
Polemik Deepfake “Guru Beban Negara” usai Pernyataan Sri Mulyani
Meski video yang beredar hasil generatif AI, Pernyataan Sri Mulyani yang menyebut rendahnya gaji guru sebagai tantangan keuangan negara menuai kritik.
Percakapan publik mengenai “Guru Beban Negara” ramai di pelbagai pelantar media sosial dalam sepekan terakhir. Layanan XNetwork Search dari InVID pada 21 Agustus 2025, merekam 1,4 juta unggahan warganet dan artikel media online di Twitter, Facebook, Instagram, TikTok, Youtube dan Linkedin.
Perbincangan itu bermula dari beredarnya video pendek Menteri Keuangan Sri Mulyani seperti yang dibagikan oleh tiga akun di Facebook (satu, dua, tiga), di Instagram dan Twitter pada 17-18 Agustus 2025. Dalam video berdurasi empat menit itu, Sri Mulyani mengatakan guru adalah beban negara.
Video itu memicu beragam meme dan satire yang membandingkan nasib guru dengan fasilitas pejabat negara. Sri Mulyani kemudian menegaskan lewat Instagram bahwa video itu adalah deepfake, konten palsu berbasis kecerdasan buatan. “Faktanya, saya tidak pernah menyatakan guru sebagai beban negara,” tulisnya pada 19 Agustus 2025.
Tim Cek Fakta Tempo menelusuri awal mula deepfake itu beredar dan konteks peristiwa di balik viralnya. Untuk menelusuri informasi itu, tim Cek Fakta Tempo menggunakan alat pencarian gambar terbalik, alat pendeteksi AI, melibatkan pakar AI, serta wawancara peneliti pendidikan dan kebijakan publik.
Konten Deepfake Dibuat dengan Veo dari Google
Tangkapan layar video pendek Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan “guru adalah beban negara” yang beredar di media sosial.
Melalui konten yang dibagikan akun Anton Jawamara [arsip] dan Ewink Leeming di Facebook, Tempo menemukan tanda air “veo” di sudut kanan bawah. Veo adalah model kecerdasan buatan generatif yang dikembangkan oleh Google DeepMind.
Pada Mei 2025, Google DeepMind meluncurkan Veo 3, AI generatif multimodal terbaru yang memungkinkan pembuatan video dan sinkronisasi audio berpresisi tinggi hanya dengan perintah teks. Google menyatakan setiap konten Veo diberi tanda air untuk mencegah penyalahgunaan.
Deepfakes Analysis Unit (DAU) dari Misinformation Combat Alliance di India, juga menyimpulkan bahwa konten itu buatan AI. Kesimpulan ini didapat setelah DAU menganalisisnya dengan tiga alat pendeteksi AI yakni AI or Not, Was It AI, dan SynthID. “Ketiganya menunjukkan persentase kemungkinan yang tinggi konten itu dibuat dengan AI,” tulis DAU kepada Tempo, 21 Agustus 2025.
Tangkapan layar pengecekan video pendek Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan “guru adalah beban negara” menggunakan alat deteksi AI.
Video horizontal bertanda air itu pertama kali beredar pada 17 Agustus 2025. Sehari setelahnya, muncul versi persegi dan vertikal dengan tanda air Veo yang sudah dipotong atau disunting, seperti unggahan akun ini atau ini pada 18 dan 19 Agustus 2025.
Tim Cek Fakta Tempo lalu menelusuri dengan pencarian gambar terbalik Google dan Yandex. Hasilnya, konten deepfake Sri Mulyani identik dengan foto dokumentasi ITB yang dipublikasikan Kompas.com pada 8 Agustus 2025. Foto itu diambil saat Sri Mulyani memberi paparan dalam Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) di ITB pada 7 Agustus 2025.
Siaran acara tersedia di kanal YouTube ITB pada hari yang sama. Pada menit ke-48, Sri Mulyani berbicara selama 20 menit dengan motif baju dan latar panggung yang sama seperti dalam video.
Tangkapan layar pengecekan video pendek Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan “guru adalah beban negara” dengan sumber asli video.
Bermula dari Pernyataan Sri Mulyani yang Kontroversial
Tempo menyimak paparan Sri Mulyani hingga selesai. Ia menjelaskan skema belanja APBN untuk pengembangan teknologi dan inovasi melalui pendidikan. Pemerintah, kata dia, membagi anggaran pendidikan ke dalam beberapa klaster. Pertama, dana investasi untuk murid dari PAUD hingga mahasiswa, seperti BOS, Program Indonesia Pintar, KIP Kuliah, dan beasiswa pascasarjana. Kedua, untuk guru dan dosen, termasuk gaji dan tunjangan kinerja. Ketiga, untuk sarana prasarana, termasuk dana abadi pendidikan yang dikelola LPDP.
Sri Mulyani memang tidak pernah menyebut guru sebagai beban negara. Namun, sebelum video deepfake beredar, ucapannya lebih dulu memicu kontroversi. Pada menit 57:34 ia berkata, “Banyak di media sosial mengatakan menjadi dosen atau menjadi guru tidak dihargai karena gajinya tidak besar. Ini juga salah satu tantangan bagi keuangan negara. Apakah semuanya harus keuangan negara, ataukah ada partisipasi dari masyarakat.”
Sejumlah organisasi dan warganet mengkritik ucapan itu. Tempo pada 15 Agustus 2025 menurunkan pernyataan PB PGRI yang menilai negara seharusnya mengoptimalkan amanat UU mengalokasikan 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan. Media KBR.id pada 18 Agustus 2025 mengutip P2G yang menilai ucapan itu terkesan abai terhadap kesejahteraan guru. Liputan6.com lewat akun TikTok pada 10 Agustus 2025 juga menyoroti banjir kritik warganet terhadap pernyataan Sri Mulyani.
Deepfake sebagai Kemarahan Warganet
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menilai konten deepfake itu lahir sebagai kritik atas pernyataan Sri Mulyani yang dianggap ingin cuci tangan dari kewajiban negara membiayai pendidikan. Kritik makin meluas bersamaan dengan rencana kenaikan anggaran Makan Bergizi Gratis Rp 335 triliun dan tunjangan DPR.
Menurutnya, kebijakan ini kontras dengan kondisi guru dan dosen yang belum sejahtera serta program sertifikasi yang belum merata. “Anggaran pendidikan kita hampir separuhnya justru untuk MBG,” kata Ubaid, Kamis 21 Agustus 2025.
Kepala Riset Center for Digital Society UGM, Hafiz Noer, berpendapat serupa. Ia menyebut penyebaran deepfake Sri Mulyani dipicu kemarahan warganet setelah pidatonya di ITB. Hafiz menilai deepfake memang bermasalah secara etika karena tidak berbasis fakta, namun pernyataan Sri juga keliru karena terkesan ingin melepas tanggung jawab negara dalam alokasi dana pendidikan.
Hafiz menekankan realitas di lapangan menunjukkan banyak guru masih bergaji rendah sehingga warga di sejumlah daerah harus bergotong-royong membantu. “Pernyataan tidak etis Sri Mulyani kemudian dibalas warganet dengan cara tidak etis lewat deepfake,” ujar lulusan master Inovasi, Kebijakan Publik, dan Nilai Publik, University College London, kepada Tempo, Jumat 22 Agustus 2025.
Ia mengingatkan, meski deepfake jadi saluran kemarahan publik, teknologi ini berpotensi menyesatkan lebih luas. Selain itu, aktor lain bisa memanfaatkannya untuk menyerang balik aktivisme warga.