Kenaikan UKT Melanggar UU

0
285

Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) yang cukup drastis di beberapa universitas di Indonesia, yang direspons dengan berbagai aksi mahasiswa, adalah fenomena yang sangat disayangkan.

Kenaikan UKT yang cukup signifikan tiap tahun itu membuat para orang tua—terutama dari kalangan menengah ke bawah—yang ingin anak mereka kuliah di perguruan tinggi harus berpikir berkali-kali.

Contoh kenaikan UKT yang signifikan tersebut terjadi di Universitas Jenderal Soedirman (Undsoed) Purwokerto. Program studi di Fakultas Hukum semula UKT tertinggi hanya Rp3 juta. Setelah ada kenaikan UKT tertinggi menjadi Rp14, 5 juta.

UKT yang ditetapkan dalam Peraturan Rektor Unsoed Nomor 6 Tahun 2024 bukan angka yang kecil. Hal tersebut tak cuma terjadi di Unsoed, namun juga di beberapa kampus besar lainnya. Di Universitas Gadjah Mada (UGM) terjadi peningkatan UKT di sebagian besar program studi pada 2024.

Beberapa kampus mencabut peraturan baru rektor tersebut seperti yang terjadi di Unsoed. Wakil Rektor Bidang Akademik Unsoed Noor Farid menyatakan peraturan baru—yang membatalkan kenaikan UKT secara signifikan—itu ditetapkan berdasarkan masukan dari berbagai pihak.

Walakin, kenaikan UKT yang tiba-tiba terjadi dan membuat heboh masyarakat dan mahasiswa tersebut semakin membuat para orang tua dilematis.

Apabila kita melihat Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Lingkungan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologo, ternyata Pasal 2 ayat (3) menjadi dasar dalam menetapkan biaya kuliah tunggal (BKT).

Pasal tersebut mengatur standar satuan biaya operasional pendidikan tinggi (SSBOPT) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar untuk menetapkan BKT. Artinya sumber pendapatan kampus ialah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk PTN.

PTN juga menetapkan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa. Pasal 6 ayat (2) menjelaskan pimpinan PTN selain PTN berbadan hukum menetapkan besaran UKT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) setelah mendapatkan persetujuan dari menteri melalui direktur jenderal pendidikan tinggi bagi universitas dan institut atau direktur jenderal pendidikan vokasi bagi politeknik dan akademi komunitas.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi, terutama Pasal 3, menjelaskan pendidikan tinggi berasaskan kebenaran ilmiah, penalaran, kejujuran, keadilan, manfaat, kebajikan, tanggung jawab, kebinekaan, dan keterjangkauan.

Asas-asas tersebut jelas merupakan dasar memgambil sebuah kebijakan. Kenaikan UKT yang signifikan telah melanggar asas keterjangkauan, keadilan, kebajikan, dan manfaat. Pelanggaran aspek keterjangkauan ialah biaya yang terlalu tinggi sehingga para orang tua sulit untuk menjangkau.

”Keterjangkauan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berasal dari kata dasar ”jangkau’. Artinya hal terjangkau, keadaan terjangkau. Kuliah dengan biaya yang tinggai tentu tidak dapat dijangkau sebagian besar warga negeri ini.

Ketika banyak yang tidak dapat menjangkau maka secara langsung melanggar asas keadilan. Keadilan masyarakat dalam menempuh perguruan tinggi. Asas kebajikan juga dilanggar karena tidak dapat berbuat baik kepada masyarakat.

Asas manfaat adalah keniscayaan pendidikan tinggi yang diselenggarakan bermanfaat bagi masyarakat. Biaya tinggi jelas tidak bermanfaat sebab sebagian besar orang tidak dapat mengaksesnya.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan jumlah penduduk miskin pada Maret 2023 sebanyak 25,90 juta orang. Seharusnya Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi dan para pengelola perguruan tinggi melihat data tersebut.

Jumlah warga miskin di Indonesia masih sangat tinggi. Ketika untuk dapat bertahan hidup saja susah, lantas bagaimana mereka bisa membayangkan suatu saat mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi?

Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang tidak tepat sasaran menambah masalah di sektor pendidikan yang tak kunjung selesai. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mengungkapkan distribusi KIP Kuliah banyak tidak tepat sasaran lantaran proses yang tak transparan.

Proses pendaftaran, verifikasi, hingga pengumuman tidak transparan. Pola masalah tersebut sebenarnya terjadi berulang-ulang, namun sampai saat ini tidak ada ketegasan dari pemerintah untuk menjawab persoalan tersebut.

Sistem ketatanegaraan Indonesia berkonsep rule of law yang berdasarkam pada pemikiran liberalisme yang sangat menjunjung tinggi kebebasan individu. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Pasal tersebut menyatakan setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan, pengakuan, serta kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Kebebasan yang digaung-gaungkan oleh pemerintah ternyata sebatas kebebasan yang bersifat semu, seperti masalah yang terjadi dalam pendidikan di Indonesia.

Pendidikan yang hanya bisa diakses oleh orang-orang kaya membuat orang-orang dari kelas ekonomi bawah pada akhirnya minder dan cuma bisa membayangkan saja tanpa pernah bisa merasakan.

Mungkin kita terlalu jauh membicarakan akses ke perguruan tinggi, padahal di sekolah dasar pun banyak anak-anak desa yang tidak dapat merasakan pendidikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, persentase angka tidak sekolah (ATS) pada kelompok usia 16 tahun hingga 18 tahun di perdesaan mencapai 27,81%/

Persentase itu lebih tinggi dibandingkan di perkotaan yang mencapai 18,11%. Pada kelompok usia 13 tahun hingga 15 tahun, persentase ATS di perdesaan mencapai 9,05%. Persentase ATS pada usia 13 tahun hingga 15 tahun di perkotaan sebesar 5,84%.

Apabila masalah ini tidak dapat diselesaikan, mungkinkah dapat mewujudkan Indonesia Emas Tahun 2045 mendatang? Dari mana hal tersebut dapat dicapai? Apakah masalah tersebut dapat diselesaikan dalam satu malam, seperti cerita Bandung Bandawasa dan Rara Jonggrang yang membangun 1.000 candi dalam satu malam?

Pendidikan tinggi yang diharapkan sebagai sarana pengembangan sumber daya manusia agar generasi selanjutnya lebih baik dalam mengurus negeri ini hanya tinggal mimpi kala akses untuk mencapai itu sangat sulit dan malah dibatasi oleh negara dengan UKT yang semakin mahal.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 21 Mei 2024. Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta)

kolom.solopos.com

Comments are closed.