KPK Buka Saluran Pengaduan Jaga.id, Laporkan Jika Temukan Kecurangan PPDB 2024
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mewanti-wanti terkait praktik kecurangan yang berpotensi terjadi pada PPDB 2024 ini.
Berbagai praktik kecurangan itu, kata dia, mulai dari oknum guru yang memanfaatkan model jasa titipan (Jastip) hingga beragam bentuk gratifikasi. Ia pun berkaca pada kejadian tahun lalu yang melahirkan kecurangan dari setiap jalur masuk PPDB.
“Salah satu hal penting yang men-trigger adalah kalau kita cermati kasus 2023, mulai dari jalur gratifikasi, bentuknya macam-macam, ya, ada yang model jual-beli kursi, kemudian numpang KK (Kartu Keluarga), ada sertifikat prestasi abal-abal, kemudian siswa titipan, kemudian ada pemalsuan data kemiskinan, kemudian manipulasi jarak zonasi, dan yang terakhir aplikasi error itu yang ternyata di lapangan tak sekadar error, tapi juga berdampak terhadap nama kemarin ada, kemudian setelah diperbaiki namanya hilang,” ujar Ubaid dalam diskusi bertajuk ‘Mencegah Praktik Korupsi Penerimaan Siswa Baru’, di Gedung Merah Putih KPK, Senin (10/6/2024).
Dalam pantauan dan laporan yang diterima oleh JPPI, musim PPDB ini justru dimanfaatkan oleh oknum guru yang melakukan pemerasan terhadap orang tua siswa.
“Ini ada model di oknum kepala sekolah di sekolah tertentu yang lapor kepada kami, itu dikumpulkan tuh orang tua, lalu dikasih tahu bahwa jumlah kursi di sekolah sini sama pendaftar itu enggak imbang. Karena enggak imbang, maka ada yang enggak lulus. Karena ada yang enggak lulus, maka jangan kecewa kalau enggak lulus,” jelasnya.
“Nah, (dibilang gurunya) ‘kalau Bapak Ibu berani bayar sekian, maka kita usahakan nanti pas pengumuman, anak Bapak Ibu keluar namanya. Tapi, kalau Bapak Ibu enggak bisa bayar, ya enggak ada jaminan dari kami, ya terima saja kalau misalnya enggak lulus’. Itu ada oknum yang semacam itu,” papar dia.
Model kecurangan lainnya, misalnya jasa titipan lewat oknum guru hingga komite sekolah. Kemudahan akses aplikasi PPDB hingga kedekatan dengan pimpinan sekolah pun dimanfaatkan oknum ini untuk berbuat curang.
“Kemudian ada juga model jastip lewat guru, jasa titipan. Oknum guru orang dalam ini juga digunakan karena aplikasi dan lain-lain itu tetap di bawah kekuasaan sekolah gitu,” imbuh dia.
“Kemudian, juga ada yang melalui jalur komite sekolah. Komite sekolah ini juga punya kedekatan dengan pimpinan sekolah, kedekatan dengan dinas,” tutur Ubaid.
Lalu, Ubaid juga membeberkan bahwa tak jarang ada orang tua murid yang rela merogoh kocek ke pihak luar yang mengaku-ngaku sebagai pihak sekolah, padahal bukan siapa-siapa.
Karena tertipu, uang puluhan juta yang dibayar demi memuluskan anaknya pun akhirnya hilang begitu saja.
“Kemudian ada juga broker pihak luar. Nah, ini yang seringkali orang tua ini ketipu. Jadi sudah bayar puluhan juta tapi pas pengumuman, namanya [anaknya] enggak nongol,” katanya.
“Ketika dikonfirmasi, ternyata si broker ini memang enggak ada hubungannya sama sekolah, cuma ngaku-ngaku sudah direstui kepala sekolah misalnya, atau ngaku-ngaku orang dalam sekolah, tapi namanya enggak tercantum di struktur sekolah sama sekali,” tandas Ubaid.
Terakhir, lanjut Ubaid, juga ada model kecurangan berupa jatah kursi orang dalam. Biasanya, model ini dimanfaatkan oleh oknum pejabat.
“Kemudian, yang terakhir adalah jatah kursi orang dalam. Oknum pemerintah daerah, dinas, dan DPR, ini juga banyak juga dikeluhkan masyarakat,” pungkasnya.
KPK diketahui, menerbitkan Surat Edaran nomor 7 tahun 2024. Surat itu tentang Pencegahan Korupsi dan Pengendalian Gratifikasi dalam penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2023 menunjukkan praktik pungutan tidak resmi ditemukan pada 2,24 persen.
“Pungutan tersebut umumnya terjadi ketika ada calon peserta didik yang tidak memenuhi syarat/ketentuan penerimaan,” kata mantan Jubir Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding dalam keterangannya yang dikutip, Selasa (4/6/2024).
KPK menilai praktik ini bertentangan dengan prinsip pendidikan yang seharusnya mengutamakan nilai demokratis, berkeadilan, dan kesetaraan.
“Sehingga melalui SE tersebut KPK berharap bisa mendorong penyelenggaraan PPDB yang obyektif, transparan dan akuntabel,” kata Ipi.
SE ini menyebut ASN dan non-ASN yang berprofesi sebagai pendidik dan tenaga pendidik, serta unit pelaksana teknis pendidikan.
Mereka dilarang melakukan penerimaan, pemberian, dan permintaan gratifikasi karena hal tersebut berimplikasi korupsi.
Proses pelaksanaan PPDB dari pra-pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca-pelaksanaan harus sesuai aturan yang berlaku. Agar setiap calon peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama dan tidak ada pihak yang dirugikan.
“Untuk itu kepala daerah melalui peran inspektorat harus mengambil peran lebih aktif. Untuk meningkatkan pegawasan penyelenggaraan PPDB,” ujar Ipi.
Melalui SE ini, KPK juga mengajak masyarakat luas, baik selaku orang tua atau wali murid. Agar tidak melakukan praktik gratifikasi yang menggangu proses penyelenggaraan PPDB.
Bila pemberian dilakukan dalam tahap prapelaksanaan dan pelaksanaan bisa dikatakan suap. Pemberian hadiah pasca-pelaksanaan PPDB, misalnya saat registrasi ulang meskipun dimaksudkan sebagai ungkapan terima kasih merupakan bentuk gratifikasi yang dilarang.