak dulu memang seringkali diabaikan. Hal itu membuat narasi perempuan jatuh ke dalam lubang radikalisme lebih banyak.
“Oleh karena itulah, sebenarnya inilah saatnya membuka potensi perempuan sebagai agen perdamaian,” ujar Yenny.
Memang, di sisi lain perempuan Muslim Indonesia masih dihadapkan pada persoalan kesetaraan gender. Survei yang sama menunjukkan bahwa tingkat otonomi perempuan untuk mengambil keputusan dalam hidupnya lebih rendah dibandingkan laki-laki.
Persentasenya, kemungkinan perempuan Muslim Indonesia mengambil keputusan itu hanya sebesar 53,3 persen. Sementara, laki-laki persentasenya 80,2 persen.
“Tapi data ini menunjukkan bahwa upaya untuk terus mengarusutamakan gender serta pemberdayaan perempuan adalah agenda strategis dalam upaya penguatan toleransi dan perdamaian di kalangan perempuan,” ujar Yenny.
Peran keluarga cukup berarti
Peran penting seorang ibu rumah tangga di dalam keluarga tidak dapat dipandang sebelah mata. Termasuk untuk mencegah pengaruh radikalisme pada anak. Apalagi mengingat fenomena terorisme dan radikalisme di Indonesia saat ini sudah semakin tinggi.
Baru-baru ini Republika melaporkan bahwa, Imam Besar Masjid Istiqlal, Prof Nasarudin Umar mengatakan penyebarluasan paham radikal terorisme saat ini telah masuk ke berbagai lembaga baik lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan hingga organisasi yang paling kecil yakni keluarga. Menurut dia, penyebaran bibit radikalisme tersebut dapat ‘diamputasi’ di level keluarga. Caranya, kata dia, dengan meningkatkan peran perempuan sebagai ibu di dalam rumah tangga, misalnya dengan membekali ibu rumah tangga dengan pemahaman nilai kebangsaan.
“Jadi, ketika anak-anak mendapatkan materi yang berlawanan dengan nilai kebangsaan, mereka sudah memiliki penangkal,” ujarnya dalam kegiatan Rembuk Kebangsaan Perempuan Pelopor Perdamaian Antiradikalisme dan Terorisme di Gedung Bhayangkari, Jakarta.
Metode peningkatan kapasitas untuk ibu rumah tangga ini dapat dilakukan melalui sejumlah lembaga atau ruang sosial yang dekat dengan ibu rumah tangga. Misalnya melalui kelompok pengajian keagamaan, kelompok organisasi masayarakat terbawah seperti PKK, selain dapat ditempuh melalui instansi pemerintah selevel desa.
Mendesak perlindungan sekolah cegah gerakan radikal
Hasil riset dari Maarif Institute menunjukkan belum ada satupun kebijakan yang spesifik untuk perlindungan sekolah dari penetrasi paham gerakan radikal.
“Tesis awal riset ini adalah untuk menghalau penetrasi radikalisme di sekolah, hal terpenting yang harus dilakukan adalah menyuburkan kebinekaan dan keragaman dalam kehidupan di sekolah,” ujar Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Darraz, dikutip kantor berita Antaranews di Jakarta baru-baru ini.
Daraz menjelaskan riset itu ingin mencari model ketahanan seperti apa yang dapat dikembangkan dalam sekolah, sehingga sekolah kebal dari berbagai infiltrasi kelompok radikal.
“Saya berharap bahwa hasil yang didapatkan dari riset ini mampu memperkuat kebijakan OSIS agar menjadi pengawal kebinekaan di sekolah yang bersifat inklusif,” tambah dia.
Program CONVEY
Riset tersebut, merupakan salah satu bagian dari program CONVEY yakni Enhancing the Roles of Religious Education in Countering Violent Extremism in Indonesia. Hasil kerja sama antara MAARIF Institute dengan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta (PPIM-UIN Jakarta) dan UNDP Indonesia.
Riset tersebut melibatkan 40 sekolah dengan kurang lebih 450 orang narasumber ini mengambil sampel di enam daerah dari lima provinsi di Indonesia, yakni Kota Padang (Sumatera Barat), Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), Kota Surakarta (Jawa Tengah), Kota Denpasar (Bali), dan Kota Tomohon (Sulawesi Utara).
Pemilihan daerah tersebut, dengan mempertimbangkan sebaran, tipologi, dan karakteristik penting yang melekat di dalamnya. Secara keseluruhan, rangkaian penelitian ini berlangsung dari Oktober ? Desember 2017.
Lebih lanjut, Darraz mengatakan keberadaan OSIS pun tak mampu membendung arus radikalisasi di sekolah. Padahal sebagai wadah pembinaan dan pengembangan kesiswaan untuk menyelenggarakan kegiatan dan membangun pengetahuan yang positif dalam upaya menangkal ekstremisme berbasis kekerasan dan radikalisme di sekolah.
“Seharusnya OSIS mampu mewujudkan itu. Sekolah, terinfiltrasi radikalisme melalui tiga pintu, yakni alumni, guru, dan kebijakan sekolah. Ini disebabkan karena kurangnya pemahaman dan kesadaran sekolah tentang peta gerakan radikalisme, yang melemahkan mekanisme ketahanan sekolah dalam menghadapi gerakan radikal,” papar dia.
Pihaknya merekomendasikan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mendorong internalisasi nilai kebinekaan di sekolah melalui OSIS, sebagai upaya untuk memperkuat ketahanan sekolah dari penetrasi radikalisme.
(Berbagai sumber/tim)
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.