Rencana Jurusan IPA, IPS dan Bahasa di SMA Kembali, Berujung Akan Dikaji Ulang

0
245

Polemik pengembalian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA membuat Presiden Prabowo Subianto turun tangan.

Prabowo meminta agar penjurusan di SMA kembali dikaji ulang. Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/4/2025).

“DPR menanyakan tentang rencana kami laksanakan penjurusan, tapi kami sampaikan bahwa soal penjurusan ini, kami mendapatkan arahan Bapak Presiden dan Pak Seskab agar dikaji lebih mendalam,” kata Mu’ti. Selain itu, lanjut Mu’ti, terkait penjurusan di SMA Presiden Prabowo juga memintanya untuk berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Pratikno dalam beberapa hari ke depan.

Nantinya hasil koordinasi terkait pengadaan kembali penjurusan di tingkat SMA tersebut akan disampaikan langsung ke Presiden Prabowo Subianto. “InsyaAllah dalam waktu beberapa hari ke depan kita akan bicara dengan Menko PMK dan hasilnya bagaimana, kami sampaikan kepada Pak Presiden,” ujarnya. Sebelumnya, akan mengembalikan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA.

“Jurusan (di SMA) akan kita hidupkan lagi. Jadi nanti akan ada surusan lagi. IPA, IPS, dan Bahasa,” kata Mu’ti. Meski sudah memastikan akan ada penghidupan kembali jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, Mendikdasmen Abdul Mu’ti belum mengungkapkan tanggal pasti kapan pelaksanaan adanya penjurusan di SMA. Mu’ti mengatakan, penjurusan di SMA diadakan untuk menunjang pelaksanaan Tes Kemampuan Akademik (TKA) sebagai pengganti Ujian Nasional (UN).

Sementara TKA pada jenjang SMA akan dilaksanakan mulai November 2025. Sehingga kemungkinan penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa akan ada lagi tahun ini pula. Pada TKA, nantinya yang akan diujikan adalah pelajaran yang biasanya dipelajari siswa. Oleh karena itu diperlukan adanya jurusan IPA, IPS, dan Bahasa lagi, sama seperti beberapa tahun lalu. “Dalam TKA itu nanti mulai itu ada tes yang wajib yaitu Bahasa Indonesia dan Matematika itu wajib Untuk mereka yang ngambil IPA itu nanti dia boleh memilih tambahannya antara Fisika, Kimia atau Biologi,” ujarnya.

Hapuskan Penjurusan di SMA “Untuk yang IPS juga begitu. Dia boleh ada tambahan apakah itu Ekonomi apakah itu Sejarah atau ilmu-ilmu lain yang ada dalam rumpun ilmu-ilmu,” jelas dia. Penjurusan bisa batasi siswa Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengungkapkan, meskipun sistem penjurusan ini dirancang dengan niat baik, ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah stigmatisasi terhadap jurusan IPA yang dianggap lebih unggul dibandingkan jurusan IPS atau Bahasa.

Ada Lagi: Setuju dan Tidak Setuju “Padahal nyatanya kan tidak begitu. Banyak sekali anak-anak yang ambil jurusan IPS, itu jauh lebih berkualitas dibandingkan anak-anak yang jurusan IPA. Ini kan hanya soal pilihan saja, tapi labelitasi dan stigmatisasi di sekolah itu akan seakan-akan memberikan karpet merah terhadap anak-anak yang jurusan IPA,” kata Ubaid kepada Kompas.com, Senin (14/04/25). Selain itu, Ubaid juga menyoroti bahwa pergerakan ilmu pengetahuan saat ini semakin mengarah pada pendekatan multi-disiplin, bukan lagi terfokus pada satu disiplin saja. Menurutnya, di era teknologi, informasi, dan kecerdasan buatan (AI) seperti sekarang, hampir tidak ada bidang ilmu yang tidak saling berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya.

Ada di Jerman Oleh karena itu, pembagian jurusan yang kaku justru akan membatasi kemampuan siswa untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu. Misalnya, siswa dari jurusan IPS perlu memahami bahasa dan ilmu pengetahuan alam (IPA), sementara siswa IPA juga harus memiliki pemahaman yang kuat dalam bidang IPS dan bahasa. “Ketika ada pengkotak-kotakan jurusan, itu pasti akan membatasi anak untuk belajar ilmu yang lain. Saya pikir penjurusan ini akan menghambat anak untuk belajar dan berselancar di dunia ilmu yang multi-disiplin,” lanjutnya.

Ubaid juga menekankan bahwa penjurusan tidak bisa menjadi jaminan kesuksesan bagi siswa di dunia perguruan tinggi. Menurutnya, banyak anak jurusan IPA yang memilih jurusan IPS di perguruan tinggi, begitu pula sebaliknya. Artinya, penjurusan tidak menjamin bahwa anak-anak IPA pasti akan berlanjut ke jurusan IPA di perguruan tinggi, dan anak-anak IPS akan tetap di jalur IPS.

“Penjurusan ini juga tidak menggaransi dan memberikan jaminan bahwa anak IPA pasti lebih baik, nantinya kuliahnya ke jurusan IPA juga, IPS nanti linear ke IPS, kan tidak semacam itu. Berapa persen anak-anak yang jurusan disiplin ilmu tertentu lalu bekerja di disiplin ilmu yang lain, banyak sekali yang tidak lurus, karena sekarang ini era yang multi-disiplin keilmuan,” jelasnya.

Peminatan seharusnya bisa dilakukan di jenjang SMA tanpa harus mengkotak-kotakkan jurusan menjadi IPA, IPS, atau Bahasa. Menurut Ubaid, siswa dengan minat di bidang IPA bisa lebih fokus pada pelajaran yang berkaitan dengan IPA, tetapi tetap tidak membatasi diri untuk mempelajari IPS dan Bahasa. “Tapi kalau sudah dipotong-potongkan, maka yang belajar bahasa tidak bisa belajar IPS dan tidak bisa belajar IPA. Bahasa itu kan tidak hanya menerjemah, tapi harus tahu soal budaya, pengetahuan alam, lapar belakang sosial,” jelasnya.

Berbagai Disiplin Ilmu Respons para guru Selain itu, rencana diterapkan lagi penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA di SMA menimbulkan polemik di masyarakat termasuk para aliansi guru. Perhimpunan Guru dan Pendidikan (P2G) misalnya, mereka menilai penjurusan IPA, IPS, dan Bahasa tidak relevan diadakan jika hanya didasarkan dengan pelaksanaan TKA.

Akhirnya Menurut P2G tanpa penjurusan itu siswa masih tetap bisa ikut TKA meski menggunakan sistem peminatan seperti saat ini. “Kalau sudah ada TKA ya sebenarnya penjurusan udah enggak relevan lagi secara otomatis,” kata Koordinator Nasional (Koornas) P2G Satriwan Salim kepada Kompas.com, Sabtu (12/4/2025). Satriwan menjelaskan, jika siswa ingin ikut TKA, bisa melakukan peminatan pada kelas 11. Lalu, saat ingin ikut TKA tinggal memilih mata pelajaran yang sesuai dengan peminatan di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, Satriwan merasa tidak perlu lagi penjurusan di SMA diadakan. “Anak kelas 9 misal ambil pilihan mapel dengan formula Kurikulum Merdeka hingga saat ini Biologi, Kimia, Bahasa Inggris, Sosiologi. Dia ingin ambil jurusan Kedokteran. Ya pada saat TKA mapel pilihan yang diteskan Biologi dan Kimia, sudah pasti itu,” terang dia. Kendati demikian, jika penjurusan kembali diterapkan Satriwan menilai guru tidak akan kesulitan melakukan implementasinya karena sudah lunya pengalaman penerapan sebelumnya. Namun, Satriwan menyayangkan perubahan kebijakan dari awalnya tidak ada penjurusan lalu kembali diadakan kembali menunjukkan pemerintah tidak konsisten.

Serta memilih mengganti kebijakan dengan kebijakan lain yang memiliki esensi sama. “P2G melihat ini adalah bentuk diskontinuitas dalam implementasi kebijakan pendidikan nasional ya. Jadi memang ada kesannya gitu ya pendidikan kita ini kebijakannya itu, maju mundur, maju mundur persoalannya masih hal yang sama. Padahal secara substansi masih sama gitu kan ya atau ganti program padahal secara esensi juga masih sama dengan yang sebelumnya,” tuturnya. Satriwan menilai, seharusnya pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah harus membuat kebijakan pendidikan sesuai dengan peta jalan pendidikan Indonesia 2025-2045.

kompas.com

Comments are closed.