Lewat Global Action Week, YDAI Gaungkan Pendidikan Inklusif
CIBINONG — Lewat acara ‘Global Action Week’, Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI) gaungkan pendidikan inklusif dan berkualitas kepada masyarakat luas.
Acara yang diselenggarakan di sekitaran Stadion Pakansari itu puluhan anak penyandang difabel maupun non difabel turut hadir.
Beberapa rangkaian acara seperti senam inklusif hingga gerak jalan seraya mensosialisasikan tentang pendidikan inklusif diiikuti puluhan peserta.
Ketua Yayasan Difabel Action Indonesia, Teguh mengatakan bahwa pada intinya tujuan diadakannya kegiatan tersebut adalah memang untuk mengenalkan pendidikan inklusif kepada masyarakat.
“Iya jadi para penyandang difabel berbair dengan non difabel, misal tadi dilaksanakan senam, kemudiam gerak jalan,” ujarnya kepada TribunnewsBogor.com, Minggu (22/4/2018).
Selain itu, kata dia, melalui kegiatan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan toleransi yang tinggi terhadap para penyandang difabel.
“Karena mereka di sini melakukan aktivutas dalam satu wadah, tanpanada gangguan, tanpa ada gesekan, tapi saling bertoleransi,” terangnya.
Dia pun berharap ke depannya pendidik inklusif di Indonesia terutama di Kabupaten Bogor bisa terus berkembang dan melahirkan bibit yang berprestasi.
“Ya sejauh ini peran pemerintah pun membantu kami, kemudian ke depannya akan dilakukan kegiatan serupa dengan konsep yang berbeda agar pendidikan inklusif ini bisa lebih berkembang dan berkualitas,” pungkasnya.
Apresiasi Pendidikan Inklusi
Ratusan kaum difable berkumpul dalam kegiatan Global Action Week di lingkar luar GOR Pakansari, Cibinong, Kabupaten Bogor, Minggu (22/4/2018).
Kegiatan ini seperti dikutip laman terkemuka pojokbogor diselenggarakan Yayasan Diffable Action Indonesia (YDAI), bersama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dengan tema “Masyarakat Bergerak untuk Pendidikan yang Inklusif dan Berkualitas”.
Kaum difable mengikuti senam inklusi, jalan sehat inklusi dan perform difable. Sebanyak 300 peserta terdiri dari kaum difable dan warga umum meramaikan kegiatan tersebut.
Kepala Dinsos Kabupaten Bogor Roy W. Khaerudyn memberikan apresiasi terhadapat kegiatan dengan melibatkan kaum difable. Kaum difable juga merupakan warga Kabupaten Bogor berhak mendapatkan kehidupan yang layak seperti warga lainnya.
“Kegiatan yang di lakukan oleh Yayasan Difable Action bersama Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) untuk meningkatkan kemandirian anak-anak yang punya berkebutuhan khusus di bidang pendidikan, termasuk olahraga,” ungkapnya disela-sela kegiatan.
Roy menambahkan pemerintah Kabupaten Bogor telah menganggarkan APBD untuk membantu kaum difable. Anggaran ini dialokasikam melalui Dinas Pendidikan.
“Kalau Dinas Sosial hanya membantu pelaksanaan rekomendasi,” tambahnya.
Masalah Pendidikan
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat tujuh masalah pendidikan yang harus segera diselesaikan pemerintah untuk mewujudkan Nawacita bidang pendidikan.
“Masih ada celah yang harus terus diperbaiki, terutama dalam meningkatkan mutu pendidikan sebagaimana yang dicita-citakan,” kata Koordinator Nasional JPPI, A. Ubaid Matraji kepada Republika.co.id, baru-baru ini.
Pertama, nasib program wajib belajar (wajar) 12 tahun ini masih di persimpangan jalan. Alasannya, program itu belum memiliki payung hukum. Perbincangan soal realisasi wajar 12 tahun ini mengemuka sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga 2015.
Namun, sepanjang 2016-2017, tidak ada lagi perbincangan dan langkah untuk mewujudkan hal itu. Menurutnya, mandegnya wajar 12 tahun akibat tidak adanya payung hukum yang dapat mendorong untuk mewujudkannya.
Ubaid beranggapan, seharusnya, UU Sisdiknas harus diamandemen khususnya pasal terkait wajar sembilan tahun diubah menjadi 12 tahun. Atau, bisa juga didorong melalui Instruksi Presiden dan Peraturan Daerah tentang pelaksanaan wajar 12 tahun di provinsi.
Kedua, angka putus sekolah dari SMP ke jenjang SMA mengalami kenaikan. Hal ini dipicu maraknya pungutan liar di jenjang MA/SMK/SMA. Banyak kabupaten/kota yang dulu sudah menggratiskan SMA/SMK, tapi kini mereka resah karena banyak provinsi yang membolehkan sekolah untuk menarik iuran dan SPP untuk menutupi kekurangan anggaran untuk pendidikan.
Menurutnya, alih wewenang pengelolaan jenjang sekolah menengah ini tidak menjawab kebutuhan wajar 12 tahun. Namun, hanya peralihan wewenang yang justru menimbulkan masalah baru.
Ketiga, pendidikan agama di sekolah mendesak untuk dievaluasi dan dibenahi, baik metode pembelajarannya maupun gurunya. Berdasarkan penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Jakarta (Desember 2016), terdapat 78 perden guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di sekolah, setuju jika pemerintah berdasyarkan syariat Islam dan 77 persen guru PAI mendukung organisasi-organisasi yang memperjuangkan syariat Islam.
Ubaid menilai hal itu merupakan cara pandang yang berbahaya bagi keutuhan NKRI. Jika dibiarkan, benih-benih intoleran dan sikap keagamaan yang radikal akan tumbuh subur di sekolah.
Keempat, masih lemahnya pengakuan negara atas pendidikan pesantren dan madrasah (diniyah). Model pendidikan ini berperan sejak dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Namun, kini perannya termarginalkan karena tidak sejalan dengan kurikulum nasional. Maka, tidak heran, jika belakangan ini kekerasan atas nama agama, SARA, dan benih-benih radikalisme tumbuh subur. Sebab, pendidikan agama di sekolah tidaklah cukup memadahi.
Pendidikan agama tidak bisa dilakukan secara instan di sekolah. Jadi, sekolah perlu bersinergi dengan lembaga pesantren dan madrasah diniyah untuk memberikan pemahaman agama yang komprehensif (tafaqquh fiddin), yang bervisi rahmatan lil alamin. Untuk itu, RUU madrasah dan pesantren harus masuk Prolegnas 2017.
Kelima, pendistribusian Kartu Indonesia Pintar (KIP) harus tepat sasaran dan tepat waktu. Bersekolah bagi kaum marginal masih jadi impian. Marginal di sini terutama dialami oleh warga miskin dan anak-anak yang berkebutuhan khusus.
Angka putus sekolah didominasi oleh kedua kelompok tersebut. Program BOS, BSM, dan KIP perlu dievaluasi karena nyatanya masih banyak anak miskin yang susah masuk sekolah. Pendistribusian yang lambat, alokasi yang tidak akurat, dan juga penyelewengan dana turut menyelimuti implementasi program tersebut.
Khusus untuk kelompok difabel, mereka terkendala susahnya menemukan sekolah inklusi. Akhirnya, mereka harus bersekolah dengan teman yang senasib, dan semakin menjadikannya tereksklusi dari realitas sosial.
Keenam, kekerasan dan pungutan liar di sekolah masih merajalela. Potret buram pendidikan di Indonesia masih diwarnai oleh kasus kekerasan di sekolah dan pengaduan pungli. Modus kekerasan ini sudah sangat rumit untuk diurai, karena para pelakunya dari berbagai arah.
Komponen utama sekolah, yakni, wali murid, guru, dan siswa, satu sama lain berperan ganda. Artinya, masing-masing dapat berperan sebagai pelaku, dapat pula jadi korban. Penerapan sekolah ramah anak menjadi penting untuk direvitalisasi. Di sisi lain, fakta pungutan liar di seakan tidak dapat dikendalikan, terutama terjadi di sekolah negeri yang harusnya bebas pungutan dan juga terjadi di jenjang sekolah menengah.
Ketujuh, ketidak-sesuaian antara dunia pendidikan dengan dunia kerja. Saat ini ada lebih dari tujuh juta angkatan kerja yang belum mempunyai pekerjaan. Sementara di saat yang sama, dunia usaha mengalami kesulitan untuk merekrut tenaga kerja terampil yang sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan dan siap pakai.
Ini menunjukkan bahwa ada gap antara dunia industri dengan ketersedian tenaga terampil di Indonesia. Ini penting, sebab di era MEA, serbuan tenaga kerja asing akan meminggirkan dan mempensiundinikan tenaga kerja Indonesia. Untuk itu, perbaikan dan penyempurnaan kurikulum di sekolah juga harus mampu menjawab masalah ini. (Berbagai Sumber/Tim)
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.