RI Susun Kurikulum Moderasi Beragama, Apa Itu?
Sasarannya adalah para tenaga pendidik dan peserta didik.
KBR, Jakarta– Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang menyusun kurikulum moderasi beragama untuk dunia pendidikan.
Mendikbud Nadiem Makarim menjelaskan, kurikulum itu disusun bersama Kementerian Agama. Sasarannya adalah para tenaga pendidik dan peserta didik.
Tujuannya untuk mencegah atau mengurangi tiga dosa di dunia pendidikan. Salah satunya intoleransi. Dua lainnya, perundungan dan kekerasan seksual.
“Kami sedang merancang materi terkait moderasi beragama beserta Kemenag untuk disertakan di dalam kurikulum Sekolah Penggerak. Itu adalah kurikulum prototipe yang sedang kita tes di dalam sekolah-sekolah penggerak dan di situ lah konten-konten moderasi beragama kita akan juga melakukan risetnya dan mengimplementasi di 2500 sekolah penggerak yang terus akan berkembang setiap tahunnya,” kata Nadiem dalam acara Peluncuran Aksi Moderasi Beragama, secara daring dan luring, Rabu, (22/9/21).
Mendikbud-Ristek Nadiem Makarim menambahkan, dibutuhkan peran guru sebagai pembimbing pembelajaran, guna membentuk karakter berkualitas dan sekolah yang toleran.
Untuk itu, Nadiem mendukung modul-modul pembelajaran guru terkait kurikulum moderasi beragama. Ia berharap, generasi muda makin toleran, dan juga menyadari, bahwa keberagaman merupakan sumber kekuatan bangsa.
Dukungan Kemenag
Di kesempatan yang sama, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menyatakan dukungannya, terhadap moderasi beragama. Menurutnya, hal itu penting untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah penggerak di semua jenjang pendidikan. Yaqut mengingatkan, perbedaan terkadang berpotensi memicu pengucilan.
Tapi, perbedaan juga berpotensi memperkuat persatuan. Masalahnya, kata dia, kadang ada kepentingan sekelompok orang yang menyeret isu agama, lalu bersikap intoleran dan memancing perpecahan bangsa.
“Moderasi beragama menjadikan putra-putri bangsa memiliki daya tahan, menyuburkan komitmen kebangsaan dan berbasiskan pemahaman agama dan menggersangkan potensi-potensi segregasi yang memanfaatkan kesalahpahaman dari ajaran yang suci,” kata Menteri Yaqut saat peluncuran Aksi Moderasi Beragama, Rabu, (22/9/21).
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menambahkan, institusi pendidikan menjadi ruang strategis dalam menyemai penguatan moderasi beragama. Apalagi jumlah pendidik dan peserta didik pada semua jenjang mencapai lebih dari 61 juta orang.
Empat Modul Moderasi Beragama
Sekretaris Ditjen Pendidikan Islam Rohmat Mulyana mengatakan untuk tahap awal, implementasi penguatan moderasi beragama akan dilakukan dengan menunjuk sekolah atau madrasah sebagai laboratorium moderasi beragama.
Ada sejumlah madrasah dan sekolah di Provinsi NTT, NTB, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Jawa Barat, dan Banten yang akan ditetapkan sebagai proyek percontohan.
Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, ialah salah satu tim perumus pedoman penguatan moderasi beragama untuk sekolah penggerak. Rumusan itu kemudian diterbitkan dalam bentuk modul atau buku pedoman.
Dirjen Pendidikan Islam Ali Ramdhani mengungkapkan, kurikulum moderasi beragama sudah dipersiapkan sejak Februari lalu.
“Pedoman teknis implementasi moderasi yang dilakukan sejak februari sampai agustus 2021 kemarin, yang telah menerbitkan 4 modul yang hari ini di launching, yang pertama adalah modul pendidikan karakter melalui moderasi beragama, kemudian modul penguatan wawasan moderasi beragama, selanjutnya modul integrasi moderasi beragama pada pendidikan agama islam, dan terakhir modul pengembangan dan pengelolaan moderasi beragama bagi siswa,” ucap Ali dalam Acara Malam Peluncuran Aksi Moderasi Beragama di kanal Youtube Pendis Channel, Rabu malam (23/9/2021).
Dirjen Pendidikan Islam Ali Ramdhani menambahkan, modul atau buku pedoman itu disajikan dalam bentuk yang mudah dicerna dan menyenangkan untuk semua jenjang pendidikan.
Empat pedoman yang sudah dirilis yaitu, buku saku moderasi beragama bagi guru; modul pelatihan penguatan wawasan moderasi bagi guru; pedoman mengintegrasikan moderasi pada mata pelajaran agama; dan buku pegangan siswa.
Pelatihan untuk Tenaga Pendidik
Sementara itu, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengusulkan adanya pelatihan untuk tenaga pendidik yang akan menerapkan kurikulum moderasi beragama.
Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji beralasan hal itu perlu dilakukan agar tidak menimbulkan masalah baru. Selain itu, kata dia, diperlukan pelibatan tokoh-tokoh agama dan ormas-ormas keagamaan dalam praktiknya.
JPPI mengaku sepakat jika moderasi beragama perlu dimasukkan ke kurikulum semua jenjang pendidikan. Menurutnya, moderasi beragama merupakan jalan tengah, agar tidak terlalu fanatik atau terlalu bebas.
“Jadi jangan sampai ada moderasi beragama tafsir negara, nanti ada tafsir ormas Islam, nanti ada tafsir tokoh agama, kan nanti menjadi ruwet. Karena itu sejak awal bagaimana konsepnya, bagaimana kurikulum diciptakan, bagaimana ini diinternalisasikan kepada guru-guru, libatkan tokoh agama, libatkan ormas keagamaan, karena mereka yang hari ini punya otoritas untuk membicarakan itu,” kata dia.
Catatan Intoleransi
Sebelumnya, lembaga riset Setara Intitute mencatat, sejak 2012 hingga 2019, terjadi 41 tindakan intoleran terhadap pelajar.
Di antaranya pada 2017, ada siswi nonmuslim berinisial NWA yang diharuskan memakai jilbab dan mengikuti kegiatan keagamaan di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi, Jawa Timur.
Lalu pada 2019, ada sejumlah orang tua murid yang memprotes SD Inpres 22 Manokwari, karena menerapkan aturan larangan siswi muslim memakai jilbab, saat belajar di kelas. Hingga tahun ini, kasus-kasus intoleran masih kerap terjadi di sekolah.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.