Benahi Tata Kelola Pendidikan Nonformal
Masalah pendidikan masyarakat dan kurangnya pemahaman guru mengenai negara, agama, serta toleran masih membutuhkan perhatian mendalam. karena itu, tata kelola pendidikan mesti dibenahi.
JAKARTA, KOMPAS—Sepanjang tahun 2019, berbagai persoalan masih dihadapi dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Selain masalah pendidikan masyarakat, pemahaman guru mengenai negara, agama, serta toleran masih membutuhkan perhatian mendalam.
Hal tersebut disampaikan dalam catatan akhir tahun Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), di Jakarta, Senin (30/12/2019). Temanya adalah “Quo Vadis Pendidikan Indonesia”. Istilah quo vadis yang diambil dari bahasa latin yang berarti “hendak ke mana” ini dipakai untuk menggambarkan tidak jelasnya arah serta tujuan pendidikan menurut JPPI. Jaringan ini sendiri terdiri fari 34 organisasi terkait pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Permasalahan paling berat adalah keluarnya Peraturan Presiden 82/2019 yang merombak struktur unit kerja eselon 1 di Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan),” kata Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji.
Perpres itu meniadakan Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Pendidikan Masyarakat. Sebagai gantinya, akan dibentuk Ditjen PAUD, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah beserta Ditjen Vokasi.
” Permasalahan paling berat adalah keluarnya Peraturan Presiden 82/2019 yang merombak struktur unit kerja eselon 1 di Kemendikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan).
Ubaid mengungkapkan, berdasarkan informasi yang beredar di JPPI, pendidikan masyarakat bersifat keterampilan kerja akan dimasukkan dalam Ditjen Vokasi, sementara pendidikan kesetaraan seperti pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) dan sekolah rumah di bawah Ditjen PAUD Dasmen.
“Sistem ini menegasikan pendidikan nonformal karena jika berada di bawah Ditjen PAUD Dasmen berisiko dianaktirikan. Ketika masih berada di bawah Ditjen PAUD dan Pendidikan Masyarakat saja pengalokasian anggarannya kecil, apalagi di kalangan pemerintah daerah yang umumnya memberi kurang dari 1 persen anggaran untuk pendidikan nonformal,” ucapnya.
Pendidikan nonformal merupakan perwujudan dari dari salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Konsep tersebut menekankan kepada pembelajaran sepanjang hayat yang terbuka bagi warga dunia untuk semua umur dan jenis kelamin. Tujuan ini jauh lebih tinggi dibandingkan Wajib Belajar 12 Tahun karena sifatnya yang inklusif.
Kecemasan mengenai konsolidasi ini juga turut dikemukakan berbagai pihak seperti forum PKBM dan komunitas pelaku sekolah rumah. Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) melalui Sekretaris Jenderalnya, Anastasia Rima, mengutarakan keinginan untuk melakukan audiensi dengan pihak Kemendikbud. Sejatinya pendidikan nonformal bukan merupakan pilihan terakhir dan hanya untuk individu yang dikonotasikan tidak memiliki kapasitas mengikuti standar sekolah formal.
“Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional jelas menegaskan pendidikan yang diakui di Indonesia adalah formal, nonformal, dan informal. Ketiganya sama penting. Tidak ada alasan hanya pendidikan formal yang diprioritaskan karena bertolak belakang dengan cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa,” kata Anastasia dalam rapat Asah Pena awal Desember lalu.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud Totok Suprayitno yang pernah menjadi Pelaksana Tugas Dirjen Dikdasmen pekan lalu, menyatakan semestinya para pelaku pendidikan nonformal tidak mencemaskan konsolidasi di eselon 1 Kemendikbud. Jika berjalan baik, keberadaan pendidikan nonformal di bawah Ditjen PAUD Dasmen yang baru bisa bersinergi. Namun, keputusan tentang pelaksanaan konsolidasi ini belum diumumkan secara resmi.
Intoleransi
Masalah besar kedua ialah masih ditemukannya kasus intoleransi di sekolah, padahal seharusnya sekolah adalah tempat pemahaman dan pemaknaan kemajemukan bagsa sebagai identitas dan kekayaan. Akan tetapi, JPPI menemukan banyak guru belum memahami hubungan antara berbangsa, bernegara, dan beragama.
“Akibatnya guru malah memberikan indoktrinasi kepada siswa bahwa ada agama ataupu suku bangsa yang dinilai lebih baik. Bukannya memahami Bhinneka Tunggal Ika dan membuka ruang-ruang pertemuan dan diskusi,” papar Ubaid.
Salah satu pembina Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Qudrat Nugraha mengakui hal tersebut. Bahkan, di PGRI topik mengenai toleransi belum dijadikan pembahasan mendalam, baru sebagai bagian pembekalan keorganisasian. Itu menjadi pekerjaan rumah organisasinya untuk memerkuat wawasan kebangsaan guru.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.