JPPI minta pendidikan lebih inklusif guna cegah kekerasan di sekolah

0
23

KBRN, Jakarta: Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) merilis, sebanyak 573 kasus kekerasan terjadi di sekolah sepanjang 2024. Sebanyak 43,9% kasus, pelaku kekerasan dilakukan oleh guru.

Sementara peserta didik sebanyak 13,6%, tenaga kependidikan 2,5%. Lalu kelompok lainnya sebesar 39,8% (petugas keamanan sekolah, orang tua, senior, geng sekolah, hingga masyarakat umum).

Koordinator Program dan Advokasi JPPI Ari Hadianto mengimbau para guru untuk tidak melakukan pendisiplinan siswa dengan kekerasan. “Pasalnya salah satu alasan utama guru melakukan kekerasan terhadap siswa karena untuk mendisiplinkan,” katanya dalam perbincangan dengan RRI Pro3, Sabtu (28/12/2024).

“Para guru harus memahami juga bahwa ada aturan perundangan yang membatasi mereka melakukan kekerasan apapun kepada anak. Ada UU perlundungan anak dan lain sebagainya.”

Dari temuan JPPI, katanya, banyak guru yang belum memahami ada regulasi terkait anti kekerasan terhadap anak. Ujungnyq, sebut dia, guru bisa terjerat pasal-pasal pidana.

“Banyak cara yang bisa dilakukan oleh guru selain menjewer misalnya untuk mendisiplinkan siswa. Guru bisa memberikan siswa tugas menulis kata-kata bijak atau bisa juga membaca kisah nabi dan menceritakan kembali bagaimana nilai-nilai positif dari kisah tersebut,” katanya.

Oleh karena itu, JPPI, tambahnya mendorong agar kementerian atau lembaga terkait memberikan edukasi dan pembekalan kepada para guru.  Edukasi meliputi soal pengetahuan regulasi yang terkait perlindungan anak dan juga bagaimana mendisiplinkan siswa tanpa kekerasan.

Para guru, sebutnya, harus memahami bahwa Ki Hajar Dewantara sudah menanamkan filosofi pendidikan. Di mana Ki Hajar Dewantara memiliki semboyan pendidikan, yaitu “Ing Ngarso Sung Tulada, Ing Madyo Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. 

“Semboyan ini memiliki arti: Ing Ngarso Sung Tulada: Artinya, di depan menjadi contoh atau panutan. Ing Madyo Mangun Karsa: Artinya, di tengah membangun motivasi.  Tut Wuri Handayani: Artinya, di belakang memberikan dorongan semangat,” katanya.

Sementara itu, Kordinator JPPI Ubaid Matraji mengatakan guru juga korbam kekerasan di lingkungan sekolah. kerap menjadi pelaku kekerasan di sekolah. Ia menyebutkan bahwa kasus guru menjadi korban kekerasan mencapai 10,2%. 

Beberapa contoh kasus adalah guru diketapel oleh murid, dipukul oleh orang tua siswa, hingga menjadi korban kriminalisasi. Hal ini, katanya, juga harus menjadi perhatian serius.

Sebelumnya, Kementrian Pendidkan telah membentuk satuan tugas (satgas) penanggulangan kekerasan di tingkat provinsi, kabupaten, kota, hingga sekolah. Namun, efektivitas satgas ini masih dipertanyakan.

Data JPPI menunjukkan bahwa banyak orang tua tidak mengetahui keberadaan satgas di sekolah anak mereka. Selain itu, dari laporan yang masuk ke satgas, 83% masyarakat merasa tidak puas dengan penanganan kasus kekerasan di sekolah.

27 Desember 2024 11:45 WIB

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji (kedua kanan) dalam kegiatan diskusi publik terkait kekerasan di satuan pendidikan, yang digelar di Jakarta, Jumat (27/12/2024). ANTARA/Sean Filo Muhamad/pri.

Jakarta (ANTARA) – Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) meminta kepada pemerintah dan pemangku kepentingan terkait untuk mewujudkan pendidikan yang lebih inklusif guna mencegah berbagai bentuk kekerasan yang ada di sekolah.

Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji ditemui di Jakarta, Jumat, menjelaskan dalam upaya pencegahan kekerasan di sekolah, kolaborasi antara berbagai pihak sangat penting, dimana hal ini diawali dengan dorongan political will dari pemerintah, mulai dari pusat hingga ke dinas-dinas pendidikan.

“Ada pemerintah pusat, madrasah, pesantren, Kementerian Agama, serta Kementerian Pendidikan yang harus bekerja sama. Ini harus menjadi bagian dari agenda nasional,” katanya.

Ubaid menegaskan pentingnya peran dinas-dinas yang selama ini dinilai kurang paham mengenai penanggulangan kekerasan.

Menurutnya, meskipun Satuan Tugas (Satgas) dan Tim Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan (TPPK) sudah dibentuk, banyak diantaranya yang belum dilatih atau didampingi secara memadai. Akibatnya, meskipun sudah ada kebijakan, implementasi di lapangan sering kali terhambat.

“Setelah di-SK-kan, masalah selesai begitu saja. Padahal, jika tidak ada political will yang kuat, masalah ini tidak akan pernah selesai,” tegasnya.

Ubaid menilai penting untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai bentuk kekerasan, seperti perundungan, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif.

Menurutnya, hal ini diperlukan agar semua pihak, mulai dari satgas hingga orang tua, memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kekerasan.

Dengan melibatkan berbagai pihak, seperti komite sekolah dan organisasi siswa, Ubaid meyakini pengelolaan pendidikan bisa menjadi lebih terbuka dan inklusif.

“Orang tua harus dilibatkan, begitu juga dengan masyarakat dan kepala sekolah. Ini bukan hanya urusan dinas pendidikan, tapi merupakan tugas bersama,” ujarnya.

Ubaid mengingatkan bahwa pendidikan di Indonesia harus dikelola secara partisipatif. Hal ini penting agar tidak hanya kepala sekolah yang bertanggung jawab penuh terhadap sekolah, tetapi juga melibatkan komite sekolah, orang tua, serta masyarakat sekitar.

Ia menyarankan agar seluruh pemangku kepentingan di dunia pendidikan lebih terbuka terhadap partisipasi masyarakat, termasuk orang tua. Ia menekankan bahwa peran orang tua dalam pendidikan anak-anak mereka sangat penting dan sudah diatur dalam Undang-Undang.

“Sekolah negeri adalah aset publik. Jadi, segala kebijakan yang diambil di sekolah harus melibatkan berbagai pihak, bukan hanya kepala sekolah dan dinas pendidikan,” tutur Ubaid Matraji.

https://m.antaranews.com/amp/berita/4551478/jppi-minta-pendidikan-lebih-inklusif-guna-cegah-kekerasan-di-sekolah.

 

Comments are closed.