Polemik Kaji Ulang Ujian Nasional Jangan Sampai Rugikan Siswa
JPPI menilai pemerintah harus mempertimbangkan apa urgensi dan tujuan mengaktifkan kembali mekanisme UN.
Komisi X DPR RI meminta Menteri Dikdasmen, Abdul Mu’ti, meninjau kembali pengaktifan pelaksanaan UN yang dihapus di masa Menteri Nadiem Makarim. Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, menilai UN mampu membangkitkan semangat belajar siswa. Namun, ia menyampaikan bahwa pemerintah harus mengkaji ulang apakah nilai UN menjadi penentu kelulusan siswa atau tidak, dalam pelaksanaannya nanti.
Jika UN digunakan sebagai penentu siswa lulus ke jenjang pendidikan berikutnya, maka ini dinilai Ubaid sebagai bentuk diskriminasi pemerintah. UN jelas menjadi praktik evaluasi yang tidak berkeadilan dan dapat mengorbankan masa depan siswa.
Ubaid mengingatkan, banyak anak yang tidak memiliki kesempatan sama dan setara dalam akses pendidikan. Wacana mengembalikan UN harus dikaji serius oleh pemerintah, bukan sekadar mengganti sampul belaka.
“UN versi dulu itu jelas menimbulkan stres dan diskriminasi, bahkan banyak diwarnai praktik koruptif dan manipulatif. Jadi sudah tidak relevan dengan keragaman Indonesia dan tuntutan pendidikan hari ini,” terang Ubaid.
Evaluasi dalam pendidikan jangan hanya menyasar siswa sekolah. Namun harus dilakukan secara holistik yang meliputi evaluasi terhadap guru, pimpinan, ekosistem, perlindungan siswa, transparansi dan akuntabilitas sekolah. Ubaid menilai semua aspek tersebut harus dievaluasi sebab menjadi faktor penting terkait kualitas pendidikan.
“Semangat belajar muncul karena kesadaran, bukan karena takut akan ujian. Jadi evaluasi bisa diterapkan secara fleksibel dan kapan saja bisa dilakukan, sesuai kebutuhan siswa dan guru,” ujar Ubaid.
Menengok ke belakang, UN memang sudah bertransformasi berkali-kali di Indonesia. Ujian Nasional atau UN merupakan sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan secara nasional. UN diselenggarakan untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan peserta didik pada jenjang satuan pendidikan sebagai hasil dari proses pembelajaran sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Mulanya ujian akhir sekolah bersifat nasional dinamakan Ujian Penghabisan (1950-1964). Soal-soal Ujian Penghabisan kala itu dibuat oleh Departemen Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Lalu pada periode 1965-1971 berubah nama menjadi Ujian Negara. Ujian Negara dilakukan untuk menentukan kelulusan, sehingga siswa dapat lanjut pendidikan ke sekolah negeri atau perguruan tinggi negeri apabila telah lulus. Sedangkan bagi yang tidak lulus tetap memperoleh ijazah dan dapat melanjutkan ke sekolah atau perguruan tinggi swasta.
Selanjutnya, ada sistem Ujian Sekolah (1972-1979) yang menentukan peserta didik tamat atau telah menyelesaikan program belajar pada satuan pendidikan. Seluruh bahan ujian disiapkan oleh sekolah atau kelompok sekolah. Kemudian istilahnya berganti lagi menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional atau Ebtanas (untuk mata pelajaran pokok) dan Ebta (untuk mata pelajaran non-Ebtanas) pada periode 1980-2002. Tujuan dari Ebtanas dan Ebta adalah untuk memperoleh Surat Tanda Tamat Belajar (STTB).
Sebelum berubah nama jadi Ujian Nasional (UN) seperti yang kita kenal saat ini, ujian akhir sekolah ini juga sempat dinamakan Ujian Akhir Nasional (UAN) pada periode 2003-2004. Barulah ujian akhir sekolah ini dinamakan Ujian Nasional (UN), yang dalam pelaksanaannya berkali-kali menuai kritik sebelum resmi dihapus pada 2021.
Wacana mengakaji ulang penerapan UN juga mendapat sorotan dari para guru. Apalagi jika UN yang diterapkan merupakan penentu kelulusan siswa sebagaimana praktik terdahulu. Mereka menilai sistem UN seperti itu diskriminatif dan justru membebani psikologis siswa.
Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai wacana mengembalikan UN memang harus dikaji mendalam. Pemerintah harus bisa menjelaskan kepada masyarakat, UN seperti apa yang ingin diterapkan kembali pada siswa.
“Kalau menentukan kelulusan siswa itu punya banyak persoalan. Ada kebocoran soal, manipulasi nilai, siswa juga ada depresi, bunuh diri,” kata Iman kepada reporter Tirto, Jumat.
Iman menilai, bagaimana bisa hasil mengenyam pendidikan enam tahun di sekolah dasar hanya ditentukan nasibnya oleh tiga hari pelaksanaan ujian. Termasuk tiga tahun sekolah di satuan pendidikan menengah, yang terlihat akan sia-sia jika kelulusan hanya ditentukan UN.
Hal ini merupakan ketidakadilan yang membenani para siswa. Belum lagi, kata Iman, kondisi pendidikan Indonesia yang beragam antara pemerintah pusat dan daerah yang masih ada bentuk kesenjangan.
“Di kota bisa bimbel dulu sebelum UN, di daerah belum tentu,” ucap Iman.
Menurut Iman, mekanisme evaluasi saat ini yang menggunakan sistem Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) sudah cukup baik. ANBK diterapkan setelah UN dihapus pada 2021. Kendati demikian, ANBK tidak bisa disamakan dengan UN karena tidak dilakukan di masa akhir sekolah dan tidak diikuti oleh seluruh siswa di sekolah.
ANBK terdiri atas tiga instrumen, yakni: Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Peserta ANBK dipilih secara acak oleh kementerian pendidikan untuk masing-masing satuan jenjang pendidikan. ANBK hanya diselenggarakan terhadap siswa kelas 5 SD/MI, 8 SMP/MTs, dan 11 SMA/MA/SMK.
Iman lebih setuju jika pemerintah mengevaluasi dan memperkuat mekanisme ANBK. Jika kembali menerapkan UN sebagai penentu kelulusan siswa seperti dulu, justru lebih banyak sisi negatif yang akan dirasakan siswa.
Siswa tidak akan mendapatkan motivasi belajar karena UN justru memantik kepanikan massal. Semangat belajar ditekan karena hanya ingin lulus dari ujian dan melanggengkan metode menghafal ketimbang memahami materi pelajaran.
Ihwal wacana UN diaktifkan kembali, Anggota Komisi X Fraksi PDIP, Bonnie Triyana, menyinggung kesenjangan mutu materi pendidikan antara di kota dan pelosok. Menurut Bonnie, terkadang materi pendidikan di pelosok daerah tertinggal dibandingkan di kota.
Dia meminta Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, perlu memperbaiki insfratruktur pendidikan dan mutu pendidikan yang merata bila ingin kembali mengaktifkan UN. Menurutnya, tak bisa disamaratakan ketika pemerintah mengambil suatu kebijakan termasuk wacana pengaktifan UN.
“Sehingga ketika UN diberlakukan tingkat kelulusannya pun tinggi. Saya pikir catatan itu diperhatikan juga pemerintah,” kata Bonnie.
Sementara itu, Presidium Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Fahmi Hatib, menegaskan pihaknya menolak pengaktifan kembali UN. Fahmi mengharapkan pemerintah lebih urgen mengkaji pelaksanaan ANBK yang dinilai sudah menjadi sistem evaluasi yang baik.
Dengan ANBK, kata dia, pemetaan kualitas pendidikan dapat terukur dengan tepat. Hanya, perlu pembenahan instrumen pelaksanaan dan pertanyaan dalam soal-soal ANBK.
“Nah ini sudah pas tapi perlu ditingkatkan,” ucap Fahmi kepada reporter Tirto.
Ia menilai, UN hanya akan membuat siswa semakin stres karena cenderung ketakutan tidak lulus sekolah. Efek negatif itu akan menganggu pola belajar siswa dan memantik ekses buruk yang tidak diinginkan. Evaluasi belajar siswa, kata Fahmi, cukup dilakukan lewat ujian sekolah yang penerapannya disesuaikan dengan sekolah masing-masing.
“UN tidak perlu ditumbuhkan kembali, cukup evaluasi ANBK siswa dan sekolah untuk kinerja pendidikan,” tegas dia.
Diwartakan sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, memastikan bahwa pemerintah masih menggodok wacana mengembalikan UN. Pemerintah sendiri belum final memutuskan wacana tersebut. Mu’ti mengungkapkan, kementeriannya perlu melakukan kajian mendalam terkait wacana ini.
“Kita masih mengkaji UN itu dan akan melakukan diskusi dengan para peneliti serta pengambil kebijakan terkait. Jadi, masih kita evaluasi, dan keputusannya nanti setelah evaluasi selesai,” kata dia seusai melakukan rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Rabu (6/11/2024).