Bibit Radikalisme Muncul dari Pola Pendidikan Ekstrem

0
530

SEMARANG — Sejumlah sekolah-sekolah swasta Islam di dua kota yakni di Semarang dan Solo masih memiliki pola pendidikan yang berpotensi memunculkan bibit-bibit radikalisme. Sekolah tersebut biasanya cenderung tertutup dan tidak bisa menerima masukan dari pihak lain. Hal itu terungkap dalam simposium internasional bertajuk Preventing Extremism Through Schools di ruang Rektorat Kampu UIN Walisongo, Semarang, Rabu (21/2). Simposium tersebut memaparkan hasil riset hasil kerja sama antara UIN Walisongo, UGM dan Monash University Melbourne.

Menurut Wakil Rektor II UIN Walisongo, Prof Imam Taufiq, yang juga menjadi salah satu periset, penelitian dilakukan di 20 sekolah Islam swasta setingkat SMP dan SMA di Semarang dan Solo. Penelitian antara lain dilakukan dengan wawancara dan mendatangi langsung ke semua sekolah yang menjadi objek. “Penelitian ini lebih kepada pola pendidikan terkait pengkotak-kotakan berbasis agama,” jelasnya.

Imam mengungkapkan latar belakang penelitian ini antara lain masih adanya radikalisme dan teror yang banyak dilakukan oleh anak-anak muda. Kemudian, masih banyak anak muda yang belum bisa menerima keberadaan agama lain di lingkungannya. “Karena lebih meneliti pada pola, maka kami menggunakan analisis dari teori Davies (2008) untuk mengetahui gap tentang keyakinan yang terjadi di masing-masing sekolah sampel,” tambahnya.

Imam menyebutkan hasil riset antara lain menunjukkan bahwa ada sekolah yang tertutup sama sekali untuk menerima masukan apa pun dari luar. Mereka meyakini bahwa paham mereka yang paling benar. “Meski sekolah tersebut cukup modern dari sisi fasilitas dan infrastrukturnya namun mereka tetap tidak bisa menerima perbedaan. Pimpinan di sekolah tersebut menyampaikan pengajaran apa yang mereka yakini adalah yang paling benar,” jelasnya.

Imam tidak menyebut jumlah dan lokasi sekolah tersebut. Namun, ditegaskannya, hal tersebut menjadi fakta yang ditemukan di lapangan.

Kemudian, sambung dia, yang cukup menggembirakan bagi perkembangan toleransi di Tanah Air adalah, ada beberapa sekolah yang memilih terbuka terhadap paham lain. Sekolah ini juga lebih moderat dan dapat menerima perbedaan pandangan dalam proses belajar mengajar. “Demikian pula, siswa dan gurunya. Mereka cenderung mau memahami perbedaan sebagai bagian dari kehidupan,” ujarnya.

Di sekolah swasta Islam yang moderat ini, sambung Imam, sekolah juga tak hanya mengajarkan tentang ilmu agama, tetapi juga memasukkan ilmu umum. “Siswa laki-laki dan perempuan juga boleh dalam satu kelas. Demikian pula, gurunya tak harus berasal dari sekolah atau perguruan tinggi berbasis Islam,” tambahnya.

Yang menarik, jelas Imam, ada juga sekolah yang Islam swasta yang cukup maju dan memiliki jaringan internasional. Namun, sekolah ini tertutup bagi pihak lain yang tidak sepaham. “Termasuk guru-gurunya, harus berasal dari jaringan tersebut. Pusatnya ada di kawasan Timur Tengah,” tandasnya. Dari penelitian ini, Imam menyatakan, pihaknya merekomendasikan agar hasil ini menjadikan masukan bagi stakeholder terkait khususnya dalam hal pendidikan. Sebab, jika dibiarkan dikhawatirkan akan muncul bibit-bibit intoleransi. “Perlu fasilitasi pada sekolah-sekolah yang bisa dikatakan ekstrem agar membuka pintu dialog. Selain itu, perlu juga diberikan pemahaman bahwa mempelajari Islam tidak hanya secara teks tetapi mesti kontekstual,” tandasnya.

Leave a reply