Siswa Terbaik Tak Berminat Menjadi Guru

0
1139

Selain tidak menjamin secara ekonomi, penghargaan dan kepastian perlindungan hukum terhadap profesi guru juga sangat kurang.

Pendidikan Nasional – Siswa yang Ingin Menjadi Guru Umumnya Nilai UN-nya Rendah

JAKARTA – Siswa berprestasi umumnya tidak tertarik men­jadi guru di Tanah Air. Hal ini wajar, pasalnya profesi guru di Indonesia tidak menjanjikan apa-apa sehingga siswa-siswa terbaik memilih profesi lain yang lebih menjanjikan.

Hal tersebut dikatakan oleh Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indo­nesia (JPPI), Ubaid Matraji, di Jakarta, baru-baru ini.

Dia membandingkan pro­fesi guru di Finlandia. Di nega­ra yang disebut-sebut memiliki sistem pendidikan terbaik ini, guru adalah profesi yang men­janjikan sehingga banyak dimi­nati oleh para siswa terbaiknya di sana.

Ubaid menambahkan, se­lain tidak menjamin secara ekonomi, ada beberapa hal lagi yang membuat profesi guru di Indonesia tidak diminati. Hal-hal tersebut di antaranya beban akademik yang harus ditem­puh begitu berat, penghargaan terhadap profesi guru sangat kurang, dan tidak ada kepas­tian perlindungan hukum.

Karena itu, Ubaid berharap, ke depannya sistem atau tata kelola terkait guru harus diper­baiki. Selain secara kesejah­teraan diperhatikan, lanjutnya, kualitas guru juga mesti diting­katkan untuk menarik minat para siswa terbaik.

“Saat ini, peran guru hanya sebatas menyampaikan materi pelajaran, belum sampai pada proses mendidik yang tidak hanya mengutamakan penge­tahuan, tapi juga menumbuh­kan nalar kritis dan karakter yang kuat,” jelasnya.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemen­terian Pendidikan dan Kebu­dayaan (Kemendikbud), Toto Suprayitno, mengakui bahwa siswa-siswa terbaik masih eng­gan memilih profesi guru.

Umumnya, siswa yang ingin menjadi guru memiliki capaian hasil Ujian Nasional (UN) lebih rendah dari siswa lain. “Siswa yang memiliki nilai UN tinggi, rata-rata ingin menjadi peng­usaha,” ujarnya.

Hal tersebut berdasarkan hasil angket yang diberikan Ke­mendikbud usai pelaksanaan UN SMA sederajat. Dari hasil angket tersebut, sebanyak 11 persen siswa bercita-cita men­jadi guru. Dari angka 11 persen itu, sebanyak 80 persennya me­rupakan siswa perempuan.

Totok menambahkan secara umum, capaian UN siswa yang ingin menjadi guru lebih ren­dah dibandingkan siswa yang memilih profesi lainnya sebagai cita-cita dan peminat profesi guru perempuan nilai UN-nya lebih tinggi dari siswa laki-laki. “Ini menjadi pekerjaan rumah kita semua, mengapa siswa terbaik tidak tertarik menjadi guru,” ujar dia.

Padahal dengan banyaknya siswa yang terbaik yang men­jadi guru, diharapkan kualitas pendidikan di Tanah Air sema­kin meningkat. Untuk itu, perlu upaya stimulus agar siswa yang memilikki nilai tinggi mau menjadi guru.

Hasil angket UN 2019 juga menyebutkan sebanyak 19 persen responden angket yang memiliki capaian UN tinggi merupakan siswa yang ber­asal dari latar belakang ke­luarga dengan ekonomi kurang menguntungkan atau ekonomi lemah.

“Anak-anak yang dalam kehidupan sehari-hari serba kekurangan, setelah kita cek, ternyata nilai mereka tinggi. Belajar dalam kondisi keku­rangan ternyata bisa berpresta­si baik. Ini luar biasa. Anak dengan resilience atau ketah­anmalangan,” ujar Totok.

Kondisi Ekonomi

Totok mengatakan kondisi ekonomi keluarga dari seorang siswa mempengaruhi hasil UN yang diraihnya. “Secara umum, terdapat hubungan yang kuat antara kondisi sosial ekonomi dengan capaian hasil UN-nya. Kondisi sosial ekonomi yang baik cenderung memi­liki capaian UN yang tinggi,” ujarnya.

Kendati demikian, ada se­bagian kelompok siswa dari ke­luarga kurang mampu namun memiliki capaian hasil UN yang bagus. “Terdapat 19 per­sen dari total responden angket UN yang berasal dari keluarga kurang mampu namun memi­liki prestasi yang baik atau daya juang tinggi,” tambah dia.

Leave a reply