Kasus Diklat Menwa UNS & Bahaya Pendidikan Militeristik di Kampus
Rivanlee menilai cara mendidik dengan pendekatan militeristik dan tindak kekerasan tidak layak digunakan untuk mahasiswa.
tirto.id – Kasus kekerasan kembali terjadi di lingkungan kampus. Gilang Endi Saputra, mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta meninggal dunia saat mengikuti Pendidikan dan Latihan (Diklat) Resimen Mahasiswa (Menwa). Mahasiswa Program Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Sekolah Vokasi itu meregang nyawa saat mengikuti kegiatan tersebut di kawasan Sungai Bengawan Solo, Jurug, Minggu (24/10/2021).
Polda Jawa Tengah menemukan dugaan ada tindak kekerasan saat Diklatsar Menwa UNS. Gilang diduga meninggal karena pukulan di bagian kepala berdasarkan autopsi terhadap jasad korban. Kasus ini kini berada di tahap penyidikan dan polisi masih menanti hasil akhir autopsi jenazah.
“Kami masih menunggu hasil autopsi dari Tim Kedokteran Forensik RS Moewardi,” ujar Kapolresta Surakarta Kombes Pol Ade Safri Simanjuntak, ketika dihubungi Tirto, Rabu (27/10/2021).
Berdasarkan kronologis yang diketahui pihak kampus dari panitia acara, kegiatan ini dimulai pada 23 Oktober. Mulai penyambutan pada pukul 06.00 sampai berakhir pukul 23.00 WIB, berkegiatan di sekitar kampus. Penyambutan para peserta, dilakukan di Markas Menwa. Selanjutnya, kegiatan di gedung olahraga, di musala Fakultas Teknik, kemudian jembatan danau.
Pada hari yang sama Gilang mengatakan bahwa kakinya keram sehingga harus ada pendamping. Bakda subuh, peserta mulai senam senjata, apel pagi, kemudian melakukan kegiatan di luar kampus, tepatnya di Jembatan Jurug. Dilanjutkan dengan rappelling, Gilang pun mengikuti rangkaian kegiatan itu dan kembali ke kampus.
Di kampus, pemuda 21 tahun itu mulai mengeluhkan sakit punggung, akhirnya mendapatkan perawatan dengan alat kompres. Lantas ia mengigau dan mulai tak sadarkan diri. Pukul 21, panitia membawa Gilang ke rumah sakit. Pukul 22.05, di dalam mobil yang mengangkutnya, Gilang tak bernapas lagi. Tiba di rumah sakit, dia dinyatakan meninggal.
Peristiwa Diklatsar Menwa UNS menambah deretan kekerasan di lingkungan kampus yang berujung kematian. Sebelumnya juga pernah terjadi kasus kekerasan saat Diklat Tingkat Dasar Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada 2017.
Tiga peserta meninggal dunia dalam acara yang berlangsung 13-20 Januari 2017 di lereng Gunung Lawu, Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Diksar diikuti 37 peserta terdiri dari 34 laki-laki dan tiga perempuan.
September 2021, kasus kekerasan antar-taruna Politeknik Ilmu Pelayaran (PIP) Semarang juga memakan korban. Zidan Muhammad Faza (21) meninggal dunia setelah dipukul seniornya, Caesar Richardo Bintang Samudra Tampubolon (22).
Kasus berawal ketika motor Zidan hampir menyerempet motor Samudra di pertigaan Jalan Tegalsari Barat. Mereka berhenti dan Samudera menegur dan langsung memukul korban hingga jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Zidan lantas dilarikan ke rumah sakit oleh Rasyid dan Samudra. Namun nyawa Zidan tidak tertolong dan meninggal dunia.
Mengapa kasus kekerasan di kampus hingga meregang nyawa terus terjadi?
Terjadi Pembiaran & Harus Diawasi
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji menilai peristiwa itu terjadi karena adanya pembiaran dan tidak adanya pengawasan dari pihak kampus. Kemudian cara-cara kekerasan masih kerap digunakan dalam Diklat yang dianggap wajar oleh mahasiswa tingkat atas. Padahal, itu merupakan hal yang berbahaya.
“Begitu kejadian ada korban nyawa, baru kebakaran jenggot. Padahal mereka itu tahu, tapi dibiarkan. Ini tentu sembrono, karena akan berdampak fatal sampai nyawa melayang,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).
Menurutnya, agar tidak terjadi peristiwa seperti itu lagi, civitas akademika harus menguatkan paradigma soal pendidikan ramah tanpa kekerasan. “Pengembangan paradigma pendidikan inklusif bagi para pengelola perguruan tinggi dan dosen melalui pelatihan dan pembiasaan,” ucapnya.
Kemudian pengelola perguruan tinggi harus memiliki langkah preventif. Seperti sebelum kegiatan digelar, rektorat mempelajari dan mempertanyakan seluruh rangkaian acara dan aturan selama Diklat guna mencegah terjadinya kekerasan, kata dia.
Jika terjadi kontak fisik seperti kekerasan, maka pihak kampus dapat menghilangkan jenis kegiatan tersebut, atau bahkan sampai tidak diperkenankan menyelenggarakan Diklat.
Lalu pada saat Diklat digelar, perwakilan kampus harus melakukan pengawasan dengan datang ke lokasi demi memastikan tidak terjadinya tindak kekerasan. “Ya, perlu untuk membaca segala risiko dan strategi untuk mitigasi,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar menilai kekerasan di dunia kampus masih terjadi karena dibangun atas nama “pembentukan mental” yang menjadi kultur. Apalagi Menwa merupakan organisasi yang memiliki background militer, sehingga pendidikannya melakukakan pendekatan militeristik.
Menurut dia, cara mendidik dengan pendekatan militeristik dan tindak kekerasan tidak layak digunakan untuk mahasiswa. “Upaya melakukan pembentukan mental tidak bisa ditempatkan melalui fisik semata,” kata Rivanlee kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).
Atas peristiwa itu, kata dia, KontraS mendesak pihak kampus UNS untuk mengusut tuntas dan meminta Kemendikbud me-review kebijakan Menwa di tiap kampus. “Untuk menjamin tidak ada praktik kekerasan, bullying, dan lain-lain,” ucapnya.
Selain itu, perguruan tinggi juga harus melakukan pengawasan dan membuat aturan untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan seperti saat Diklat organisasi mahasiswa.
“Mengingat ada Komcad menjadi ruang baru untuk perekrutan hal serupa demi kepentingan nasional. Hal itu yang perlu diwaspadai,” kata dia.
UNS Klaim Tak Menoleransi dan Tutup Sekret
Direktur Reputasi Akademik dan Kemahasiswaan UNS, Sutanto mengatakan turut berdukacita atas meninggalnya salah satu mahasiswanya itu. Sutanto mengaku merasa sedih dan marah. Dia menyatakan tidak akan memberikan toleransi untuk segala bentuk tindak kekerasan di lingkungan kampus yang dilakukan oleh Menwa.
Seharusnya, kata dia, kampus menjadi tempat yang aman, bukan malah membahayakan mahasiswanya.
“Saat ini kami langsung membuat tim untuk melakukan evaluasi dan investigasi atas kasus tersebut. Adapun proses penegakan hukum sepenuhnya diserahkan kepada kepolisian,” kata Sutanto melalui keterangan tertulis, Rabu (27/10/2021).
Atas peristiwa itu, Susanto memutuskan saat ini pihak kampus telah menutup sekretariat Menwa UNS. “Kami lakukan penutupan dan kunci dibawa oleh pembina,” ucapnya.
Jika nantinya setelah dilakukan pemeriksaan ditemukan ada bukti unsur kelalaian dan kekerasan kepada korban, maka pihak kampus akan bertindak tegas dan memberikan hukuman kepada Menwa.
“Kalau memang itu kelalaian atau bahkan mungkin kesengajaan dan itu dilakukan mungkin secara bersama-sama dan kolektif dalam kelembagaan itu, kenapa tidak kami harus mengambil sikap tegas. Ini urusannya sudah manusia,” kata dia.
Sutanto yang mengatakan UNS bersama kepolisian sudah melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP) di lingkungan kampus dan Jembatan Jurug. Selain itu, sebanyak 21 panitia dalam kegiatan tersebut saat ini sudah dimintai keterangan oleh pihak kepolisian.
“Panitia sejumlah 21 mahasiswa, senior, dan pembina sudah dimintai keterangan. Kami dari UNS sepenuhnya menyerahkan penyidikan ini ke pihak berwenang,” kata dia.
Sementara itu, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UNS, Ahmad Yunus menambahkan bahwa pihak UNS menghentikan sementara semua kegiatan fisik baik di dalam maupun di luar kampus pasca-insiden tersebut. “Termasuk juga Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Itu kan berisiko,” kata dia.
Yunus mengaku pihak UNS bersama kepolisian telah menemui keluarga Gilang pada Senin (25/10/2021). Lalu mendampingi saat autopsi hingga pemakaman.
“UNS menyerahkan hasil simpulan kejadian tersebut secara resmi dari kepolisian. Apakah itu kecelakaan atau ada unsur dugaan kekerasan, kami sepenuhnya menunggu dari pihak kepolisian,” imbuhnya.
Gibran Minta Maaf dan Bilang Peristiwa Itu “Bikin Malu”
Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka menyayangkan insiden tersebut. Gibran pun meminta maaf kepada publik atas terjadinya peristiwa maut itu di daerahnya. Bahkan dia menyatakan peristiwa itu “bikin malu.”
Gibran meminta agar kasus ini bisa diusut tuntas. Sehingga kasus ini bisa diungkap secara transparan. Kemendikbudristek juga mengucapkan bela sungkawa yang mendalam atas meninggalnya mahasiswa UNS saat Diklat Menwa.
Kemendikbudristek melalui Ditjen Diktiristek mengaku telah berkoordinasi intens dengan pimpinan UNS untuk mendukung penyelidikan dari pihak berwajib.
Agar tidak terjadi peristiwa serupa, Kemendikbudristek meminta kepada seluruh kampus agar meningkatkan bimbingan profesional dengan SOP Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang baik untuk setiap kegiatan kemahasiswaan yang mengandung risiko tinggi.
“Kami mengimbau agar semua pihak dapat bersabar menunggu hasil penyelidikan pihak berwajib dan tidak terhasut oleh isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” kata Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang kepada reporter Tirto, Rabu (27/10/2021).
Sebanyak 21 panitia dalam kegiatan tersebut sudah dimintai keterangan oleh pihak kepolisian.
Reporter: Riyan Setiawan Penulis: Riyan Setiawan Editor: Abdul Aziz
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.