Memaknai Filosofi Pendidikan Ki Hajar Dewantara Dalam Mengurai Kasus Kekerasan di Lingkungan Sekolah
Sekolah merupakan tempat atau sarana menuntut ilmu. Mendapat ilmu pengetahuan dan bisa belajar keterampilan lain seperti, kemandirian, sopan santun, disiplin, saling menghormati, dan saling menghargai. Pendidikan telah menjadi kebutuhan pokok setiap individu. Bahkan pemerintah telah mewajibkan warga negaranya untuk memperoleh pendidikan wajib 12 tahun. Program ini bertujuan untuk mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang kompeten. Namun terlepas dari jenjang pendidikan yang berhasil ditempuh sesorang, penyelenggara pendidikan harus memiliki kompetensi yang cukup untuk memfasilitasi lembaga-lembaga pendidikan, sehingga praktik pembelajaran yang dilakukan dapat terintegrasi dengan baik.
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dan tumbuhnya peradaban. Ki Hajar Dewantara memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab, manusia yang mampu menggali potensi, kreatif, dan inovatif adalah dengan pendidikan. Dalam kegiatan pembelajaran harusnya didasari dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang berguna untuk memerdekakan manusia sebagai bagian dari masyarakat.
Namun dalam praktiknya, di Indonesia masih marak ditemui kasus-kasus kekerasan di lingkungan sekolah. Kasus perundungan dan kekerasan seksual menjadi kasus yang paling banyak terjadi selama tahun 2023.
Salah satu kasus yang sempat viral di Gresik, Jawa Timur. Seorang siswi kelas 2 SD mengalami buta permanen pada mata kananya akibat diduga ditusuk oleh kakak kelasnya (bbc.com, 2023)
Hal ini merupakan praktik pendidikan yang membelenggu, belenggu yang tidak memerdekakan siswa. Dimana siswa tidak mendapatkan kebebasan dan kepuasan selama proses pembelajaran, kerena mereka mendapatkan deskriminasi atau bullying di sekolah. Seorang siswa harus dimerdekakan secara batin, pikiran, dan tenaganya, sebab ketiga hal itu merupakan syarat untuk menjadi manusia yang merdeka.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebutkan perundungan atau bullying di Indonesia sudah “DARUDAT”. Sebab jumlahnya terus bertambah dan tak ada tanda-tanda penurunan meski Kemendikbud telah menerbitkan sejumlah kebijakan terkait pencegahan kekerasan di satuan pendidikan.
Endang Yuliastuti, perwakilan Pengurus Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), menambahkan, sejauh ini permendikbud tersebut dipandang sebagai imbauan semata oleh sekolah-sekolah di daerah. Tidak ada upaya untuk mengawasi penyelenggaraan dan implikasinya dalam jangka waktu tertentu.
Korban kekerasan mayoritas adalah anak yang masih dibawah umur, mirisnya para pelaku kekerasan juga tak lepas dari lingkungan sekolah itu sendiri. Hal tersebut sangat disayangkan karena sekolah yang seharusnya menjadi tempat nyaman dan aman bagi siswa untuk menempuh pendidikan malah menjadi tempat yang mengerikan. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab atas terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah?.
Perlu digaris bawahi bahwa unsur keluarga, perguruan, dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendidikan. Sehingga ketiga peran terebut berpengaruh dalam pembetukan karakter siswa. Sekolah menjadi tempat utama untuk pembentukan karakter. Konsep pendidikan yang memerdekaan siswa dari Ki Hajar Dewantara menjadi upaya guru untuk menuntun siswa memenuhi kodratnya sebagai manusia. Manusia merdeka adalah manusia yang hidup, lahir dan batinnya tidak bergantung pada orang lain, akan tetapi berdasar atas kekuatan sendiri.
Ajaran-ajaran Ki Hajar Dewantara mengenai pendidikan yang menuntun segala kodrat siswa untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun anggota masyarakat. Sehingga dalam upaya menuntun siswa, guru melakukan pendampingan, peran pendidik adalah memberi kenyamanan dan keamanan dalam lingkungan belajar. Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan dimana anak itu berada, sedangkan kodrat zaman berkaitan dengan perkembangan zaman.
Hal itu dapat diimplemetasikan dalam upaya pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah, dimana guru memberikan konten atau materi yang berkaitan dengan kearifan lokal, sehinga sifat dan nilai-nilai moral positif dapat tertanam dalam diri siswa melalui pembelajaran di kelas.
Dalam kasus kekerasan yang terjadi di Gresik, merupakan contoh bahwa perlu adanya pengawasan terhadap perilaku siswa, tidak hanya saat proses pembelajaran di kelas saja namun saat melakukan aktivitas di sekolah. Sistem among menjadi jalan ninja guru untuk membangun budaya positif di sekolah yang menjunjung tinggi hak dan menghargai siswa. Dalam sistem among, sangat mengedepankan kemandirian, mengembangkan kekuatan lahir dan batin sehingga siswa menjadi pribadi lebih kuat.
Menangani kasus kekerasan di lingkungan sekolah tidak lepas dari peran guru sebagai pendidik dan pengajar. Menanamkan nilai-nilai luhur dalam pembelajaran, memberikan pemahaman tentang cara menyelesaikan persoalan dan menghargai orang lain, melibatkan orang tuan dalam proses pengembangan diri sebagai ruang kontrol untuk siswa saat tidak berada di sekolah. Namun tak hanya faktor dari lingkungan sekolah, kekerasan juga bisa dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, kesenjangan sosial, kondisi sosial-kultural, dan komunikasi antara siswa dengan orang tuanya. Sehingga perbedaan dan keragaman itu memberi pengaruh pada sikap dan perilaku siswa. Maka Pendidikan hendaknya menghasilkan pribadi-pribadi yang lebih manusiawi, berguna, dan berpengaruh di masyarakat, yang bertanggungjawab atas hidup, dan berwatak luhur.