
Siswa belajar sendiri di SD filial Dusun Kerpang cabang dari SDN 8 Curah Tatal, Arjasa, Situbondo, Jawa Timur, Kamis (8/8/2019). | Seno /AntaraFoto
Setelah murid kena zonasi, guru akan ikut dirotasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bakal menerapkan sistem rotasi guru mulai tahun ajaran 2020.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan sistem ini dibuat untuk mendukung program zonasi penerimaan siswa yang sudah berjalan sejak 2 tahun belakangan.
Di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (14/8/2019), Muhadjir menjelaskan tujuan dari sistem ini adalah agar tidak lagi terjadi penumpukan sekolah—baik berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun honorer—di sekolah.
“Ada sekolah yang gurunya tidak ada yang PNS sama sekali, kecuali kepala sekolahnya. Ini tidak boleh terjadi,” kata Muhadjir.
Sistem rotasi bakal berbasis zonasi. Dengan kata lain, wewenang rotasi akan dilempar ke daerah. “Jadi sekali lagi, rotasinya hanya di zona saja. Tidak perlu antardaerah apalagi provinsi, jadi guru-guru jangan resah,” ujarnya.
Dalam rancangannya, setiap guru bakal dirotasi setiap satu tahun sekali, dengan maksimal pengalaman mengajar enam tahun.
“Itu nanti akan kita kunci dengan aplikasi di Kementerian Pendidikan. Jadi, mereka yang sudah waktunya dirotasi nanti ada tandanya. Lalu kita beri tahu daerah untuk segera ada kebijakan rotasi,” katanya.
Gambaran kasarnya seperti ini, untuk guru sekolah dasar (SD) yang memulai kariernya di kelas 1, pada tahun berikutnya akan dipindah ke kelas 2.
Setelah sampai di kelas 6, guru tersebut baru akan dirotasi. Dari sistem ini, Muhadjir berharap setiap guru mengantarkan anak didiknya dari tingkat 1 sampai selesai.
“Kalau kurang dari itu, kasihan anak-anak kepotong. Tapi ini masih gagasan mentah lho, masih kita rancang,” kata Muhadjir.
Uji coba rotasi guru, klaim Muhadjir, sudah mulai dilakukan di beberapa daerah, salah satunya Solo, Jawa Tengah. Namun resminya aturan berlaku masih menunggu peraturan menteri pendidikan yang akan dirilis secepatnya pada tahun depan.
“Ini sudah jalan, tapi daerah kita percayakan untuk melakukan rotasi sebelum ada aturan kita bikin. InsyaAllah, mudah-mudahan tahun depan sudah ada peraturan yang baku,” tuturnya.
Terkait dengan pemerataan kualitas guru, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengupayakan mulai tahun depan, dana alokasi umum (DAU) untuk pendidikan akan dikhususkan untuk menjamin kesejahteraan guru, termasuk yang berstatus honorer.
Usulan ini diklaim sudah mendapatkan respons positif dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Nantinya guru-guru yang belum bisa diangkat menjadi ASN, baik PNS ataupun PPPK, bisa tetap mendapatkan tunjangan atau honorarium yang bersumber dari DAU.
“Jumlahnya kalau kita usulkan paling tidak setara dengan UMR di masing-masing daerah,” kata Muhadjir.
Adapun besaran DAU untuk tahun ini mencapai Rp154 miliar (per daerah otonom; provinsi/kabupaten/kota), dan dipastikan akan naik pada tahun mendatang.
Kebijakan pemberian tunjangan sesuai upah minimum regional (UMR) ini disambut positif, namun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tetap diminta agar memperhatikan persoalan utama yang dialami guru honorer.
Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubadi Matraji menegaskan, para guru honorer juga membutuhkan kepastian terkait status mereka.
Meski sudah dijanjikan mendapatkan gaji sesuai UMR, namun pekerjaan mereka masih terancam lantaran sewaktu-waktu bisa diputus kontraknya.
“Selama ini kebijakan pemerintah hanya untuk ngadem-ngademin masalah saja. Tidak menyelesaikan masalah. Hidup mereka bergantung dengan status honorer yang kapan pun bisa diberhentikan,” kata Ubaid.
Data Pokok Pendidikan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (per November 2018) menunjukkan, jumlah guru honorer–semua golongan–saat ini mencapai 728.461 orang.
Sementara itu, jumlah guru dan tenaga pendidikan sebesar 3.357.935 orang. Mencakup PAUD hingga tingkat SMA. Hanya 47,87 persen dari total guru dan tenaga pendidikan tersebut sudah diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.
Muhadjir, di sisi lain menjanjikan, pihaknya akan mengupayakan seluruh tenaga honorer yang ada untuk naik tingkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Jadi sebetulnya, yang penting jangan lagi ada moratorium. Jangan lagi ada pengangkatan guru honorer oleh kepala sekolah. Biarlah pemerintah sekarang selesaikan guru honorer yang ada,” kata Muhadjir.
Jika proses pembenahan tenaga pendidik ini sukses dilaksanakan, ke depannya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perekrutan yang merujuk pada jumlah pensiun pada tiap tahunnya.
Per 2018, jumlah tenaga pendidik (bersertifikat) yang tercatat pensiun mencapai sekitar 42 ribu orang, sementara pada 2019 diprediksi sekitar 52 ribu orang.
Untuk selanjutnya, sistem perekrutan akan diutamakan untuk tiga hal, pertama mengganti tenaga yang sudah pensiun, kedua mengganti yang mengundurkan diri, dan ketiga, meninggal dunia. Namun, selama proses peralihan guru honorer belum rampung, mekanisme perekrutan juga akan mengakomodasi tenaga keempat ini.
“Menghitung jumlah pensiun lebih mudah. Karena itu, guru itu tidak boleh ada moratorium, setiap tahun harus ada pengangkatan,” tukasnya.
Leave a reply
Anda harus masuk untuk berkomentar.