Menyoal Upaya Pencegahan Bunuh Diri di Sekolah

0
1334

“Minimal kalau kita wali kelas, kalau SMP punya 32 murid di kelas, kita harusnya berteman dengan media sosial ke-32 anak ini,” kata Komisioner KPAI.

KBR, Jakarta – Seorang siswi SMP berusia 14 tahun bunuh diri di sebuah sekolah negeri di Jakarta pada Selasa,14 Januari 2020 lalu.

Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), ini adalah kasus bunuh diri pelajar pertama yang terjadi di lingkungan sekolah.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengaku sudah mengawal kasus ini dan mengawasi sekolah terkait.

“Jadi itu prosesnya cukup panjang, sejak ananda (korban) misalnya ditimpa musibah sangat berat yaitu kehilangan ibu. Ayah dan ibunya bercerai saja itu sudah pukulan bagi dia. Belum pulih kondisi psikologisnya, ibunya meninggal. Jadi belum pulih dari perceraian, ibunya meninggal. Nah, ketika ibunya meninggal ia kehilangan segalanya karena dia sangat dekat dengan ibunya,” ungkap Retno kepada KBR, Senin (21/1/2020).

Retno menegaskan pelajar yang berduka seperti itu sesungguhnya perlu mendapat pertolongan dari teman dan guru.

“Harusnya memang anak itu juga harus dididik, bahwa kalau ada temanmu memiliki segudang masalah dan dia merasa tidak bisa mengatasinya, kalau dia tidak mau atau tidak tahu bagaimana cari bantuan, kamu coba membantu, misalnya dengan mengatakan kepada orang dewasa lain di sekolah yang bisa dipercaya, misalnya,” ujar Retno.

Retno juga menyayangkan, orang dewasa di lingkungan sekolah umumnya tidak mengikuti cara-cara komunikasi yang biasa digunakan pelajar untuk mencurahkan masalahnya, yakni lewat media sosial. Akibatnya, ada jarak yang membuat masalah para pelajar tak terpantau.

“Kalau membaca media-media sosialnya (korban) ya, itu menunjukkan dia begitu rindu pada ibunya. Saya juga bertanya apakah sekolah mengetahui media sosial nggak? Karena guru rata-rata itu mainnya di Facebook dan anak-anak di Instagram. Jadi tidak nyambung gitu ya. Akhirnya guru juga nggak tahu percakapan murid-muridnya seperti apa. Minimal kalau kita wali kelas, kalau SMP punya 32 murid di kelas, kita harusnya berteman dengan media sosial ke-32 anak ini,” kata Retno.

“Dan karena eranya digital, dan anak-anak pendekatannya memang sudah menggunakan aplikasi yang berbeda ya, sebenarnya guru harusnya juga meng-update diri, sehingga dia bisa tahu, memantau melalui media sosial. Sekarang begitu mudah, lewat jejak digital sebenarnya kita bisa mengetahui anak punya problem atau tidak,” tambahnya.

Into The Light: Pencegahan Bunuh Diri Harus Dibicarakan di Sekolah

Benny Prawira Siauw, pegiat komunitas pencegahan bunuh diri Into The Light, menilai perihal pencegahan bunuh diri memang penting dibahas di lingkungan sekolah.

”Kita juga harus mulai belajar menerima bahwa bunuh diri itu sesuatu yang perlu dibicarakan, meskipun bukan topik yang nyaman untuk dibicarakan. Karena kalau kita tidak membicarakan ini, kita akan takut tuh, bikin program aja juga kita mikir-mikir ulang,” kata Benny kepada KBR, Senin (21/1/2020).

Benny pun mengusulkan beberapa pendekatan yang bisa ditempuh sekolah sebagai upaya pencegahan bunuh diri pelajar.

“Di dalam sistem sekolah sendiri tentu ada baiknya untuk mulai menciptakan kebijakan-kebijakan sekolah, bagaimana misalnya kalau siswa itu di-screening. Ada upaya-upaya screening masalah kesehatan jiwa dan pemikiran-pemikiran bunuh diri, yang itu dilakukan secara berkala, misalnya,” usul Benny.

Menurut Benny, di lingkungan sekolah juga perlu dibangun program bersama layanan kesehatan mental. Ia mengingatkan UU Kesehatan Jiwa sudah memungkinkan adanya promosi kesehatan jiwa di sekolah, namun masih jarang diimplementasikan.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menyebut pentingnya peran guru Bimbingan Penyuluhan (BP) untuk menangani masalah psikis pelajar.

“Di sinilah letak peran guru BP itu penting, tetapi selama ini menurut pantauan kami ada banyak sekolah itu yang nggak ada guru BP-nya. Itu yang pertama,” kata Ubaid kepada KBR, Senin (21/1/2020).

“Yang kedua, banyak guru BP itu ditempatkan secara darurat, maksudnya dia tidak punya latar belakang keahlian psikologi, tapi misalnya guru matematika merangkap guru BP, atau guru bahasa Inggris merangkap guru BP. Jadi tidak ada kompetensi guru BP yang sesuai dengan bidang yang harus dia lakukan. Karena itu, pendekatan yang dilakukan guru BP terhadap siswa itu bukan pendekatan yang bernuansa psikologis, tapi lebih pada judgement,” lanjutnya.

Menurut Ubaid, banyak juga siswa yang belum paham bahwa mereka dapat memanfaatkan fasilitas penyuluhan yang disediakan sekolah. Ia menekankan perlu ada sistem pengawasan khusus untuk sekolah terkait masalah ini.

“Pengawasan sekolah selama ini lepas kontrol, jadi tidak ada satu institusi pun di sekolah yang kuat dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan sekolah, dan juga kontrol terhadap perilaku semua pihak yang ada di sekolah itu. Harusnya di era teknologi informasi semacam ini sangat mudah, bagaimana sekolah menciptakan sebuah sistem yang di-create se-smart mungkin supaya semua orang atau semua pihak di sekolah itu terlibat dalam pengawasan di sekolah,” ujarnya.

“Misalnya, dengan menggunakan tool yang ada di media sosial, segala macam itu, sangat mudah. Bagaimana komunikasi antara guru tenaga kependidikan, kemudian orang tua, komite sekolah, itu bisa di-create dengan sangat mudah, tetapi ini tidak pernah ada di sekolah,” kata Ubaid.

Kemendikbud: Interaksi di Sekolah Harus Terbuka

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat (BKLM) Kemendikbud Ade Erlangga ikut menanggapi kasus bunuh diri di sekolah tersebut.

“Kami prihatin atas kejadian tersebut, karena masih ada kasus-kasus bullying di sekolah. Seharusnya sekolah dapat melakukan pencegahan untuk tidak terjadinya kejadian tersebut. Caranya adalah dengan ‘kemerdekaan belajar’, yakni interaksi antara guru murid yang harmonis, interaktif, bisa saling membangun apresiasi, terbuka, dan berkarakter positif,” tulis Ade dalam pesan singkatnya kepada KBR, Selasa (22/1/2020).

Ade menyebut bahwa guru harusnya bisa mendeteksi kemungkinan adanya perundungan atau kekerasan yang dialami murid lewat komunikasi.

“Kejadian kekerasan atau dampaknya akan terasa ketika sudah terjadi. Seharusnya dapat di deteksi secara dini, jika model pembelajaran atau interaksi di dalam sekolah bersifat terbuka,” pungkasnya.

Leave a reply