Memikirkan Sekolah sebagai Cultural Institutions

0
761

Oleh : Everd Scor Rider Daniel

Pendidikan adalah kebutuhan dasar manusia, without education life is nothing. Pendidikan melibatkan proses-proses pembuktian, pencarian, eksperimentasi, observasi menuju aktualisasi diri. Pendidikan terjadi dalam ruang-ruang akademik (sekolah, kampus). Melekat persepsi bahwa sekolah adalah tempat pencarian kebenaran yang rasional. Melalui pendidikan, terjadi proses pembentukan kemampuan kognitif (kecerdasan) dan karakter (psikologis).

Pendidikan adalah institusi formal, memiliki otoritas dalam mendukung kegiatan sains/pengetahuan (transfer of knowledge). Penting untuk dipikirkan bahwa pendidikan tidak selamanya berada dalam ruang-ruang konvensional namun terlibat dalam perubahan. Hal ini menuntut paradigma pembelajaran bahwa selain sebagai science institutions, peran lain yang juga penting adalah menjadikan pendidikan sebagai cultural institutions. Tidak hanya pengetahuan murni  yang dimapankan tapi melibatkan nilai-nilai sosial di masyarakat (budaya). Sekolah sebagai institusi yang diharapkan mampu mensosialisasikan perspektif budaya, menjadi tempat “intim” dalam membangkitkan kesadaran kultural, dari mana manusia berasal. Tanpa budaya, sekolah hanya sebatas memproduksi manusia-manusia gagal.

Pendidikan berbasis Budaya, Budaya berbasis Pendidikan

Pendidikan adalah panggung pencarian, seseorang diperkenalkan dengan framming pencarian identitas terhadap makna self (kedirian). Eksistensi pendidikan adalah mengkonstruksi pemahaman manusia. Pendidikan juga harus menjadi lembaga yang berperan penting dalam membahasakan kultur secara formal dan luas ke masyarakat. Budaya sangat berarti dalam pendidikan karena pendidikan menciptakan generasi-generasi masa depan. Untuk itu, pendidikan harus memberi sugesti bahwa budaya adalah sesuatu yang penting dan wajib diketahui. Hal yang dikhawatirkan (seperti dewasa ini) adalah pendidikan belum secara total meningkatkan kualitas peran dan fungsinya, sehingga kegelisahan yang muncul adalah sekolah sebagai tempat perjumpaan tanpa nilai.

Konsep pendidikan berbasis budaya, dan budaya berbasis pendidikan adalah bagian dari model pencerahan, upaya membangkitkan kesadaran (consciousness raising) akan identitas dan kedirian (self) peserta didik. Pendidikan berbasis budaya artinya memproduksi agen-agen perubahan dengan karakter yang kuat sehingga kaitan budaya demikian penting karena dari budaya kita belajar memahami moral.

ika sekolah gagal mengambil peran sebagai institusi dalam mengkampanyekan spirit kebudayaan, maka jejak-jejak ingatan hanya jadi moralitas yang sunyi, esensi person (kemanusiaan) berada di persimpangan. Orisinalitas diri tidak lagi ada. Kemudian kita perlu berpikir kritis dan kembali pada peran pendidikan sebagai jalan merawat rasionalitas budaya.

Sartre dan eksistensialisme: eksistensi lebih dulu ada sebelum esensi (L’existence precede l’essence) sebagai gagasan bahwa manusia absolut berasal dari eksistensi (yang dibawa) sebelum menemukan esensi di lingkungan Ia berada. Eksistensi ini dianalogikan sebagai budaya, sumber yang memberikan makna dan nilai terhadap kedirian manusia.

Pendidikan seyogianya memfasilitasi perjumpaan kultural melalui transfer pengetahuan. Sebagai sebuah institusi, konstruksi pendidikan harus diperkuat oleh pengetahuan budaya. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu meletakan pemahaman secara tepat melalui pembentukan jati diri yang rasional, manusia dapat menemukan dirinya dan menjadi lebih sadar akan nilai-nilai eksistensi sosial.

Pendidikan dan kebudayaan mesti dikolaborasikan sebagai satu keutuhan yang saling melengkapi (complementary) agar generasi penerus dapat memahami esensi soal bagaimana cara merealisasikan diri. Faktor ini penting untuk diakomodasi sejak dini oleh lembaga pendidikan. Mengapa budaya perlu dipikirkan dalam edukasi? karena budaya sebagai sumber aktualisasi nilai. Manusia akan sulit eksis tanpa budaya (knowledge is power but knowledge is nothing without values). Budaya mendeskripsikan identitas dan jati diri, dengan demikian, penting untuk diintegrasikan dengan pengetahuan agar kita dapat menjadi manusia utuh.

Bagaimana Pendidikan Beradaptasi dalam Perubahan?

Tidak ada yang pasti, namun yang pasti adalah perubahan. Sama halnya dengan orientasi pendidikan yang terus mengikuti perkembangan. Namun, yang menjadi kritik saat ini, pendidikan pelan-pelan bergeser, tidak lagi konsisten merawat nilai-nilai kebangsaan. Pendidikan terkadang hilang esensi ketika berupaya menyesuaikan diri dengan perubahan.

Disepakati bersama bahwa budaya adalah keyakinan, norma (aturan), kekayaan yang luhur. Kembali pada pertanyaan, mengapa perlu peran institusi pendidikan menjaga budaya? Pertama, paling penting adalah agar norma dan keyakinan di masyarakat tetap eksis dan terpelihara. Kedua, budaya adalah aspek paling rentan terhadap perubahan. Menjawab tantangan itu, konten atau substansi pembelajaran pada jenjang SD,SMP,SMA sejatinya harus diintensifkan, contoh pada sensitivitas kultural (seperti, budaya sapa, kerjasama, tenggang rasa, gotong royong dsb). Pelajaran-pelajaran moral itu adalah hasil dari manifestasi budaya yang penting bagi masa depan Indonesia.

Pada kenyataan hari ini, di tengah perubahan yang hilang kendali, budaya tidak lagi sakral, semakin sulit dicari, atau sebagian orang “lupa” bahkan tidak kembali karena terpengaruh perubahan (modernitas). Pertanyaan yang muncul adalah apa afirmative action dari institusi pendidikan? Tanpa ada kepekaan, pendidikan akan selamanya menjadi “koridor gelap”. Kita akan terus berada di bawah kendali perubahan ketika lupa identitas sendiri. Pendidikan berbasis budaya semakin sangat penting karena tidak hanya sebagai identitas (pembeda) tetapi juga energi untuk tetap bertahan dalam perubahan. “A people without the knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots” (Marcus Garvey).

Garis besar pendidikan era kini bersifat multi-oriented, salah satu pengaruhnya adalah tuntutan tren dan kebutuhan. Kritik bagi pendidikan di Indonesia adalah kurangnya orientasi dan respon terhadap rasionalitas budaya. Pengaruhnya adalah pada mental anak muda (kaum akademisi). Penguatan budaya yang tidak difasilitasi sejak kita berada di dunia pendidikan akan membuat kita teralienasi (terasing) dan juga sebagai objek dari ancaman perubahan. Dapat kita lihat, semakin jarang pendidikan memprioritaskan pengetahuan lokal (bahasa, lagu daerah, tarian, alat musik tradisional, dsb). Apabila dianalisis secara kritis, sistem pendidikan saat ini lebih pada memproduksi individu-individu instan dan mengesampingkan rasionalitas budaya di masa lalu. Pengaruhnya, tidak jarang, atau bahkan seringkali dijumpai, modernitas menggelapkan mata, membuat manusia lupa menoleh ke belakang.

Secara substansial, gaya pendidikan cenderung mengikuti tren (update). Fenomena ini tanpa sadar sebenarnya membuka pola komersialisasi pendidikan yang dikhawatirkan dapat melunturkan kepedulian akademik terhadap wacana pengetahuan lokal. Dahulu, institusi pendidikan di Indonesia pernah melaksanakan transfer pengetahuan berbasis pengetahuan lokal (Muatan Lokal). Namun, orientasi terhadap produk pengetahuan lokal yang mulai berkurang pada akhirnya membuat “sepi peminat”, kepekaan terhadap pendalaman studi budaya juga semakin minim. Apalagi melihat fenomena perubahan saat ini, institusi pendidikan perlu segera mendudukan kembali wacana budaya sebagai social capital (modal sosial), tujuannya adalah menjaga keselarasan dan kesadaran sosial. Seperti dikatakan Paulo Coelho, “culture makes people understand each other better”.

Perubahan yang tidak direspon lewat pengetahuan lokal akan semakin memproduksi jarak (individualistik). Ancaman perubahan di era teknologi informasi juga mengakibatkan identitas lokal semakin kabur. Tantangannya, bagaimana institusi pendidikan menemukan formula dalam upaya mendudukan wacana lokal agar setara dengan tren modernitas? Kemudian, secara kritis memikirkan peran pendidikan menstigma persepsi publik bahwa budaya adalah suatu kebutuhan. Institusi pendidikan harus concern dan mampu menyelamatkan budaya dari perubahan, yaitu lewat konsistensi dan promosi pengetahuan lokal. Artinya, institusi pendidikan berperan membuat budaya sebagai sesuatu yang menarik dan penting untuk dipelajari. Kehadiran pendidikan tentunya sangat diharapkan dapat memberikan manfaat praktis, berkontribusi terhadap penyelesaian masalah dalam kehidupan sehari-hari. Semua itu ditentukan oleh character building.

Reformasi Model Pendidikan Berbasis Budaya

Filosofi kaum pendidikan modern meyakini bahwa konsekuensi-konsekuensi emosional tidak mungkin dialami secara kolektif di lingkungan akademik. Pendidikan diartikulasikan secara lebih luas dengan menuntut mekanisme pembelajaran kritis, dimana peserta didik tidak lagi ditempatkan hanya sebagai objek dalam proses pendidikan. Pendidikan yang efektif adalah pendidikan yang memberikan ruang bagi kritik-otokritik dan ruang dialog pembelajaran. Dengan begitu akan terpelihara sistem transfer ilmu yang efektif. Pemahaman berbasis budaya lokal yang difasilitasi oleh institusi pendidikan dalam proses pembelajaran akan membantu mengintensifkan pola pikir rasional. Ketika sistem ini dijalankan, maka pemahaman dan pengetahuan kita akan semakin kuat, terutama mempertahankan rasa cinta terhadap budaya sendiri (sense of belonging).

Selain mekanisme pembelajaran, substansi pendidikan itu sendiri ditentukan oleh pengaruh agen. Dalam hal ini, pertimbangan penting dalam proses transfer pengetahuan adalah peran guru (subjek dalam pendidikan). Guru menjadi agen penting dan juga penentu dalam proses pembelajaran, dalam hal ini membekali keilmuan dengan pemahaman berbasis kultur agar dapat berpikir kritis dan rasional terhadap budaya. Sehubungan dengan tanggung jawab itu, Adora Svitak mengatakan, “any good teacher knows how important it is to connect with students and understand our culture”. Guru yang baik adalah mereka yang memahami budaya.

Kesimpulannya, pada tingkatan pendidikan, pemahaman berbasis budaya adalah hal yang wajib diperkenalkan, dipromosikan dan dikampanyekan. Seperti penjelasan awal, bahwa budaya adalah sumber dari segala nilai yang bila direfleksikan secara baik akan membawa manfaat dalam kehidupan sosial. Institusi pendidikan di Indonesia sudah seharusnya berpikir tentang cara mempertahankan kemapanan budaya lokal, membekali peserta didik dengan edukasi moral dan sikap mencintai budaya. Setelah pembentukan moral dan budaya terpenuhi, barulah pendidikan melanjutkan perannya untuk diarahkan pada proses penyelidikan kritis dalam membangun kompetensi personal.

*)Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Padjadjaran, Bandung

Leave a reply