Anggaran sekolah kedinasan kelewat besar dan timpang ketimbang alokasi dana pendidikan formal lainnya. Alih-alih memperbesar alokasi untuk pendidikan yang jadi hajat lebih banyak orang, pemerintah memilih menganggarkan dana besar untuk pendidikan yang dinikmati segelintir masyarakat saja.

Anggota Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng, sempat menyinggung persoalan ini dalam rapat kerja dengan Menteri Keuangan, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, Gubernur Bank Indonesia (BI) dan Ketua Dewan Komisaris Otoritas Jasa Keuangan (OJK), di Jakarta, Kamis (3/7/2025).

Ia menyoroti soal pendidikan yang belum berkeadilan. Hal ini berdasar jabaran alokasi dana pendidikan. Mekeng menjabarkan anggaran pendidikan kedinasan sebesar Rp104,5 triliun atau setara 39 persen dari anggaran pendidikan di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), hanya dinikmati oleh 13 ribu orang.

Sementara untuk pendidikan formal lainnya, dari mulai tingkat dasar, menengah hingga pendidikan tinggi hanya mendapatkan anggaran Rp91,2 triliun per tahun, atau 22 persen dari dana alokasi APBN. Padahal, jumlah siswa yang mendapatkannya 62 juta siswa, 4.769 kali lebih banyak.

“Pendidikan dasar sampai menengah itu Rp 33,5 triliun. Pendidikan tinggi Rp 57,7 triliun. Totalnya Rp 91,2 triliun. Berapa orang yang menikmati? Kurang lebih 62 juta siswa. Sementara pendidikan kedinasan Rp 104,5 triliun. Siapa yang menikmati? Hanya 13.000 orang. 13.000 orang memakai anggaran 104,5 triliun. Ini yang saya sampaikan dari tadi itu pendidikan yang berkeadilan,” kata Mekeng di forum itu.

Padahal, anggaran pendidikan terus meningkat setiap tahun, tapi tidak dirasakan oleh seluruh rakyat. Pada tahun 2020 misalnya, anggaran pendidikan tercatat sebesar Rp547,9 triliun, lalu lima tahun setelahnya, tahun 2025, menyentuh Rp724,2 triliun.

“Jadi kalau yang kedinasan-kedinasan sudah S1 itu dikecilin aja dulu (anggarannya) deh. Kasih yang di bawah-bawah ini supaya tahun 2035-2045, kita bisa mencapai Indonesia Emas dan bukan Indonesia Cemas,” tambah dia.

Rencana renovasi 10.440 sekolah di tahun 2025

Mekeng turut mengungkit perihal anggaran untuk sekolah kedinasan. Hal ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.

Dalam Pasal 80 Ayat 2 aturan itu diterangkan, anggaran pendidikan kedinasan tidak boleh menggunakan anggaran pendidikan yang berasal dari APBN, tetapi menggunakan anggaran yang telah dialokasikan oleh APBN lewat kementerian atau lembaga terkait.

“Jadi ini sudah jelas pegangannya. Anggaran Undang-undang Dasar 45-nya jelas, Undang-Undang Sisdiknasnya jelas, Undang-undang keuangan negaranya jelas. Tinggal sekarang hati daripada bapak-bapak dan ibu menteri pemegang kekuasaan ini. Mau tidak merubah ini,” kata Mekeng.

Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sudah menyebut bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.

Lalu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional/Sisdiknas pasal 49 ayat (1) memuat soal dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan yang dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.

“Terus yang lebih gak adil lagi, kedinasan yang cuman 13 ribu orang, pakai Rp104 triliun. Lebih besar yang pakai cuman 13 ribu orang. Sementara 62 juta dari SD sampai perguruan tinggi hanya Rp91 triliun, ini tidak adil,” ujar Anggota Komisi XI DPR RI, Mekeng, dalam rapat kerja, Kamis (3/7/2025).

Abai Hak Anak Atas Pendidikan

Atas pemaparan tersebut, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menegaskan bahwa anggaran pendidikan kedinasan tidak masuk ke dalam anggaran pendidikan senilai Rp724,2 triliun, alias masuk dalam anggaran kementerian terkait.

“Mengenai anggaran pendidikan secara total, saya ingin sampaikan seperti yang tadi bapak sampaikan, seperti dalam PP 48/2008, anggaran pendidikan kedinasan tidak termasuk ke dalam anggaran pendidikan. Jadi, 700 tadi itu tidak termasuk anggaran kedinasan, tidak termasuk dalam perhitungan 20 persen,” begitu terangnya.

Meski begitu, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyangsikan hal itu. Sebab sudah ada temuan lama mengenai penggunaan anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasaan, dan bahkan program Makan Bergizi Gratis (MBG).

“Sri Mulyani harus jujur lah. Temuan anggaran sekolah kedinasan yang menggunakan dana pendidikan ini sudah jadi temuan lama. Bahkan pernah menjadi temuan panja pembiayaan pendidikan di Komisi X (DPR RI). Jangan bohongi rakyat lah. Jujur saja. Bahkan, tidak hanya sekolah kedinasan, program MBG juga menggosob anggaran pendidikan sekitar 56 triliun,” kata Ubaid saat dihubungi Tirto, Kamis (24/7/2025).

Sekolah Kedinasan Pertanahan SPTB 2024

Sekolah Kedinasan Pertanahan SPTB 2024. (FOTO/stpn.ac.id)Laporan ICW mengatakan, anggaran pendidikan sebanyak Rp722,6 triliun dalam APBN 2025. Hampir 10 persen atau setara dengan Rp71 triliun anggaran pendidikan itu dialokasikan untuk realisasi MBG tahun ini.

Jumlah anggaran untuk MBG itu bahkan lebih besar daripada alokasi dana pendidikan yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Seperti diungkap Mekeng, Kementerian itu hanya mendapat 4,9 persen atau sebesar Rp35,49 triliun.

Ombudsman Indonesia juga sebelumnya sempat membeberkan sejumlah catatan hasil pengawasan terhadap pelaksanaan program MBG. Salah satunya terkait kebijakan anggaran yang tak memadai.

“Ini bukti bahwa pemerintah abai dalam perlindungan hak anak atas pendidikan. Pemerintah juga tidak peduli dengan jutaan anak Indonesia yang belum bisa menikmati bangku sekolah dasar,” lanjut Ubaid.

Merujuk pada laporan Statistik Pendidikan 2024 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pendidikan penduduk Indonesia didominasi oleh pendidikan menengah. Sebanyak 63,84 persen penduduk usia 15 tahun ke atas tamatan SMP sederajat ke atas, dengan rincian 22,79 persen tamatan SMP sederajat, 30,85 persen tamatan SMA/SMK sederajat serta 10,20 persen tamatan perguruan tinggi.

 

Meski demikian, masih ada sekira 2,88 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah. Menurut BPS, ketimpangan capaian pendidikan yang ditamatkan juga terjadi berdasarkan karakteristik klasifikasi tempat tinggal, alias antara perdesaan dan perkotaan.

Di perkotaan, persentase penduduk usia 15 tahun ke atas yang berpendidikan tamatan SMA/SMK sederajat ke atas ada sekitar 50,24 persen. Sementara itu, penduduk di perdesaan didominasi oleh tamatan SD sederajat ke bawah (48,21 persen).

“Kita harus balik patuh pada UUD 45. Sekolah tanpa dipungut biaya. Lalu biaya dialokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD. Ini tidak hanya cukup tapi berlebih,” kata Ubaid.

Persoalan Akses Pendidikan Tinggi

Belum optimal dan tidak tepatnya anggaran pendidikan memang berdampak terhadap pemerataan akses. Apalagi, tamatan perguruan tinggi di Indonesia juga masih sangat minim. Kepala Bidang Litbang Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, mengatakan masalah kita adalah akses pendidikan tinggi yang murah, berkualitas, dan bermutu.

“Kan biasanya dari kementerian-kementerian itu mengatakan bahwa ini kan keilmuan khusus, bidangnya. Sehingga seakan-akan prodi itu double gitu, sebenarnya sudah ada di prodi yang di PTN biasa, di PTN Kemdiktisaintek, tapi ada juga yang double gitu. Jadi memang dalil-dalil seperti ini masih terjadi”, kata Feriyansyah mengomentari alasan anggaran jumbo pendidikan kedinasan.

FOTO HL Pendidikan Tinggi

Ilustrasi Wisuda. FOTO/istockMeski sudah ada beberapa opsi beasiswa, menurutnya, polemik kita tetap pada mekanisme pendidikan berkeadilan. Belum lagi masalah pengembangan karir dosen dan Tri Dharma pendidikan tinggi yang belum terpenuhi.

“Kedinasan sebenarnya kan outcome-nya itu kan adalah mereka direkrut menjadi ASN. ASN tenaga terlatih di kementerian, seperti itu. Nah itu yang membuat mereka itu harusnya ya diarahkan ke kedinasan sehingga sesuai dengan kultur kerja dan sebagainya. Tapi kan mekanisme perekrutan ASN sekarang kan terbuka, akuntabel dan setara gitu. Akhirnya kan menjadi kendala kalau memang kebutuhannya ASN,” lanjut Feriyansyah lewat telepon, Kamis (24/7/2025).

Akses terhadap pendidikan tinggi yang nyatanya masih eksklusif dan tidak merata kepada masyarakat kelas menengah ke bawah ini harus menjadi sorotan. Tanpa ada dukungan lewat sistem, termasuk anggaran, pendidikan berkeadilan bakal jadi narasi yang terus timbul-tenggelam.