JPPI Sebut Angka Anak Tidak Sekolah Berpotensi Membengkak di Tahun Ajaran Ini
Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) memperkirakan angka anak tidak sekolah (ATS) kian membengkak di tahun ajaran 2024/2025. Hal ini terlihat dari tiga indikator utama.
Ketiga indikator utama yang dapat menyebabkan membengkaknya angka anak tidak sekolah adalah sebagai berikut:
Jumlah kasus kecurangan PPDB yang meningkat secara jumlah dan juga sebaran lokasi pelanggaran. Ini jelas, semakin banyak korban, potensi putus sekolah kian terbuka lebar.
Banyaknya CPD (calon peserta didik) yang didiskualifikasi saat proses PPDB, tanpa ada pendampingan untuk mendapatkan sekolah. Sama seperti tahuntahun sebelumnya, mereka ini dibiarkan dan tidak dicarikan sekolah oleh pemerintah. Jadi, nasibnya tidak jelas, mereka lanjut sekolah di swasta, atau mereka memutuskan untuk tidak sekolah.
Tidak adanya jaminan sekolah dari pemerintah soal nasib anak-anak pemegang KIP (Kartu Indonesia Pintar) yang gagal PPDB. Akibat kuota yang minim, tidak sebanding dengan jumlah penerima KIP, maka banyak penerima KIP hingga kini tidak dapat jatah bangku di sekolah negeri.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengatakan, akses mendapatkan bangku sekolah masih menjadi barang mewah di Indonesia. “Padahal seharusnya, sekolah adalah barang publik yang mestinya bisa dinikmati oleh semua anak, tanpa terkecuali,” kata Ubaid dalam siaran pers Hari Anak Nasional 2024, di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2024.
Belum berkeadilannya sistem PPDB menimbulkan perebutan bangku sekolah yang tidak yang memicu kecurangan terjadi secara masif hampir di semua daerah. Berdasarkan pemantauan JPPI, modus-modus kecurangan saat PPDB sangat banyak sekali ragamnya.
Terdapat 10 macam kecurangan terbanyak yang terjadi pada PPDB 2024. Dari data JPPI, lima kecurangan terbesar yang terjadi di tahun ini adalah cuci rapor (19 persen), sertifikat palsu (16 persen), jual beli kursi (15persen), permainan kuota bangku yang tersedia (11 persen), dan manipulasi KK (10 persen).
Cuci rapor dan pemalsuan sertifikat ini, modus lama yang tambah marak di tahun ini. Kasus ini khusus terjadi di jalur prestasi.
Sedangkan Manipulasi KK, hanya terjadi di jalur zonasi. Sementara kasus jual beli kursi yang diwarnai dengan suap dan juga permainan kuota bangku, ini bisa terjadi di semua jalur (prestasi, zonasi, dan afirmasi).
Berbagai kecurangan ini melukai harapan anak-anak untuk bisa lanjut bersekolah. “Memang, sebagian anak-anak yang tidak lulus PPDB ini, ada yang berhasil melanjutkan pendidikan di sekolah swasta hingga lulus tuntas. Tapi, pada sisi lain, ternyata masih ada jutaan anak Indonesia yang harus gigit jari dan menelan pil pahit karena tidak bisa sekolah,” papar Ubaid.
Anak-anak yang tidak sekolah akibat gagal PPDB ini ada dua model. Pertama, anak yang tidak lanjut ke jenjang lebih tinggi, atau diistilahkan “lulus tidak melanjutkan”. Misalnya mereka lulus SD, tapi kemudian tidak lanjut ke jenjang SMP. Data tahun ajaran 2023/2024 menunjukkan jumlahnya mencapai 1.267.630 anak.
Kedua, mereka lanjut ke jenjang yang lebih tinggi, tapi kemudian putus sekolah tidak sampai lulus (drop out). Berdasarkan data Pusdatin Kemendikbudristek 2023/2024, mereka ini jumlahnya mencapai 1.153.668 anak.
Ubaid mengatakan, jika mereka dipaksa masuk swasta, kemungkinan besar gagal bayar sejumlah tagihan, lalu putus sekolah. Menurut Ubaid, banyaknya anak yang gagal PPDB karena kecurangan yang terjadi di berbagai daerah menunjukkan kegagalan sistemik dalam perlindungan hak semua anak untuk mendapatkan pendidikan tanpa terkecuali.
“Sampai kapan kecurangan dan pelanggaran hak anak ini akan terus berulang?” kata Ubaid.
Ubaid berharap kepada pemerintah supaya lebih serius dalam memperhatikan dan menjamin pemenuhan hak pendidkan bagi semua anak Indonesia, tanpa terkecuali. Kecurangan PPDB, anak putus sekolah akibat gagal PPDB, ini adalah kesalahan yang terus diulang tiap tahun.
“Ke depan saya berharap, fakta-fakta ini dilihat sebagai evident based oleh pemerintah untuk membuat kebijakan dan juga sistem yang dapat melindungi hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dan berkeadilan.