
Ratusan Siswa SMP Buleleng Tak Bisa Baca, Kegagalan Kolektif?
Membaca adalah salah satu komponen penting dalam fase pertumbuhan anak, khususnya bagi yang hendak telah memasuki jenjang pendidikan formal. Usia bagi anak untuk mulai membaca bervariasi, tetapi menurut National Reading Panel (NRP) Australia, kebanyakan anak sudah menunjukkan minat dan kemampuan untuk belajar membaca sekitar umur 4 hingga 7 tahun. Kesiapan ini banyak dipengaruhi oleh perkembangan emosional dan kognitif dari anak yang bersangkutan.
Namun, fenomena yang mengkhawatirkan tampak di sisi utara Pulau Bali. Tepat di Kabupaten Buleleng, ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) masih belum lancar, bahkan belum bisa membaca sama sekali. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng mengungkap ada 363 siswa SMP, yang tersebar dari 60 sekolah negeri dan swasta, yang tidak lancar dan tidak bisa membaca.
Angka tersebut lantas dibagi lagi menjadi dua kategori, yakni tidak lancar membaca (TLM) sebanyak 208 siswa SMP dan tidak bisa membaca (TBM) sebanyak 155 siswa SMP. Berdasarkan jenis kelaminnya, sebanyak 283 siswa di antaranya adalah laki-laki dan 73 sisanya adalah perempuan. Jumlah tersebut berbanding dengan total seluruh siswa SMP di Kabupaten Buleleng yang menyentuh angka 34.062 orang.
Bharata mengungkapkan, penyebab ratusan siswa SMP tersebut tidak bisa dan tidak lancar membaca, meliputi kurangnya motivasi belajar (45 persen), kurangnya dukungan orang tua (21 persen), disleksia (19 persen), disabilitas (10 persen), dan pembelajaran tidak tuntas (5 persen). Dari ratusan siswa tersebut pula terdapat indikasi bahwa mereka juga tidak bisa menulis dan menghitung, tetapi hal tersebut masih diverifikasi lebih lanjut.
Dua anak membaca buku di Perpustakaan Daerah, Pekalongan, Jawa Tengah, Kamis (11/7/2024). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/nym.“Itu ada yang disebabkan karena belum tuntasnya belajar, ada berikutnya faktor disleksia, sudah memang ada bawaan sejak lahir. Ada juga keterlambatan (membaca) dan difabel. Ada juga yang istilahnya kondisi keluarga yang memengaruhi dan ada juga yang dipengaruhi oleh faktor motivasi dari siswa itu sendiri,” kata dia.
Mengherankannya, ratusan siswa tersebut bisa lolos dari tingkat SD ke SMP, walaupun belum atau tidak lancar membaca. Bharata menyebut, salah satu faktornya adalah karena pandemi Covid-19 yang mengakibatkan tidak dilakukannya seleksi siswa yang lulus dari SD untuk naik tingkat ke SMP di Buleleng.
“Kalau dilihat dari mekanisme pembelajaran itu, kita ada kurikulum dengan fase. Kemudian, perlu dimaklumi bahwa mereka ada yang terdampak Covid-19 kemarin. Jadi tidak ada tes itu. Kalau memang sudah dikatakan lulus oleh SD-nya, SMP siap menerima. Setelah itu baru ketahuan setelah mereka mengikuti pelajaran, apalagi SMP itu sifatnya pengembangan,” beber Bharata.
Selain itu, ada siswa yang mengidap disleksia atau disabilitas sejak belia. Namun, Bharata mengatakan pihak Disdikpora Kabupaten Buleleng akan memetakan kembali penyebab dari masing-masing siswa tersebut tidak bisa atau belum lancar membaca. Nantinya juga, dinas akan melakukan pendampingan secara khusus selama 6 bulan ke depan untuk siswa-siswa tersebut.
“Untuk mengantisipasi, nanti saat mau tahun ajaran baru, kami akan melakukan pendataan kelas 4, 5, dan 6, kemudian kami akan men-drill nanti untuk bisa membaca. Kami akan memberikan pemahaman membaca kepada mereka. Bapak dan ibu guru nanti diberikan pendampingan, jika ada nanti peserta didiknya yang mengalami keterlambatan dalam mengenal huruf atau membaca. Sudah akan ada pelatihan untuk itu,” jelas Bharata.
Untuk memastikan apakah siswa tersebut berkebutuhan khusus atau tidak, Bharata mengatakan akan ada asesmen melalui program layanan disabilitas. Di sana akan ada psikolog, yang nantinya akan ikut membantu memetakan tingkat potensi anak tersebut dan sejauh apa mereka dapat mengikuti pembelajaran. Dia mengeklaim, kurikulum sudah menunjang hal tersebut, sehingga fase pembelajaran dapat disesuaikan dengan tingkat kemampuan yang siswa-siswa itu miliki.
Di samping itu, Bharata menyebut bahwa digitalisasi memengaruhi pola perkembangan siswa-siswa tersebut. Mereka lebih mudah untuk mengakses dan mengetik dengan ponsel, ketimbang diminta untuk membaca. Anomali tersebut masih ditelusuri Disdikpora Kabupaten Buleleng sambil membenahi proses pendidikan yang sudah berjalan hingga saat ini.
“Memang perlu untuk bisa mengurangi aktivitas digital anak-anak, sehingga mereka lebih fokus nantinya mengenal literasi melalui belajar membaca dan menulis yang diajarkan di sekolah, juga pendampingan orang tua salah satunya menjadi faktor penting untuk mendorong anak-anaknya untuk bisa mengikuti pembelajaran dengan baik di sekolah,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Made Sedana, juga menemukan adanya ratusan siswa di Kabupaten Buleleng yang tidak bisa dan belum lancar membaca. Awalnya, Dewan Pendidikan menemukan sekiranya 400 siswa, tetapi jumlah tersebut lantas dipilah kembali hingga mencapai angka 363 siswa.
Namun, data tersebut belum termasuk sekolah-sekolah yang berada di bawah naungan Kementerian Agama. Pihak Dewan Pendidikan mengeklaim sudah berkomunikasi dengan Departemen Agama (Depag) di Buleleng untuk mendata siswa SMP yang belum lancar dan tidak bisa membaca tersebut. Tidak menutup kemungkinan, jumlah siswa tersebut dapat bertambah pula.
“Kami belum bisa menyampaikan secara detail karena memang proses untuk pendataan. Data itu by name dan by address,” ungkap Sedana.
Tak Hanya di Bali
Menurut Sedana, permasalahan di Kabupaten Buleleng tersebut juga terjadi di kabupaten lainnya yang ada di Pulau Bali, bahkan di Indonesia secara luas. Dia berharap, Disdikpora dan Dewan Pendidikan kabupaten lainnya dapat memastikan dan mendata kembali jumlah siswa yang tidak bisa atau belum lancar membaca.
“Ini masalahnya tidak hanya di Buleleng. Cuma Buleleng yang baru mencoba mendata. Kita mulai mencoba mengungkap supaya masyarakat tahu, secara bersama-sama menyadari bahwa masalah ini adalah masalah kita bersama. Kita harus dari data dulu dan dari data itu, silakan apa kebijakan yang berbasis data dan menyentuh persoalan ini juga,” kata Sedana.
Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng menyoroti bahwa para siswa saat ini lebih senang bermain handphone dan kecanduan media sosial. Hal tersebut berpengaruh terhadap tingkat pembelajaran siswa, serta rasa ingin tahu dan motivasi belajar yang rendah di kalangan siswa-siswa Kabupaten Buleleng.
“Yang dominan karena motivasi mereka. Kedua, mungkin karena orang tua dan lingkungan. Lainnya mungkin kurikulum juga masuk, ada di dalamnya faktor media sosial dan lain sebagainya. Ada indikasi banyak anak bisa membaca, tapi enggak bisa menulis. Budaya menulisnya hilang karena biasa memakai gadget,” terangnya.
Peringatan Keras Bagi Pendidikan Indonesia
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut bahwa permasalahan banyaknya siswa yang tidak bisa dan belum lancar membaca seperti di Kabupaten Buleleng sudah terjadi di banyak daerah. Hanya saja hal tersebut tidak dianggap serius, sehingga kian merebak seiring berjalannya waktu.
Ubaid menilai, fenomena tersebut merupakan potret gagalnya jenjang pendidikan dasar di Indonesia, khususnya sistem sekolah. Selain itu, dia juga menyoroti menjamurnya tempat-tempat kursus baca, tulis, dan hitung (calistung) di luar sekolah.
Sejumlah siswa membaca buku bacaan yang disediakan oleh mobil pustaka (Moka) di SD Negeri Srengseng Sawah 04, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta, Selasa (20/2/2024). ANTARA FOTO/Bayu Pratama S/wpa.“Mengapa ini bisa terjadi? Jelas karena sekolah gagal mengajari anak membaca. Kalau di sekolah anak diajari membaca dengan baik, maka anak cukup belajar di sekolah. Tapi, kenapa ini orang tua berbondong-bondong mengkursuskan anaknya untuk bisa membaca di lembaga kursus? Ini ironi,” terang Ubaid kepada Tirto, Selasa (22/4/2025).
Fenomena siswa jenjang sekolah menengah yang tidak bisa membaca ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kebijakan yang terus berganti setiap kali adanya pergantian menteri. Ubaid menegaskan, hal tersebut merupakan tradisi buruk yang harus diputus, terutama apabila perubahannya tidak berdasarkan evaluasi dan kajian berbasis data.
“Guru-guru kita juga masih banyak yang bermasalah, mulai dari masalah mutu yang rendah dan juga soal kesejahteraan yang mengenaskan. Ini berdampak pada rendahnya kompetensi guru, baik dari sisi profesionalismenya maupun kemampuan pedagoginya,” jelasnya.
Lebih lanjut, Ubaid menilai ekosistem pendidikan Indonesia masih sangat buruk. Buruknya ekosistem tersebut ditandai dengan tidak adanya budaya membaca di sekolah-sekolah dan kesibukan guru-guru yang cenderung berada di ranah administratif, sehingga minat baca guru turut terpengaruhi.
“Belum lagi faktor keterlibatan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan. Ini sangat minim sekali, bahkan tidak ada,” ungkap Ubaid.
Menurutnya, diperlukan langkah komprehensif oleh pemerintah untuk mengatasi permasalahan literasi di Kabupaten Buleleng tersebut. Salah satu langkahnya adalah dengan meningkatkan kualitas guru hingga di atas standar rata-rata nasional. Selain itu, Ubaid juga menggarisbawahi penyediaan pembiayaan sekolah untuk meringankan orang tua siswa.
“Banyak anak enggak bisa sekolah karena sekolah masih berbiaya mahal. Di sekolah negeri banyak pungli dan di sekolah swasta biayanya sangat mahal,” kata Ubaid.
Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, I Wayan Widiana, membenarkan bahwa faktor-faktor penyebab yang ditemukan oleh Dewan Pendidikan Kabupaten Buleleng sangat memengaruhi keterlambatan baca siswa. Faktor internal berupa motivasi merupakan faktor yang penting dalam membangun semangat, fokus, dan konsentrasi belajar.
“Faktor eksternal juga memengaruhi, seperti pendampingan orang tua dalam belajar dan faktor dukungan sekolah, seperti metode pembelajaran yang efektif, ketersediaan media dan bahan pembelajaran, serta perhatian guru. Selain itu, faktor kebutuhan khusus, seperti pendengaran, penglihatan, dan konsentrasi, juga menyebabkan siswa membutuhkan perhatian khusus dalam membaca,” terang Widiana kepada Tirto, Rabu (23/04/2025).
Widiana menambahkan bahwa temuan Disdikpora Kabupaten Buleleng memiliki potensi yang besar untuk terjadi di seluruh Bali. Seharusnya, mulai sejak siswa tersebut berada di kelas 1 SD, kemampuan dasar seperti membaca, menulis, dan menghitung sudah mendapat atensi dari guru dan keluarga.
“Jadi sejak dini, guru dan keluarga harus terus melakukan kegiatan parenting dengan mendiskusikan perkembangan anak sejak dini,” lanjutnya.
Saat ini, pendidikan dasar dan menengah pertama menjadi tanggung jawab tingkat kabupaten. Oleh sebab itu, Widiana menilai penyelesaian tingkat pertama dari masalah di Kabupaten Buleleng tersebut harus dilakukan oleh pemerintah kabupaten. Langkah yang dapat dilakukan untuk menanggulangi masalah tersebut adalah dengan berkoordinasi bersama perguruan tinggi untuk membentuk tim pendampingan intervensi klinis.
“Pendampingan ini dilakukan dengan tahapan-tahapan atau prosedur bimbingan yang terstruktur. Pendampingan dilakukan dengan memprioritaskan kelas 9 yang akan sebentar lagi tamat dan Pemda memiliki waktu 3 bulan untuk melakukan pendampingan, sehingga di tingkat SMA, anak-anak sudah bisa mengikuti pendidikan lanjutan terkait materi pelajaran di jenjang itu,” beber Widiana.
Perguruan tinggi Undiksha yang berada di Buleleng itu pun akan ambil andil dalam proses intervensi. Widiana mengatakan sudah terbentuk Tim Pendamping Intervensi Klinis yang melibatkan lebih dari 50 relawan dosen sebagai tim ahli dan ratusan relawan dari mahasiswa sebagai tim teknis lapangan. Mereka menyasar seluruh SMP di Kabupaten Buleleng yang memiliki siswa tidak lancar calistung. Satu sekolah akan memiliki satu tim, yang terdiri atas satu orang dosen dan empat hingga tujuh mahasiswa.
“Nanti diterapkan model Intervensi Klinik yang dibagi menjadi tiga dimensi, yakni dimensi persiapan, dimensi treatment, dan dimensi pencegahan. Namun, dalam proses eksekusinya di lapangan perlu koordinasi dengan Pemda,” imbuhnya.
Atensi Khusus dari Eksekutif Daerah
Banyaknya siswa SMP yang masih tidak bisa membaca di Kabupaten Buleleng mendapatkan atensi khusus dari Pemerintah Daerah (Pemda), baik di tatanan Kabupaten Buleleng maupun Provinsi Bali. Wakil Gubernur (Wagub) Bali, I Nyoman Giri Prasta, menyorot pendidik dan orang tua sebagai salah satu faktor penyebab siswa-siswa tersebut tidak bisa membaca.
Wayan Koster saat Launching Siaran Televisi Digital dari Turyapada Tower KBS 6.0 Kerthi Bali, Buleleng, Jumat (18/04/2025). Tirto.id/Sandra GiselaGiri mengeklaim sudah melakukan koordinasi dan mendapat arahan dari Gubernur Bali, Wayan Koster, untuk menuntaskan permasalahan di Kabupaten Buleleng tersebut. Permasalahan itu juga sudah dibicarakan dengan Bupati Buleleng, I Nyoman Sutjidra, dan Wakil Bupati Buleleng, Gede Supriatna.
“Jadi kami akan lakukan pembinaan terhadap persoalan ini. Sehingga, apapun yang terjadi, pokoknya itu (siswa SMP di Buleleng) harus bisa baca tulis, sesuai dengan kemampuan dia. Kami koordinasi dengan kepala dinas dan kita akan menggerakkan semua komponen masyarakat. Nanti akan ada juga rumah pintar. Ada organisasi masyarakat yang akan mengedukasi, akan memberikan bantuan juga terhadap hal itu,” ungkap Giri di Kantor DPD PDI Perjuangan, Denpasar, Senin (21/4/2025).
Sebelumnya, permasalahan ini turut mendapat perhatian dari Gubernur Bali, Wayan Koster, yang berencana segera melakukan pengecekan ke seluruh kabupaten atau kota yang ada di Provinsi Bali. Koster meminta Bupati Buleleng agar temuan tersebut diselidiki lebih dalam karena merupakan sinyal darurat sistem pendidikan dasar di Provinsi Bali.
“Di kabupaten lain jangan-jangan juga ada. Ini agak aneh juga karena pasti sudah melewati SD enam tahun. Kelas 3 SD seharusnya sudah bisa baca, tulis, hitung (calistung). Kalau itu benar, berarti pendidikan kita harus diperkuat, terutama kemampuan dasar calistung,” ucap Koster di Gedung Kesenian Gde Manik Singaraja, Rabu (16/4/2025).