Belajar Strategi Bersama PP Muslimat NU

0
2181

Banten – Pekan ini, sedikitnya 30 partisipan mengikuti pelatihan yang diprakarsai PP Muslimat Nahdlatul Ulama bekerja sama dengan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia/JPPI. Dengan tema pelatihan “Strategi dan Teknik Penyusunan Proposal “, diharapkan peserta mampu meningkatkan kemampuan dalam menyusun dokumen kemitraan yang akan diajukan kepada donor atau pihak lain. Peserta pelatihan merupakan kader muslimat dan anggota jaringan koalisi NEW Indonesia. Seknas JPPI atau NEW Indonesia merupakan lembaga advokasi pendidikan jaringan global yang beranggotakan sedikitnya 22 LSM di Indonesia, masing-masing lembaga memiliki program prioritas terutama advokasi pendidikan, pemberdayaan, hukum dan demokrasi.

Pelatihan berlangsung di Gedung Serbaguna Pusdiklat Muslimat NU di Pondok Cabe, Tangerang Banten. Hadir dalam pembukaan acara Senin(4/6) Pimpinan dan jajaran PP Muslimat NU, Koordinator Seknas JPPI Ubaid Matraji dan tim , serta tamu undangan.

Dalam sambutannya Kornas JPPI Ubaid Matraji meminta peserta lebih proaktif menggali pengetahuan dalam pelatihan , terutama aspek teknis penyusunan proposal dan diharapkan akan bermanfaat bagi para praktisi guna keberlanjutan organisasi.

Praktisi manajemen Muntajid Billah menjadi instruktur dalam pelatihan. Muntajid menyampaikan hal-hal teknis terkait peyusunan proposal yang dinilai layak untuk diajukan kepada mitra, terutama jika disertai dengan data dan hasil riset yang cukup komprehensif.

Beberapa partisipan mengatakan mereka puas mendapat kesempatan ikut pelatihan dan optimistis dapat berkontribusi lebih berarti kepada organisasi. Dalam sebuah simulasi pelatihan, partisipan dibagi menjadi dua kelompok kecil, masing-masing mengajukan narasi proposal terkiat isu pendidikan dan berikut seluruh aspek teknis penyusunan yang telah diberikan instruktur sebelumnya. Kedua proposal dilengkapi data dokumen serta aspek teknis lainnya. Masing-masing kelompok mempresentasikan draf proposal , masing-masing dan saling memberi masukan untuk ditindaklajuti dalam waktu dekat.

Koordinator Pelaksana Pelatihan Yuliwati MPd dan jajaran PP Muslimat NU Bidang Pendidikan Pelatihan berharap hasil-hasil pelatihan akan meningkatkan kemapuan personal dan berdampak kepada organisasi dan mitra secara lebih berkelanjutan.

Muslimat NU

Pergerakan wanita NU seperti dikutip dari laman resmi muslimat-nu.com memiliki akar kesejarahan panjang dengan pergumulan yang amat sengit yang akhirnya memunculkan berbagai gerakan wanita baik Muslimat, Fatayat hingga Ikatan Pelajar Putri NU (IPPNU).

Sejarah mencatat bahwa Kongres NU di Menes tahun 1938 merupakan forum yang memiliki arti tersendiri bagi proses katalisis terbentuknya organisasi Muslimat NU. Sejak kelahirannya di 1926, NU adalah organisasi yang anggotanya hanyalah kaum laki-laki.

Para ulama NU saat itu masih berpendapat bahwa wanita belum masanya aktif di organisasi. Anggapan bahwa ruang gerak wanita cukuplah di rumah saja masih kuat melekat pada umumnya warga NU saat itu. Hal itu terus berlangsung hingga terjadi polarisasi pendapat yang cukup hangat tentang perlu tidaknya wanita berkecimpung dalam organisasi.

Dalam kongres itu, untuk pertama kali tampil seorang Muslimat NU di atas podium, berbicara tentang perlunya wanita NU mendapatkan hak yang sama dengan kaum lelaki dalam menerima didikan agama melalui organisasi NU. Verslag Kongres NU XIII mencatat, “Pada hari Rebo ddo : 15 Juni ’38 sekira poekoel 3 habis dhohor telah dilangsoengkan openbare vergadering (dari kongres) bagi kaoem iboe, …

Tentang tempat kaoem iboe dan kaoem bapak jang memegang pimpinan dan wakil-wakil pemerintah adalah terpisah satoe dengan lainnja dengan batas kain poetih.”

Sejak kongres NU di Menes, wanita telah secara resmi diterima menjadi anggota NU meskipun sifat keanggotannya hanya sebagai pendengar dan pengikut saja, tanpa diperbolehkan menduduki kursi kepengurusan. Hal seperti itu terus berlangsung hingga Kongres NU XV di Surabaya 1940.

Dalam kongres tersebut terjadi pembahasan yang cukup sengit tentang usulan Muslimat NU yang hendak menjadi bagian tersendiri, mempunyai kepengurusan tersendiri dalam tubuh NU. Dahlan termasuk pihak-pihak yang secara gigih memperjuangkan agar usulan tersebut bisa diterima peserta kongres. Begitu tajamnya pro-kontra menyangkut penerimaan usulan tersebut, sehingga kongres sepakat menyerahkan perkara itu kepada PB Syuriah untuk diputuskan.

Sehari sebelum kongres ditutup, kata sepakat menyangkut penerimaan Muslimat NU belum lagi didapat. Dahlan lah yang berupaya keras membuat semacam pernyataan penerimaan Muslimat NU untuk ditandatangani Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan KH A Wahab Chasbullah. Dengan adanya secarik kertas sebagai tanda persetujuan kedua tokoh besar NU itu, proses penerimaan dapat berjalan dengan lancar.

Bersama A Aziz Dijar, Dahlan pulalah yang terlibat secara penuh dalam penyusunan peraturan khusus yang menjadi cikal bakal Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD ART) Muslimat NU di kemudian hari.

Bersamaan dengan hari penutupan Kongres NU XVI, organisasi Muslimat NU secara resmi dibentuk, tepatnya tanggla 29 Maret 1946/26 Rabiul Akhir 1365. Tanggal tersebut kemudian ditetapkan sebagai hari lahir Muslimat NU sebagai wadah perjuangan wanita Islam Ahlussunnah wal Jamaah dalam mengabdi kepada agama, bangsa dan negara.

Sebagai ketuanya dipilih Chadidjah Dahlan asal Pasuruan, istri Dahlan. Dia merupakan salah seorang wanita di lingkungan NU selama dua tahun memimpin Muslimat NU sampai Oktober 1948. Sebuah rintisan yang sangat berharga dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya di lingkungan NU, sehingga keberadaannya diakui dunia internasional, terutama dalam kepeloporannya di bidang gerakan wanita. Pada Muktamar NU XIX, 28 Mei 1952 di Palembang, NOM menjadi badan otonom dari NU dengan nama baru Muslimat NU. (Tim)

Leave a reply