
Utak-atik Sistem Penjurusan SMA, Siswa Kembali Jadi Kelinci Percobaan
Angin segar, atau justru angin putar balik, sedang berembus dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Menteri Abdul Mu’ti tiba-tiba melontarkan wacana lama yang baru: menghidupkan kembali sistem penjurusan di bangku SMA, yang tiga tahun lalu resmi dimatikan oleh pendahulunya.
Tak lain, jurusan klasik yang dulu akrab di telinga siswa: IPA, IPS, dan Bahasa. Sistem yang selama puluhan tahun menjadi peta jalan pendidikan menengah, namun sempat digulung habis oleh kebijakan Mendikbudristek Nadiem Makarim lewat Permendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.
Surat keputusan yang diteken pada 25 Maret 2024 itu menandai berakhirnya sistem penjurusan, demi pendidikan yang katanya lebih fleksibel dan sesuai minat bakat.Namun kini, Mu’ti seakan mengisyaratkan langkah mundur dari kebijakan itu.
“Ke depan, jurusan akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada jurusan IPA, IPS, dan Bahasa,” ujarnya santai saat ditemui, Sabtu (12/4/2025).
Rencana ini sontak membuat publik bertanya-tanya: benarkah sistem pendidikan Indonesia masih berkutat di lingkaran yang sama, berputar-putar di antara regulasi yang tak kunjung ajek?Redaksi IDN Times, lewat kolaborasi Hyperlokal, mencoba menelisik lebih dalam soal tarik-ulur dunia pendidikan di negeri ini – sebuah dunia yang seakan terus mencari bentuk, seiring bergantinya menteri, kebijakan, dan kurikulum.
1. Klaim untuk membangun fondasi akademik siswa SMA
Artikel ini telah tayang di Idntimes.com dengan judul “Utak-atik Sistem Penjurusan SMA, Siswa Kembali Jadi Kelinci Percobaan”.
Klik untuk baca: https://kaltim.idntimes.com/news/kaltim/sri-wibisono/utak-atik-sistem-penjurusan-sma-siswa-kembali-jadi-kelinci-percobaan.
Dunia pendidikan kembali bergolak pekan lalu. Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti mengumumkan rencana yang terdengar seperti lagu lama, tapi dengan aransemen baru: sistem penjurusan di bangku SMA bakal dihidupkan kembali.
Bukan asal comot sistem lawas, Mu’ti meracik skema anyar. Nantinya, seluruh siswa diwajibkan menempuh Tes Kemampuan Akademik (TKA) dengan dua menu wajib: Bahasa Indonesia dan Matematika. Setelah itu, murid dipersilakan memilih lauk pendamping sesuai jurusan.
Siswa IPA bisa menentukan tambahan Fisika, Kimia, atau Biologi. Sementara anak IPS diberi keleluasaan memilih antara Ekonomi, Sejarah, atau cabang-cabang ilmu sosial lainnya.
“Untuk yang IPS juga begitu, mereka bisa memilih tambahan apakah itu Ekonomi, Sejarah, atau disiplin lain di rumpun Ilmu Sosial,” kata Mu’ti, dalam keterangannya.Mu’ti menegaskan, rencana ini bukan semata-mata nostalgia masa lalu, melainkan upaya memperkuat fondasi akademik siswa sejak dini, supaya tak salah arah saat melangkah ke perguruan tinggi.
Ia menyebut, terlalu banyak contoh mahasiswa yang tersandung realitas: kuliah di jurusan yang tak nyambung dengan latar belakang SMA mereka.“Kami menerima laporan, ada mahasiswa berlatar belakang IPS yang diterima di Fakultas Kedokteran. Tentu ini jadi tantangan berat ketika kuliah, sebab seleksi masuk sebelumnya tidak mempertimbangkan materi pelajaran, hanya mengukur potensi umum,” ucap Mu’ti.
Ide penjurusan ini sejatinya merupakan manuver balik arah atas kebijakan Nadiem Makarim. Di masa Nadiem, penjurusan dihapus lewat Kurikulum Merdeka. Alasannya: memberi ruang bagi siswa untuk mengulik minat dan bakat tanpa terbatasi sekat-sekat formal.
Kepala Badan Standar Nasional Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) saat itu, Anindito Aditomo, bahkan menyebut kebijakan ini sebagai revolusi kecil dalam dunia pendidikan.
Dengan model tanpa jurusan, siswa diberi kebebasan menyusun menu belajar sesuai selera akademis mereka. “Pada tahun ajaran 2022, sekitar 50 persen satuan pendidikan sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Pada 2024, angkanya melonjak menjadi 90 hingga 95 persen,” kata Anindito.
Kini, Mu’ti hendak menguji kembali, apakah fleksibilitas itu cukup mampu membekali siswa menghadapi realitas kampus dan dunia kerja.
Lewat penjurusan, ia berharap fondasi ilmu pengetahuan para siswa lebih kokoh sebelum naik tingkat.Bagi Mu’ti, eksplorasi minat tetap penting, tapi kesiapan akademik tak boleh dikesampingkan.
2. Rencana penghapusan Kurikulum Merdeka
Baru saja kursi empuk Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dipanaskan, Abdul Mu’ti langsung memberi sinyal: tak semua warisan Nadiem Anwar Makarim akan ia teruskan.
Pada hari pelantikannya, Senin, 21 Oktober 2024, Mu’ti tanpa basa-basi mengumumkan rencananya: Kurikulum Merdeka bakal dikaji ulang.Tak ada gembar-gembor apologi soal kesinambungan kebijakan. Mu’ti bicara lugas.
Meski kurikulum itu digadang-gadang sebagai wajah baru sistem pendidikan Indonesia, dengan jargon fleksibilitas dan kemandirian belajar, ia tak menampik banyak sekolah belum mampu mengadopsinya secara utuh.“Kami akan kaji ulang.
Kurikulum ini masih baru, dan walaupun sudah diwajibkan diterapkan di semua satuan pendidikan, pada kenyataannya belum semua sekolah siap,” kata Mu’ti saat berbincang di Gedung Kemendikbudristek.
Dalam banyak kesempatan, terang-terangan memperkenalkan sistem kurikulum baru berkonsep deep learning. Ia pun berdalih sistem baru ini bukanlah kurikulum yang menggantikan Kurikulum Merdeka, melainkan sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam, berpikir kritis, dan pembelajaran yang lebih menyenangkan.
Ia mengaku lebih suka menyiapkan landasan matang ketimbang sibuk menambal di tengah jalan. Ia sadar betul, Kurikulum Merdeka-yang muncul di tengah pandemik itu-belum selesai jadi solusi.
“Kami tidak akan mengambil kebijakan secara tergesa-gesa, apalagi di tengah polemik yang masih ramai di masyarakat,” ujarnya.
Selain kurikulum, Mu’ti juga melirik sistem zonasi. Kebijakan lama yang sempat dielu-elukan sebagai jurus pemerataan akses pendidikan ini ternyata masih menyisakan banyak suara sumbang, terutama dari orang tua murid yang kecewa karena putra-putri mereka terhalang masuk sekolah favorit lantaran alamat rumah tak masuk peta zonasi.
“Aturan zonasi juga akan kami tinjau. Semua kebijakan punya sisi baik dan buruk. Kami perlu melihat dari banyak sudut, supaya keputusan nanti betul-betul adil untuk semua,” kata Mu’ti.Di atas kertas, Kurikulum Merdeka menawarkan cita-cita manis: kelas yang lebih cair, siswa leluasa mengeksplorasi minat dan bakat, guru tak lagi terkekang buku paket.
Namun, di lapangan, tak sedikit sekolah yang terantuk persoalan klasik: kekurangan tenaga pengajar, minim fasilitas, hingga lemahnya pemahaman orangtua.
Mu’ti berpendapat, memperbaiki sistem pendidikan tak cukup dengan mengganti sampul kurikulum. Ia menegaskan bahwa perubahan sejati butuh kesiapan semua unsur, dari ruang kelas, guru, sampai dukungan masyarakat.
“Kami ingin memastikan perubahan ini bukan hanya sekadar inovasi di atas kertas, tapi benar-benar bisa dijalankan di semua sekolah,” ucapnya.
Langkah Mu’ti mengoreksi dua warisan Nadiem: Kurikulum Merdeka dan sistem zonasi, memberi isyarat jelas bahwa dirinya ingin meletakkan kembali fondasi pendidikan nasional di atas rel yang lebih realistis. Penerapan kembali penjurusan di jenjang pendidikan SMA menjadi langkah awal pengenalan sistem kurikulum baru kementerian yang berbasis deep learning.
3. Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia
Riuh wacana menghidupkan kembali sistem penjurusan di bangku SMA boleh jadi bukan sekadar urusan teknis pendidikan semata.
Langkah ini bisa dibaca sebagai tanda-tanda usia Kurikulum Merdeka yang kian pendek. Seperti tradisi lama di republik ini, pergantian kurikulum seolah jadi ritual wajib tiap kali kursi menteri berganti penghuni.
Fenomena tambal-sulam kurikulum di Indonesia bukan hal baru.
Alhamuddin, dosen senior Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Bandung (Unisba), pernah mencatat betapa seringnya pemerintah mengutak-atik cetak biru pendidikan nasional.
Dalam risetnya bertajuk “Sejarah Kurikulum di Indonesia” yang diterbitkan pada 2014, Alhamuddin menyebut negeri ini sudah mengalami sebelas kali pergantian kurikulum, sejak era kemerdekaan hingga memasuki reformasi.
“Benar kata orang, di Indonesia ganti pejabat itu pasti ganti kurikulum,” seloroh Alhamuddin dalam salah satu wawancaranya.
Cerita panjang perjalanan kurikulum Indonesia memang sarat dengan muatan ideologi, eksperimen pendidikan, hingga adaptasi atas perubahan zaman.
Dimulai dari Kurikulum 1947, warisan dari sistem pendidikan kolonial Belanda-Jepang, yang lebih menekankan pada pembentukan karakter berasaskan Pancasila, hingga sistem pengajaran yang mengakar pada moral dan kesadaran bernegara.
Tahun 1952, pemerintah mengeluarkan Rencana Pelajaran Terurai yang mulai merinci mata pelajaran secara lebih sistematis.
Di sinilah titik awal pengajaran Indonesia mulai bergeser dari warisan kolonial menuju sistem nasional murni.Pada 1964, kurikulum kembali berubah haluan lewat program “Pancawardhana” – sebuah model yang membagi pembelajaran ke dalam lima ranah: moral, intelektual, emosional-artistik, keterampilan, dan jasmani.
Namun, usia kurikulum ini tak panjang. Pergantian kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru membawa serta Kurikulum 1968, yang menghapus Pancawardhana dan menggantinya dengan tiga fokus: Pembinaan Jiwa Pancasila, Pengetahuan Dasar, dan Kecakapan Khusus.Zaman terus berganti, kurikulum pun ikut bergoyang.
Tahun 1975, pemerintah merilis Kurikulum 1975 dengan pendekatan Management by Objective, sebuah konsep manajemen yang kala itu sedang tren.
Kurikulum ini mengandalkan sistem pengajaran yang terukur dan berbasis evaluasi ketat, memperkenalkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
Tak puas, pemerintah kembali merombak lewat Kurikulum 1984 yang memperkenalkan model Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA), mendorong siswa untuk lebih mandiri dalam proses belajar. Tapi baru 10 tahun berjalan, sistem ini kembali dirombak.
Tahun 1994, Kurikulum baru lahir hasil kawin silang antara dua kurikulum sebelumnya, namun menuai kritik lantaran terlalu padat dan membebani siswa.
Memasuki era reformasi, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) diperkenalkan pada 2004, lalu digantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada 2006 yang memberi ruang lebih longgar bagi sekolah merancang silabus sendiri.
Tahun 2013, pemerintah kembali menggeber Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter dan penguatan kompetensi, sembari mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap.Lepas dari itu, datanglah era Nadiem Makarim yang menawarkan Kurikulum Merdeka-sebuah konsep yang digadang-gadang lebih fleksibel dan adaptif, lahir dari keprihatinan atas minimnya ruang eksplorasi siswa dalam Kurikulum 2013.
Kurikulum ini juga jadi produk turunan dari pengalaman pahit pendidikan di masa pandemi, yang memaksa pembelajaran berpindah dari ruang kelas ke layar gawai.Meski gagasan Kurikulum Merdeka terdengar manis di atas kertas, nyatanya belum semua sekolah siap menerapkannya.
4. Penerapan Kurikulum Merdeka yang kerap dipersoalkan
Kurikulum Merdeka belakangan ini kerap jadi kambing hitam atas merosotnya mutu pendidikan di Tanah Air dalam empat tahun terakhir. Namun, bagi Alham, tudingan itu terasa tidak adil dan, barangkali, terlalu dini disematkan pada kurikulum racikan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim itu.
Menurut Alham, butuh lebih dari sekadar perubahan aturan di atas kertas agar Kurikulum Merdeka bisa sepenuhnya meresap dalam praktik di lapangan. Para guru, murid, hingga orang tua, menurutnya, masih memerlukan waktu untuk mencerna esensi kurikulum baru ini.
“Hasil survei saya menunjukkan, 80 persen siswa di Jawa Barat hanya sekadar menyalin jawaban dari Google dan YouTube saat mengerjakan tugas,” kata Alham, menyodorkan data yang cukup menggelitik.
Kondisi serupa juga dialami para pendidik. Alih-alih mengajarkan kemandirian berpikir, sebagian besar guru justru gagap dalam memahami maksud dan tujuan Kurikulum Merdeka.
“Mayoritas guru tidak paham esensinya, jadi ya pelaksanaannya di lapangan sesuai tafsir masing-masing,” ujar Alham.
Selama itu pula, para guru masih berkutat persoalan dalam memahami implementasi penerapan Kurikulum Merdeka kepada anak murid.
Meski begitu, ia tak lantas pesimistis. Alham tetap menilai Kurikulum Merdeka sebagai langkah maju dalam merombak wajah pendidikan Indonesia. Kurikulum ini dirancang agar lebih luwes dan relevan dengan kebutuhan zaman – memberi ruang bagi peserta didik untuk belajar mandiri, menumbuhkan kreativitas, sekaligus adaptif di tengah arus globalisasi.
Konsep besarnya mencakup pembelajaran berbasis proyek, fleksibilitas dalam struktur kurikulum, fokus pada esensi materi, diferensiasi cara belajar, hingga pembentukan Profil Pelajar Pancasila sebagai kompas pendidikan nasional.
“Jauh sebelum pelaksanaannya, kurikulum ini sudah melalui kajian panjang demi menyesuaikan dengan tantangan zaman,” ujar Alham, mantap.Meski desainnya sudah modern, Alham menilai keberhasilan Kurikulum Merdeka tidak bisa dilepaskan dari kesiapan para pengajarnya.
Menurutnya, alih-alih terus menggonta-ganti sistem, pemerintah seharusnya lebih fokus menyiapkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia di ruang-ruang kelas.“Kalau sistemnya ganti melulu, tapi gurunya belum siap, hasilnya pasti butuh waktu lama.
Idealnya, kurikulum itu diterapkan secara berkelanjutan, sambil dievaluasi bertahap,” kata Alham.Ia pun menambahkan sindiran yang getir, “Bukan seperti saat kita mengisi BBM di SPBU, semua dimulai dari nol lagi.”Alham menyebut, sejatinya hampir semua kurikulum pendidikan Indonesia punya cita-cita yang mulia.
Namun, problem klasiknya selalu sama: implementasi di lapangan yang sering kali “Jauh Panggang dari Arang.”Ia mencontohkan Kurikulum 1984 yang mengusung konsep Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Kurikulum ini justru diadopsi Malaysia, dan hingga kini terbukti sukses diterapkan.“Malaysia konsisten menjalankan CBSA, yang menekankan pada keterampilan proses. Siswa diajak aktif mengamati, mengelompokkan, berdiskusi, dan melaporkan hasil belajar.
Kita punya konsepnya dulu, tapi mereka yang panen hasilnya,” ujar Alham.
5. Kritikan terhadap kebijakan bongkar pasang kurikulum
Nada sumbang atas praktik bongkar pasang kurikulum di dunia pendidikan juga disuarakan praktisi Universitas Mulawarman Samarinda, Bohari Yusuf. Guru Besar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam ini tak segan mengkritik, kebijakan pendidikan Indonesia lebih banyak berjalan zig-zag ketimbang lurus dan berkelanjutan.
“Kebijakan pendidikan kita tidak berkelanjutan,” ujarnya, gamblang.Bohari mengingatkan, setiap sistem pendidikan di dunia tentu punya celah dan kelemahan.
Namun, kelemahan itu seharusnya disempurnakan, bukan malah mengganti seluruh bangunan kurikulum setiap berganti kepemimpinan. Menurutnya, pergantian total justru memperlebar jurang ketimpangan dan menambah kebingungan di lapangan.
“Seharusnya, kita tidak mengganti kurikulum secara penuh. Itu kurang baik untuk perkembangan pendidikan,” kata Bohari.Ia melihat, baik Kurikulum 2013 maupun Kurikulum Merdeka sesungguhnya sama-sama lahir dari semangat yang relevan dengan tuntutan zaman.
Kurikulum 2013 menekankan pengembangan pelajar yang produktif, kreatif, dan inovatif. Sedangkan Kurikulum Merdeka, lebih diarahkan pada kesiapan siswa menghadapi dunia kerja yang dinamis.
“Intinya, kedua kurikulum ini punya niat baik: membentuk pelajar Indonesia yang berkualitas tinggi,” katanya.Namun, harapan yang dirangkai lewat naskah kurikulum itu sering kali terhenti di atas kertas.
Bohari menyoroti inkonsistensi penerapan kebijakan yang membuat kualitas pendidikan Indonesia tertatih-tatih di level regional. Di lingkup ASEAN, posisi Indonesia kerap nyaris di dasar, bersanding dengan Kamboja dan Filipina.Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) yang dirilis OECD pada 2022, kata Bohari, memaparkan fakta yang tak bisa dibantah. Hampir 70 persen pelajar di Indonesia hanya sampai pada level dua dari enam tingkat pemahaman – kemampuan yang hanya cukup untuk sekadar menghapal, tanpa benar-benar memahami makna dari bacaan.
“Kalau bicara level tertinggi, hanya 30 persen pelajar kita yang bisa menembus level enam dalam standar PISA. Bandingkan dengan Singapura, di sana 80 persen pelajar sudah bisa mencapai level tertinggi,” ungkapnya.
Bohari menegaskan, pemerintah tidak lagi punya ruang untuk coba-coba. Ia menuntut konsistensi arah kebijakan, bukan sekadar mengganti nama kurikulum atau mengejar citra. Jika pun ada revisi, ia berharap prosesnya melibatkan semua pemangku kepentingan, agar sistem yang lahir betul-betul sesuai kebutuhan pelajar di tanah air.
“Kalau pun perlu revisi, rumuskanlah dengan melibatkan semua stakeholder pendidikan. Jangan asal bongkar pasang,” tandasnya.
6. Pro kontra penerapan kebijakan ini di kalangan pelajar dan guru
Seperti biasa, wacana perubahan kebijakan pendidikan kembali mengaduk pro-kontra di tengah ruang kelas. Dari guru hingga siswa SMA di berbagai penjuru negeri, suara-suara mengambang antara mendukung dan mencibir soal rencana pemerintah mengembalikan sistem penjurusan di sekolah menengah.
Di Balikpapan, Kepala SMA Negeri 1, Daliya, memilih menahan komentar. Ia menegaskan, sekolahnya masih berpegang pada pedoman yang berlaku, sembari menunggu keputusan resmi dari pemerintah pusat.“Sampai hari ini, kami tetap menerapkan Kurikulum Merdeka,” ujarnya.
Kurikulum Merdeka memberi ruang lebih lebar bagi siswa untuk memilih mata pelajaran sesuai minat dan bakat. Kebijakan ini dinilai selaras dengan kebutuhan zaman dan karakter generasi muda. Apalagi, pemerintah menargetkan kurikulum anyar itu diterapkan penuh pada tahun ajaran 2025/2026.
Namun, bukan berarti perjalanan Kurikulum Merdeka berjalan tanpa aral. Daliya mengaku, ketidaksiapan sumber daya manusia, terutama guru, menjadi tantangan utama.
Cerita serupa datang dari Medan. Lili Sartika, guru SMA Negeri 21 sekaligus Duta Muda Pendidikan Sumatera Utara 2025, merasakan betul peliknya menerapkan Kurikulum Merdeka di ruang kelas.
“Tantangan terbesarnya adalah memfasilitasi minat dan bakat siswa yang sangat beragam. Kami harus bisa mendesain pembelajaran yang fleksibel, tapi tetap adil untuk semua,” kata Lili.
Tak hanya itu, Lili juga menyebut rancangan asesmen – alat ukur capaian belajar siswa – ikut jadi soal pelik. Menurut Lili, perubahan kurikulum memang tak bisa dihindari. Namun, ia mengingatkan, sebaiknya perubahan tak dilakukan terlalu sering.
Fina Rahmiati, Kepala SMAN 1 Banjarbaru, punya pandangan berbeda. Menurutnya, baik Kurikulum Merdeka maupun Kurikulum 2013 sama-sama memuat sistem peminatan, hanya beda cara kemasan.Fina berpendapat, sistem penjurusan justru membantu sekolah dalam menyusun jadwal dan menyesuaikan distribusi guru.
Menurutnya, kebebasan memilih pelajaran dalam Kurikulum Merdeka tak jarang berbenturan dengan realitas di lapangan: jumlah guru yang terbatas.
Meski begitu, Fina menilai sistem penjurusan juga punya sisi positif. Salah satunya, membantu siswa lebih fokus menata langkah sebelum melanjutkan studi ke perguruan tinggi.“Yang penting, pemerintah jangan hanya melempar kebijakan, tapi juga menyiapkan pelatihan dan pendampingan agar guru siap,” katanya.Di bangku kelas, suara dari para siswa pun tak kalah lantang.
Muhammad Arief Putra Kusuma, siswa kelas 11 SMAN 1 Banjarbaru, termasuk yang menyambut wacana ini dengan kepala dingin. Menurutnya, sistem penjurusan akan membantu siswa menentukan arah studi.Arief juga menyinggung hal yang tak kalah penting: kualitas pendidikan tak melulu soal kurikulum.“Kalau sumber daya manusianya belum siap, ganti kurikulum berapa kali pun hasilnya akan sama. Apalagi, masalah stunting juga berpengaruh pada perkembangan intelektual anak,” ujarnya, mengakhiri percakapan.
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menyatakan langkah itu sebagai manuver mundur. “Menghidupkan lagi penjurusan di SMA? Menurut saya ini jelas kemunduran.
Kita malah sibuk ribut soal hal-hal sepele. Bisa-bisa pendidikan kita kembali ke zaman batu,” sindir Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, Minggu, 20 April 2025.
Bagi Ubaid, dunia pendidikan seharusnya tak lagi berkutat pada pembagian jurusan yang kaku. Menurutnya, di tengah derasnya arus disrupsi dan tantangan global yang multidimensi, debat soal penjurusan justru menunjukkan ketidakpahaman atas kebutuhan riil generasi muda.
Ubaid mengutip hasil survei yang mencatat bahwa 80 persen mahasiswa di Indonesia merasa salah pilih jurusan.
Ironisnya, sebagian besar lulusan kampus justru banting setir, bekerja di sektor yang tak sesuai dengan latar belakang akademiknya.7. Hasil kajian studi global OECDInfo grafis kajian PISA (Programme for International Student Assessment) dari OECD tahun 2022 dengan hasil negatif bagi dunia pendidikan di Indonesia. Info grafis IDN TimesOECD sudah mempublikasikan hasil studi global mereka, Programme for International Student Assessment (PISA) 2022.
Sayangnya, kabar baik belum mampir ke dunia pendidikan Indonesia. Seperti deja vu, hasilnya masih suram.PISA, ajang evaluasi rutin sistem pendidikan global ini, menguji tiga kompetensi utama pelajar berusia 15 tahun: literasi membaca, matematika, dan sains.
Hasilnya menjadi semacam cermin, memantulkan kualitas pembelajaran di ruang-ruang kelas negara-negara dunia. Di antara negara-negara Asia Tenggara, Singapura tampil sebagai bintang panggung. Negeri pulau itu menempati posisi puncak, tak hanya di kawasan, tapi juga di tingkat dunia, dengan skor rata-rata nyaris tak terbantahkan: 559,7. Kunci keberhasilannya adalah sistem pendidikan yang tak sekadar mengejar angka, melainkan mendorong pemahaman mendalam dan keterampilan analitis sejak dini.
Vietnam menyusul di belakang, tetap solid di jalur kompetitif dengan skor 467,7 – stabil dan konsisten di bidang matematika dan sains. Brunei mencatat skor 439,0, lebih rendah dari Vietnam, tapi tetap mencatat performa yang cukup baik di kancah regional.Sementara itu, Malaysia harus puas dengan skor 424,7, disusul Thailand di angka 394,0.
Indonesia, sayangnya, belum beranjak dari papan bawah, mencatat skor rata-rata 369,3. Peringkat ini hanya unggul tipis dari Filipina, yang mengisi posisi juru kunci dengan skor 352,7.
Angka-angka ini memperlihatkan jurang lebar dalam kualitas pendidikan di Asia Tenggara.
Singapura melesat jauh di depan, sementara Indonesia dan Filipina masih bergulat di barisan belakang, berjuang ke luar dari ketertinggalan yang kian terasa mencolok.