Jatuh atau Bunuh Diri? Pemprov DKI Didesak Segera Investigasi Tewasnya Siswi SD

0
665

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk membentuk tim investigasi untuk mengusut kasus tewasnya siswi SD dari lantai 4 sekolahnya di Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. Hal itu kaitannya ada dugaan perundungan atau bullying dalam peristiwa loncatnya korban dari ketinggian.

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji mengatakan, sebenarnya ada beleid yang mengamanatkan sekolah untuk membentuk tim pencegahan kekerasan. Hal itu termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang membentuk satuan tugas pencegahan dan penanganan kekerasan seksual (Satgas PPKS).

Ubaid menyebut, meski ada aturan itu, hingga saat ini belum terlihat adanya penerapan satgas di sekolah, kaitannya untuk menangani masalah perundungan atau bullying di lingkungan sekolah.

“Permendikbud untuk pencegahan kekerasan di sekolah sudah ada peraturan, kita tidak pernah mengalami kekosongan peraturan tentang pencegahan kekerasan di sekolah,” kata Ubaid kepada wartawan, Rabu (27/9/2023).

Menindaklanjuti masalah yang dialami siswi SD di Petukangan Utara, dia mendesak agar Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta untuk membentuk satgas pencegahan kekerasan. Diantaranya utamanya dalam menanggapi kasus perundungan.

Pasalnya, menurut Ubaid sekolah belum tanggap dalam melakukan pencegahan seperti sistem pelaporan hingga pendampingan mengenai masalah-masalah seperti perundungan. Pihak Disdik DKI Jakarta pun dinilai menutupi jika benar adanya kasus perundungan yang memakan korban.

“Itu menjadi sangat penting, ini harus ada semacam tim investigasi. Ada tata kelola yang harus ditata serius, yang harus dibereskan soal dinas menutupi, lalu bagaimana ini menjadi persoalan yang mampu meningkatkan awareness kepada seluruh masyarakat terhadap soal ini,” tutur dia.

Sebelumnya diketahui, Polres Metro Jakarta Selatan menyampaikan informasi terbaru mengenai hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) peristiwa meninggalnya siswi SD di kawasan Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan pada Selasa (26/9/2023). Pihak kepolisian mulanya menyebut bahwa siswi kelas VI tersebut terjatuh dari lantai 4 sekolahnya, namun update informasi yang disampaikan bahwa korban ternyata lompat, bukan jatuh.

Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Selatan AKBP Bintoro mengatakan, pihaknya telah melakukan olah TKP kemarin dengan melakukan berbagai pemeriksaan. Dari hasil pemeriksaan, pihak kepolisian menemukan barang bukti yang menunjukkan bahwa korban ternyata melompat dari lantai 4 gedung sekolahnya.

“Kami tegaskan dugaan awal melompat karena ditemukan adanya barang bukti berupa meja, awalnya saya pikir kursi, yang dijadikan yang bersangkutan untuk pijakan melompat ke bawah,” kata Bintoro saat dihubungi Republika, Rabu (27/9/2023).

Dia menjelaskan, barang bukti itu menguatkan adanya indikasi korban melakukan aksi percobaan bunuh diri. Pihaknya juga melakukan pengecekan dari rekaman kamera tersembunyi atau CCTV.

“Ya kami melihat dalam hal ini, dari rekaman CCTV juga yang bersangkutan melompat dari ketinggian. Cuman masih kami dalami, kami belum menyimpulkan,” jelas dia.

Bintoro menyebut pihaknya belum menemukan motif dari aksi yang bersangkutan memutuskan untuk melompat dari ketinggian. Saat disinggung adanya dugaan perundungan atau bullying, Bintoro menegaskan bahwa pihaknya belum bisa menyimpulkan.

“Nanti setelah kami mendalami akan tahu motif yang bersangkutan kenapa melompat,” tutur dia.

Sejauh ini sudah ada empat orang saksi yang diperiksa dalam kasus tersebut. Bintoro memastikan pihaknya bakal segera merampungkan upaya pemeriksaan.

sumber: Republika.co.id

Comments are closed.

JPPI Ungkap 5 Krisis Pendidikan di Jabar, Apa Saja?

0
34

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan keprihatinan atas krisis pendidikan di Jawa Barat (Jabar). Menurutnya, krisis ini lantaran kebijakan pendidikan yang terus menuai protes dan demonstrasi dari berbagai elemen masyarakat.

Pemantauan intensifJPPI dari Januari 2024 hingga Juli 2025 mengungkap lima krisis serius yang kian parah akibat pendekatan “jalan sendiri” Pemprov Jawa Barat dalam merumuskan kebijakan publik.

“Ini adalah alarm keras bagi Gubernur selaku pimpinan Pemprov Jawa Barat,” ungkap JPPI dalam keterangan resminya, dikutip Kamis (24/7/2025).

JPPI menambahkan, kondisi ini menunjukkan sudah saatnya Pemprov Jawa Barat membuka diri terhadap realitas di lapangan.

5 Krisis Pendidikan di Jabar

1. Tingginya Jumlah Anak Tidak Sekolah (ATS)
Tercatat, ada 616.080 anak di Jabar yang tidak sekolah. Jumlah ini merupakan angka tertinggi di Indonesia, melampaui Jawa Tengah (333.152 anak) dan Jawa Timur (332.844 anak).

” Ini menunjukkan kegagalan fundamental dalam menjangkau dan mempertahankan anak-anak di bangku sekolah,” tulis JPPI.

2. Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
Jawa Barat masuk dalam tiga besar provinsi dengan kasus kekerasan paling banyak. Kekerasan seksual (38%), perundungan (29%), dan kekerasan fisik (22%) mendominasi laporan.

3. Maraknya Tawuran
Kasus tawuran pelajar merajalela di 41 desa/kelurahan di Jawa Barat. Jumlah ini jauh di atas Jakarta (25 kelurahan) dan Sumatera Utara (20 desa/kelurahan).

“Ini bukan lagi kenakalan remaja biasa, melainkan cermin kegagalan pendidikan karakter dan intervensi sosial yang dilakukan oleh pemerintah daerah,” ujar JPPI.

4. Intoleransi di Sekolah
Jawa Barat menjadi provinsi dengan kasus intoleransi tertinggi di lingkungan pendidikan. Masalah intoleransi ini mulai dari kurangnya guru agama untuk minoritas, persekusi pelajar beda keyakinan, hingga intimidasi dan stigmatisasi.

Kasus intoleransi yang dialami pelajar Jawa Barat salah satunya yakni perisakan pada retret pelajar Kristen di Cidahu, Sukabumi, Jawa Barat pada Jumat (27/6/2025). Warga memecahkan dan merusakkan kaca dan jendela, menurunkan salib, dan mengusir peserta yang sebagian besar pelajar, dikutip dari BBC.

5. Skandal Penahanan Ijazah
Hingga Juli 2025, JPPI menerima 612 kasus pengaduan penahanan ijazah oleh sekolah. Pengaduan kasus di Jabar terbilang terbanyak dibandingkan dengan daerah lain.

JPPI menyatakan Pemprov Jawa Barat ingkar janji untuk membayar uang tebusan kepada sekolah swasta.

“Fakta-fakta anomali ini bukan sekadar angka, ini adalah tragedi yang kompleks. Memang, beberapa anomali ini memiliki akar dari warisan masa lalu. Namun, tragedi ini diperparah oleh ego ‘Superman’ Pemprov Jawa Barat yang berlagak bisa menyelesaikan semuanya sendirian,” kata Ubaid Matraji, Koordinator NasionalJPPI.

Rekomendasi Kebijakan dari JPPI
Oleh karena itu, JPPI merekomendasikan langkah-langkah konkret bagi Pemprov Jawa Barat untuk mengatasi krisis pendidikan ini:

1. Hentikan pendekatan “jalan sendiri”. Pemprov Jabar harus meninggalkan praktik perumusan kebijakan yang tertutup dan eksklusif.

2. Perkuat ruang partisipasi publik yang inklusif

3. Bersikap terbuka terhadap kritikan

4. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) harus berani dan tegas menegur Gubernur Jawa Barat yang cenderung “jalan sendiri” dalam kebijakan pendidikan.

detik.com

Comments are closed.