Peneliti soal Literasi Indonesia Buruk: Perpustakaan Banyak yang Buluk
Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dilakukan OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) menunjukkan kemampuan pelajar Indonesia dalam hal membaca, matematika, dan sains masih tergolong buruk.
Indonesia masuk posisi 10 besar terbawah dari 79 negara yang berpartisipasi dalam survei PISA, dengan raihan skor membaca 371, matematika 379, dan sains 396. Angka itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai rata-rata OECD yang ada di atas 487.
Ironisnya, skor membaca pelajar Indonesia menjadi yang terkecil ketimbang kategori lainnya, dan bahkan mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Ini artinya, literasi pelajar Indonesia memburuk.
Berdasarkan hasil tes PISA yang diberikan kepada 12.098 peserta didik yang tersebar di 399 sekolah di Indonesia, hanya 30 persen siswa yang memenuhi kompetensi membaca minimal. Adapun tes membaca meliputi rangkaian uji kompetensi mulai dari memahami teks, mengidentifikasi, mengembangkan, hingga mengimplementasikannya.
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, untuk meningkatkan minat baca dibutuhkan peran dari banyak pihak, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, hingga masyarakat.
Kendati begitu, ia berpendapat rendahnya literasi pelajar Indonesia sebagian besar berawal karena ketidakseriusan pemerintah dan lembaga pendidikan dalam menanggapi masalah ini.
“Bisa dipastikan semua perpustakaan di sekolah-sekolah mayoritas pasti buluk, bukunya jelek-jelek, tidak ada yang jaga, ditempatkan di pojok dan tidak menarik, sehingga anak-anak tidak tertarik menggunakan perpustakaan. Bahkan ada juga sekolah-sekolah yang tidak punya perpustakaan,” ujar Ubaid, saat dihubungi kumparanSAINS, Kamis (5/12).
Oleh sebab itu, negara mesti hadir dan tidak lagi menganggap persoalan literasi di Indonesia hanya asumsi belaka. Menurut Ubaid, pemerintah harus mulai menggerakkan dan membuat kebijakan atau program untuk meningkatkan literasi, baik di tingkat provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa, maupun lingkup terkecil seperti sekolah.
Lebih dari itu, intervensi kebijakan saja tidak cukup karena harus ada komitmen alokasi anggaran khusus untuk meningkatkan minat baca di kalangan pelajar. Saat ini, menurutnya APBD banyak difokuskan pada hal-hal yang tidak berpihak pada peningkatan kualitas pendidikan di sekolah.
“Masih banyak terserap untuk belanja pegawai, gaji guru, dan segala macam. Lalu, mana ada keberpihakan pemerintah terhadap kebijakan literasi. Kalau misalnya udah ada kebijakan literasi, mana keberpihakannya. Mana alokasi anggaran untuk support pada literasi?,” ujar Ubaid.
Ketika negara sudah ikut andil dan benar-benar menjalankan perannya, dibutuhkan kerja sama dari seluruh stakeholders untuk benar-benar meningkatkan minat baca tersebut. Ini bisa dilakukan dengan cara merubah kebiasaan atau budaya membaca di masyarakat, salah satunya mulai membuka ruang-ruang baca publik.
Selain itu, Ubaid juga mengatakan tradisi nalar kritis orang-orang harus mulai ditingkatkan. Ini bisa dilakukan dengan cara melakukan debat publik baik itu dalam isu sosial, ekonomi, dan politik.
“Tapi dengan satu syarat, bukan pada fanatisme yang memupuk pada egosentris, yang memunculkan kemarahan. Tetapi wacana-wacana di publik adalah wacana dialogis yang kritis dan konstruktif, bukan pada kemarahan dan aksi kekerasan,” kata Ubaid.
Menurut Ubaid, masyarakat harus mulai belajar memahami teks dengan konteks. Sebab, ia menilai selama ini banyak orang hanya membaca teks tanpa memahami isi konteks tulisan yang dibacanya.
“Bagaimana masyarakat bisa memahami antara teks dengan konteks, lalu di situlah masyarakat bisa memilih mana yang baik dan mana yang benar,” ucapnya.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.