
Penjurusan IPA, IPS, Bahasa Batasi Kemampuan Siswa Belajar Berbagai Disiplin Ilmu
Sistem penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia telah lama diterapkan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan bidang studi yang mereka pilih. Yaitu IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), dan Bahasa.
Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk mempersiapkan siswa memilih jurusan yang sesuai dengan minat dan bakat mereka di perguruan tinggi. Namun, apakah sistem ini benar-benar memberikan keuntungan bagi siswa, atau justru membatasi mereka dalam mengembangkan pengetahuan lebih luas?
Penjurusan batasi anak di era multi-disiplin Lihat Foto Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengaku pihaknya menerima banyak laporan anak putus sekolah imbas tidak lolos Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dan biaya mahal, Minggu (7/7/2024).
Koordinator Nasional Jaringan Pengamat Pendidikan Indonesia, Ubaid Matraji mengungkapkan meskipun sistem penjurusan ini dirancang dengan niat baik, ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan.
Salah satunya adalah stigmatisasi terhadap jurusan IPA yang dianggap lebih unggul dibandingkan jurusan IPS atau Bahasa. “Padahal nyatanya kan tidak begitu. Banyak sekali anak-anak yang ambil jurusan IPS, itu jauh lebih berkualitas dibandingkan anak-anak yang jurusan IPA.
Ini kan hanya soal pilihan saja, tapi labelitasi dan stigmatisasi di sekolah itu akan seakan-akan memberikan karpet merah terhadap anak-anak yang jurusan IPA,” kata Ubaid kepada Kompas.com, Senin (14/04/25).
Selain itu, Ubaid juga menyoroti bahwa pergerakan ilmu pengetahuan saat ini semakin mengarah pada pendekatan multi-disiplin, bukan lagi terfokus pada satu disiplin saja. Menurutnya, di era teknologi, informasi, dan kecerdasan buatan (AI) seperti sekarang, hampir tidak ada bidang ilmu yang tidak saling berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya.
Oleh karena itu, pembagian jurusan yang kaku justru akan membatasi kemampuan siswa untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu.
Misalnya, siswa dari jurusan IPS perlu memahami bahasa dan ilmu pengetahuan alam (IPA), sementara siswa IPA juga harus memiliki pemahaman yang kuat dalam bidang IPS dan bahasa. “Ketika ada pengkotak-kotakan jurusan, itu pasti akan membatasi anak untuk belajar ilmu yang lain.
Saya pikir penjurusan ini akan menghambat anak untuk belajar dan berselancar di dunia ilmu yang multi-disiplin,” lanjutnya.
Penjurusan tidak jadi jaminan kuliah lancar
Ubaid juga menekankan bahwa penjurusan tidak bisa menjadi jaminan kesuksesan bagi siswa di dunia perguruan tinggi.
Menurutnya, banyak anak jurusan IPA yang memilih jurusan IPS di perguruan tinggi, begitu pula sebaliknya.
Artinya, penjurusan tidak menjamin bahwa anak-anak IPA pasti akan berlanjut ke jurusan IPA di perguruan tinggi, dan anak-anak IPS akan tetap di jalur IPS.
“Penjurusan ini juga tidak menggaransi dan memberikan jaminan bahwa anak IPA pasti lebih baik, nantinya kuliahnya ke jurusan IPA juga, IPS nanti linear ke IPS, kan tidak semacam itu.
Berapa persen anak-anak yang jurusan disiplin ilmu tertentu lalu bekerja di disiplin ilmu yang lain, banyak sekali yang tidak lurus, karena sekarang ini era yang multi-disiplin keilmuan,” jelasnya. Siswa bisa punya minat tanpa harus dikotakkan Peminatan seharusnya bisa dilakukan di jenjang SMA tanpa harus mengkotak-kotakkan jurusan menjadi IPA, IPS, atau Bahasa.
Menurut Ubaid, siswa dengan minat di bidang IPA bisa lebih fokus pada pelajaran yang berkaitan dengan IPA, tetapi tetap tidak membatasi diri untuk mempelajari IPS dan Bahasa. “Tapi kalau sudah dipotong-potongkan, maka yang belajar bahasa tidak bisa belajar IPS dan tidak bisa belajar IPA.
Bahasa itu kan tidak hanya menerjemah, tapi harus tahu soal budaya, pengetahuan alam, lapar belakang sosial,” jelasnya. Baca juga: P2G Sebut Plus Minus Jurusan IPA, IPS, Bahasa di SMA Diadakan Lagi Kompetensi guru harus diperbaiki Menurut Ubaid, faktor utama yang mempengaruhi kualitas pendidikan adalah guru.
Artinya, penjurusan tidak akan berpengaruh banyak. Sebab yang memengaruhi jalannya kegiatan belajar-mengajar adalah guru-gurunya. “Jika guru kita berkualitas, itu akan berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas pendidikan. Saya juga melihat ekosistem di sekolah sebagai faktor kedua yang sangat penting,” ujarnya.
Ekosistem sekolah yang buruk, seperti adanya kekerasan, kurangnya keterlibatan orangtua, rendahnya partisipasi masyarakat, dan praktik manipulasi nilai, jelas akan berdampak buruk pada kualitas pendidikan. “Jika ekosistemnya buruk, maka itu tidak akan berpengaruh positif pada peningkatan kualitas pendidikan.
Ekosistem yang buruk di sekolah, dengan masalah manajemen dan pengelolaan yang buruk, akan membuat kualitas pendidikan tetap memprihatinkan. Maka mau jurusan dihapus, mau tidak ada jurusan tetap saja kualitas pendidikan kita akan ketinggalan,” tambahnya.
Indonesia butuh kejelasan dalam menavigasi pendidikan Lihat Foto Praktisi pendidikan dari Universitas Insan Pembangunan Indonesia Dr. Masduki Asbari mengkritisi rencana kementrian untuk kembali mengaktifkan sistem penjurusan di SMA.
Dilansir dari Antara, Selasa (22/4/2025) praktisi pendidikan dari Universitas Insan Pembangunan Indonesia Dr Masduki Asbari juga mengkritisi rencana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) kembali menerapkan sistem penjurusan IPA, IPS dan Bahasa di jenjang SMA.
“Ini bukan sekadar soal jurusan, tetapi soal arah pendidikan nasional. Kita ini butuh blue print pendidikan yang dijadikan pegangan bersama, bukan setiap menteri datang dengan gagasan barunya sendiri,” kata Masduki yang juga Ketua Yayasan Aya Sophia Indonesia di Tangerang, Selasa (22/4/2025).
Menurutnya, sistem pendidikan Indonesia seharusnya memiliki pedoman jangka panjang. Seperti Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Pendidikan yang mengikat lintas pemerintahan, sehingga tidak terjadi kebingungan dan tumpang tindih kebijakan.
Ia mengingatkan setiap kebijakan pendidikan harus berangkat dari identifikasi masalah yang tepat. “Kalau bicara pendidikan, yang harus jadi pusat perhatian adalah siswa. Jangan sampai kebijakan justru menyasar pada efisiensi sistem, tapi mengorbankan masa depan peserta didik,” kata Masduki.
Ia menuturkan perubahan kebijakan yang terlalu cepat, khususnya setelah satu tahun diterapkannya sistem peminatan sebagai pengganti penjurusan, menandakan dunia pendidikan nasional tidak memiliki arah yang jelas dan berkesinambungan.
“Tantangan masa depan tidak bisa dihadapi dengan sekat-sekat disiplin ilmu yang kaku. Justru kita harus mendorong siswa mengeksplorasi lintas bidang, bukan membatasi mereka sejak SMA,” kata dia.
Jangan korbankan siswa dengan kebijakan yang tidak siap Ia juga menyayangkan alasan yang digunakan Kemendikdasmen, yakni demi kemudahan seleksi masuk perguruan tinggi. Menurutnya, hal itu bukan hanya tidak adil, tapi juga menyalahkan siswa atas masalah yang bersumber dari administrasi pendidikan dan sistem struktural guru yang belum fleksibel.
“Yang perlu kita benahi adalah kesiapan sekolah dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Jangan siswa yang dikorbankan hanya karena kita tidak siap melakukan reformasi yang sesungguhnya,” katanya.
Masduki mengajak para pembuat kebijakan untuk berpikir lebih visioner dan berpihak pada kebutuhan riil peserta didik. “Jangan terus berputar dalam lingkaran perubahan kebijakan yang dangkal. Kita butuh konsistensi, keberanian, dan kepekaan dalam merumuskan masa depan pendidikan bangsa,” pungkasnya.