Kasus Perundungan di Sekolah Meningkat Selama 2023

0
123

Sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di sekolah. Jumlah ini naik signifikan dari tahun 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Upaya penghapusan tiga dosa besar pendidikan, yakni kekerasan seksual, perundungan, dan intoleransi, masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi dunia pendidikan di Indonesia. Perlu implementasi kebijakan yang konkret dan penegakan aturan yang tegas agar kejadian negatif tersebut tidak terus berulang.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mencatat, sepanjang 2023 terjadi 30 kasus perundungan di satuan pendidikan. Jumlah ini meningkat sembilan kasus dari tahun sebelumnya yang menandakan aturan yang dibuat belum terealisasi dengan optimal.

Dari 30 kasus tersebut, setengahnya terjadi di jenjang SMP, 30 persen terjadi di jenjang SD, 10 persen di jenjang SMA, dan 10 persen di jenjang SMK. Jenjang SMP paling banyak terjadi perundungan, baik yang dilakukan peserta didik ke teman sebaya maupun yang dilakukan pendidik.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebenarnya sudah menerbitkan Peraturan Mendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan. Namun, peraturan itu belum diimplementasikan ke semua sekolah hingga daerah-daerah.

”Aturan ini wajib diimplementasikan untuk menciptakan sekolah yang aman dan nyaman tanpa kekerasan melalui disiplin positif. Kami mendorong percepatan pembentukan Tim PPK (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan) di sekolah-sekolah di kabupaten/kota/provinsi,” kata Sekjen FSGI Heru Purnomo, Minggu (31/12/2023).

Dari 30 kasus perundungan tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa seorang siswa SDN di Kabupaten Sukabumi dan seorang santri MTs di Blitar, Jawa Timur. Keduanya meninggal seusai mengalami kekerasan oleh teman sebaya di lingkungan satuan pendidikan.

Ada juga santri yang dibakar teman sebayanya saat tidur sehingga mengalami luka bakar serius. Selain itu, juga tercatat ada kasus perundungan di jenjang SD yang diduga menjadi salah satu pemicu korban bunuh diri meskipun faktor penyebab bunuh diri seseorang tidak pernah tunggal.

Kekerasan tak hanya dilakukan teman sebaya, guru di Lamongan juga melakukan kekerasan dengan memotong rambut 14 siswi karena tidak memakai ciput. Selain itu, guru di Samosir, Sumatera Utara, memotong rambut siswa hanya disisakan rambut samping saja sehingga anak merasa dipermalukan atau mengalami kekerasan psikis.

”Perlu juga adanya upaya pemulihan psikologi bagi pelajar yang depresi oleh pemerintah daerah agar tak sampai bunuh diri. Sekolah bisa bekerja sama dengan Dinas Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) atau dinas sosial terkait penanganan psikologi,” ucapnya.

Implementasi aturan memang masih menemui banyak kendala sehingga hasilnya belum terlihat.

Terpisah, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menambahkan, tim PPK seharusnya sudah dibentuk enam bulan setelah Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 diluncurkan pada Agustus lalu. Artinya, pada Januari 2024 semua sekolah dan madrasah di Indonesia wajib memiliki Tim PPK.

P2G mendorong agar pemahaman mendalam soal kekerasan pada level mikro dan siber ini perlu diselenggarakan dengan serius di sekolah dan madrasah, bukan hanya formalitas dengan menempel poster deklarasi sebagai sekolah ramah anak.

”Di madrasah lebih tak tersentuh lagi, belum ada dan belum disosialisasikan regulasi pencegahan kekerasan ini,” kata Satriwan.

Kemdikbudristek, kata Satriwan, bisa menggandeng berbagai unsur untuk melatih Tim PPK ini, mulai dari pemda, Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), Komisi Perlindungan Anak Indonesia/Daerah (KPAI/KPAD), dinas pendidikan, Kantor Wilayah Kementerian Agama, dinas PPPA, kepolisian, dan organisasi profesi guru. Kemudian peserta pelatihan kembali ke daerah masing-masing untuk menyebarkan ini di sekolah.

Sementara itu, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mengancam mencabut Kartu Jakarta Pintar bagi pelajar yang terlibat dalam kekerasan. Menurut dia, pencabutan KJP tidak akan menyelesaikan persoalan kekerasan pelajar.

Berdasarkan catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak tahun 2023, DKI Jakarta merupakan daerah dengan tingkat kekerasan pada usia anak tertinggi ketiga se-Indonesia dengan total 781 kasus. Kasus paling banyak diakibatkan oleh tawuran antarpelajar.

”Sebanyak 59 kasus kekerasan di Jakarta ini karena tawuran. Kalau KJP mereka dicabut, lalu anak yang tawuran enggak sekolah, gimana nasib mereka? Yang tawuran itu banyak,” kata Ubaid.

Kepala Bagian Pengolahan Laporan Pengawasan Inspektorat Jenderal Kemendikbudristek Julians Andarsa mengakui, implementasi aturan memang masih menemui banyak kendala sehingga hasilnya belum terlihat. Perlu kolaborasi semua pihak untuk memastikan aturan berjalan dengan baik.

”Aturan ini sifatnya bukan imbauan, memang baru terbit pada Agustus 2023. Jadi kalau belum semua satuan pendidikan membuat satgas, kami masih permisif atau wajar karena diberi waktu satu tahun,” kata Julian. (Kompas.id, 16/12/2023).

sumber: Kompas.id

Comments are closed.