Abaikan Pendidikan di Masa Pandemi Akan Mengundang Bencana Berikutnya
JAKARTA – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyatakan, pandemi virus Corona atau Covid-19 yang terjadi di Indonesia, telah membuka mata tentang layanan pendidikan di Indonesia yang dianggap masih gagap menghadapi bencana. Padahal, Indonesia ditakdir menjadi negara yang rawan bencana.
Menurut Ubaid, harusnya pemerintah mampu menghadapi situasi ini sejak awal. Tetapi ternyata, pemenuhan hak pendidikan bagi warga negara belum menjadi sektor utama dalam situasi darurat.
“Mengabaikan sektor pendidikan di kala bencana adalah kelalaian fatal yang mengundang bencana berikutnya yang lebih destruktif,” tutur Ubaid dalam refleksi Hardiknas 2020 kepada SINDOnews, Sabtu (2/5/2020).
Menurutnya, saat ini pemerintah terkesan belum menyelamatkan sektor pendidikan, tetapi membiarkan pendidikan berjalan terseok-seok. Dana darurat sekitar Rp405 triliun untuk penanggulangan wabah corona yang menyasar banyak bidang, ternyata tidak untuk menyelamatkan sektor pendidkan sama sekali.
“Bahkan, dana pendidikan di Kemendikbud dan Kemenag disunat dan direalokasikan untuk sektor lain. Akibatnya, ancaman di sektor pendidikan kian nyata di depan mata,” kata Ubaid.
Ubaid menuturkan, dalam kondisi pandemi corona yang seakan tak tampak ujungnya, pemerintah diingatkan berbagai hal menyangkut dunia pendidikan kita.
Pertama ancaman putus sekolah. Angka kemiskinan naik tajam dalam situasi seperti ini. Tentu ini akan berdampak pada kemampuan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Buat makan saja susah, apalagi buat bayar sekolah. Sebab, sekolah kita masih saja banyak bayar pungutan ini dan itu. Mendapatkan akses sekolah adalah hak dasar warga negara, jadi ini harus dijamin, jangan malah diabaikan.
Kedua, ancaman sekolah gulung tikar. Tidak semua sekolah itu negeri. Banyak juga yang swasta. Belum lagi madrasah, yang mayoritas adalah swasta. Mereka semua adalah komponen yang paling terdampak pandemi ini. Hampir 56% sekolah swasta di Indonesia mengalami kesulitan biaya operasional (Jejak pendapat, Kemendikbud, 2020). Kalau ini dibiarkan, ada banyak guru, tenaga kependidikan, dan peserta didik, yang terlantar.
Ketiga, ancaman depresi massal. Ini bisa melanda semua pihak di sekolah, mulai dari anak, orang tua, guru, kepala sekolah, dan lainnya. Kurikulum pembelajaran kita saat ini masih mengacu pada pendidikan normal. Akibatnya, guru harus mengajar tiap hari, anak-anak mengerjakan tugas banyak tiap hari, dan juga orang tua harus damping anak tiap hari. Padahal mereka juga harus menghadapi situasi yang serba sulit. Belajar model seperti ini tidak boleh diterus-teruskan, harus segera dihentikan, lalu harus ada panduan dan kurikulum belajar dalam kondisi darurat. Jika situasi ini dibiarkan, depresi massal akan terjadi dan tubuh kian rentan terhadap virus.
Kata Ubaid, ini semua bisa terjadi karena pemerintah masih abai terhadap sektor pendidikan dalam situasi pandemi. Juga menunjukkan, bahwa ternyata pembelajaran pendidikan kita masih sangat konvensional, dan belum mampu memanfaatkan teknologi dan sumberdaya lokal sebagai bagian dalam proses pembelajaran. Untuk itu, JPPI memberikan beberapa rekomendasi:
Pertama, reformulasi kurikulum darurat. Pemerintah harus membuat pedoman dan kurikulum pembelajaran di kala pandemi. Ini penting supaya belajar tetap dapat dilakukan dengan menyenangkan, tidak membuat anak stres, dan ada capaian target-target yang terukur. Misalnya, kalau situasi normal sekolah biasa ada target harian, nah di saat darurat, target-targetnya bisa dirancang model mingguan bahkan bulanan.
Kedua, percepat birokrasi pencairan BOS dan tambah anggaran pendidikan. Sebab, dana pendidikan juga disalurkan kepada para penerima manfaat yang terdampak Covid-19 melalui institusi pendidikan. Jadi, harusnya dana pendidikan itu ditambah, bukan malah disunat. Bahkan dana BOS saat ini, masih banyak yang belum cair, karena birokrasi yang masih rumit.
Ketiga, berikan bansos untuk guru honorer. Jangan ambilkan gaji guru honorer dari dana BOS, apalagi masih banyak yang susah cair. Ini akan mengurangi biaya operasional untuk menunjang proses pembelajaran. Harusnya, ada skema bansos khusus untuk guru honorer. Mereka termasuk orang yang paling terdampak dalam institusi pendidikan.
Keempat, upgrade kompetensi guru. Mau tidak mau, situasi ini akan menjadi hal baru yang dibiasakan. Pembelajaran tidak harus dilakukan dengan tatap muka di dalam kelas, tapi bisa dilakukan di manapun dengan menggunakan sumber-sumber belajar yang beragam. Ini menjadi momentum untuk meng-upgrade kompetensi para guru untuk dapat melakukan proses-proses pembelajaran secara fleksibel, kreatif, dan inovatif.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.