
Sekolah Rakyat Dinilai Berpotensi Memperkuat Diskriminasi dalam Pendidikan
Tangerang, IDN Times – Program Sekolah Rakyat yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto mendapat kritik tajam dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menilai bahwa program ini justru dapat memperdalam ketimpangan dan diskriminasi dalam sistem pendidikan nasional.
“Keberadaan sekolah rakyat berpotensi melegitimasi stratifikasi sosial dalam pendidikan. Ini bukan solusi, tetapi justru memperkuat pembagian kelas sosial dalam layanan pendidikan,” ujar Ubaid dalam keterangannya, Minggu (13/7/2025).
Pendidikan Seharusnya Inklusif, Bukan Eksklusif
Ubaid menegaskan bahwa pendidikan seharusnya bersifat inklusif dan merata bagi semua kalangan, bukan justru membedakan peserta didik berdasarkan latar belakang ekonomi. Menurutnya, pemisahan seperti ini akan menghasilkan ketidaksetaraan dalam kualitas layanan pendidikan.
“Ketika siswa dipisahkan berdasarkan kondisi sosial-ekonomi, kita membuka ruang terjadinya diskriminasi. Anak-anak dari keluarga miskin sangat mungkin menerima layanan pendidikan yang lebih rendah dibandingkan mereka yang berasal dari keluarga mampu,” jelasnya.
Ia pun mengkhawatirkan dampak jangka panjang yang mungkin timbul, di mana kesenjangan kualitas pendidikan antar kelompok masyarakat dapat memperbesar ketidaksetaraan kesempatan hidup mereka di masa depan.
“Hal ini akan menciptakan perbedaan mendasar dalam kualitas pendidikan dan berujung pada kesenjangan kesempatan masa depan antara kelompok ekonomi atas dan bawah,” tambahnya.
Model Baru Bisa Perparah Ketimpangan yang Sudah Ada
Lebih lanjut, Ubaid menyampaikan bahwa sistem pendidikan yang ada saat ini saja sudah menyisakan banyak ketimpangan, termasuk dalam model penyelenggaraan pendidikan di sekolah umum dan madrasah, serta dalam hal kualitas layanan yang diberikan kepada peserta didik maupun para pendidik.
“Dalam praktiknya, layanan pendidikan masih sangat bervariasi antar lembaga. Ketika kita memperkenalkan model sekolah baru seperti ini, kita bukan menyelesaikan masalah, tapi justru menambah kompleksitas ketimpangan,” tegasnya.
Risiko Stigmatisasi terhadap Peserta Didik
Selain isu diskriminasi, Ubaid juga menyoroti risiko labelisasi negatif terhadap siswa yang menempuh pendidikan di sekolah rakyat. Ia menilai penggunaan istilah seperti “sekolah rakyat untuk anak miskin” akan menciptakan stigma sosial yang merugikan.
“Label semacam itu sangat berisiko menimbulkan stigma bahwa siswa di sekolah rakyat adalah kelompok yang tertinggal atau kurang mampu, sehingga dianggap tidak setara dengan siswa di sekolah unggulan,” jelasnya.
Stigma yang Berdampak pada Psikologi dan Prestasi Siswa
Lebih jauh, Ubaid menjelaskan bahwa stigma ini bukan hanya berdampak pada cara pandang masyarakat, tapi juga dapat mengikis rasa percaya diri siswa yang terdampak dan memengaruhi capaian akademik mereka.
“Stigmatisasi seperti ini memperkuat prasangka negatif dan memperbesar risiko marginalisasi sosial bagi anak-anak dari keluarga miskin. Akibatnya, mereka semakin terpinggirkan dan terperangkap dalam siklus diskriminasi yang sulit diputus,” pungkasnya.