Sembilan Alasan Pesantren sebagai Laboratorium Perdamaian

0
753

Jakarta — Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama Ahmad Zayadi menyatakan bahwa pesantren adalah laboratorium perdamaian. Sebagai laboratorium perdamaian, karena pesantren merupakan tempat untuk menyemai ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin, Islam ramah dan moderat (wasathi).

“Pesantren sangat tepat dijadikan sebagai laboratorium perdamaian,” tegas Ahmad Zayadi dalam keterangan tertulisnya kepada NU Online, Kamis (18/10).

Dia menyebut, setidaknya ada sembilan alasan dan dasar mengapa pesantren layak disebut sebagai laboratorium perdamaian.

Pertama, prinsip maslahat (kepentingan umum) merupakan pegangan yang sudah tidak bisa ditawar lagi oleh kalangan pesantren. Tidak ada ceritanya orang-orang pesantren meresahkan dan menyesatkan masyarakat. Justru kalangan yang membina masyarakat kebanyakan adalah jebolan pesantren, baik itu soal moral maupun intelektual.

Kedua, metode mengaji dan mengkaji. Selain mendapatkan bimbingan, teladan dan transfer ilmu langsung dari kiai, di pesantren diterapkan juga keterbukaan kajian yang bersumber dari berbagai kitab, bahkan sampai kajian lintas mazhab.

Tatkala muncul masalah hukum, para santri menggunakan metode bahts al-masa’il untuk mencari kekuatan hukum dengan cara meneliti dan mendiskusikan secara ilmiah sebelum menjadi keputusan hukum. Melalui ini para santri dididik untuk belajar menerima perbedaan, namun tetap bersandar pada sumber hukum yang otentik.

Ketiga, para santri biasa diajarkan untuk khidmah (pengabdian). Ini merupakan ruh dan prinsip loyalitas santri yang dibingkai dalam paradigma etika agama dan realitas kebutuhan sosial.

Keempat, pendidikan kemandirian, kerja sama dan saling membantu di kalangan santri. Lantaran jauh dari keluarga, santri terbiasa hidup mandiri, memupuk solidaritas dan gotong-royong sesama para pejuang ilmu.

Kelima, lahirnya beragam kelompok diskusi dalam skala kecil maupun besar. Setting kamar kebanyakan pesantren relatif padat. Satu kamar berukuran kecil bisa ditempati oleh 8 orang lebih. Kondisi ini membuat mereka sering membuat forum kecil untuk membahas hal-hal remeh sampai yang serius. Dialog kelompok membentuk santri berkarakter terbuka terhadap hal-hal berbeda dan baru.

Keenam, gerakan komunitas seperti kesenian dan sastra tumbuh subur di pesantren. Seni dan sastra sangat berpengaruh pada perilaku seseorang, sebab dapat mengekspresikan perilaku yang mengedepankan pesan-pesan keindahan, harmoni dan kedamaian.

Ketujuh, penanaman spiritual. Tidak hanya soal hukum (fikih) yang didalami, banyak pesantren juga melatih para santrinya untuk tazkiyatun nafs, yaitu proses pembersihan hati. Ini biasanya dilakukan melalui amalan zikir dan puasa, sehingga akan melahirkan fikiran dan tindakan yang bersih dan benar. Makanya santri jauh dari pemberitaan tentang intoleransi, pemberontakan, apalagi terorisme.

Kedelapan, kesadaran harmoni beragama dan berbangsa. Perlawanan kultural di masa penjajahan, perebutan kemerdekaan, pembentukan dasar negara, tercetusnya Resolusi Jihad 1945, hingga melawan pemberontakan PKI misalnya, tidak lepas dari peran kalangan pesantren. Sampai hari ini pun komitmen santri sebagai generasi pecinta tanah air tidak kunjung pudar. Sebab, mereka masih berpegang teguh pada kaidah hubbul wathan minal iman (cinta tanah air sebagian dari iman).

Kesembilan, merawat khazanah kearifan lokal. Relasi agama dan tradisi begitu kental dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pesantren menjadi ruang yang kondusif untuk menjaga lokalitas di tengah arus zaman yang semakin pragmatis dan materialistis.

Kesembilan poin di atas, menurut Zayadi, hendak menegaskan bahwa pesantren punya modal nyata, yakni sebagai wajah pendidikan karakter, kaderisasi intelektual yang Islami dan nasionalis, dan ruang yang produktif sebagai penanaman generasi yang tangguh, toleran, dan mengedepankan urusan keumatan dan bangsa.

“Tentu saja, sembilan alasan di atas hanya sedikit hal dari sekian banyak kekayaan dan keistimewaan pesantren,” tandasnya.

Leave a reply