JPPI Kecam Kebijakan Cabut KJP Pelaku Tawuran: Kalau Mereka Putus Sekolah Gimana Nasibnya?

0
189

TRIBUNJAKARTA.COM, MENTENG – Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengecam kebijakan Penjabat (Pj) Gubernur DKI Heru Budi Hartono yang mencabut Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus pelajar yang ketahuan ikut tawuran.

Menurutnya, pencabutan KJP Plus ini justru akan menimbulkan masalah baru di ibu kota.

Sebab, para pelajar yang menerima KJP Plus berasal dari keluarga kurang mampu.

“Kalau KJP dicabut, lalu anak yang tawuran enggak sekolah, gimana nasib mereka? Yang tawuran itu banyak loh,” ucapnya saat menjadi pembicara dalam forum diskusi bertajuk Catatan Akhir Tahun Bidang Pendidikan di DKI Jakarta yang digelar di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (31/12/2023).

“Kalau semuanya dicabut, nanti mereka akan menjadi masalah. Makanya kami enggak setuju JP dicabut,” sambungnya.

Ubaid menyebut, aksi tawuran antar pelajar yang terjadi di DKI Jakarta terus mengalami tren peningkatan dalam beberapa tahun terakhir.

Bahkan, tawuran menyumbang 59 persen angka kekerasan pada anak yang terjadi di ibu kota sepanjang 2023 ini.

Maraknya aksi tawuran ini dinilai sebagai buah dari kurangnya keseriusan sekolah-sekolah di Jakarta dalam melakukan pembinaan terhadap para murid.

“Sehingga muncul pola dan tren kalau enggak gabung geng tertentu nanti jadi korban bullying. Makanya mereka gabung geng lalu tawuran. Ini sudah menjadi tren dan terjadi di banyak sekolah,” ujarnya.

Selain itu, ia juga menyebut, maraknya aksi tawuran timbul akibat tidak adanya ketegasan dalam penegakan aturan.

Sehingga, kekerasan di lingkungan sekolah seolah sudah menjadi sebuah budaya.

“Tawuran di DKI bukan hanya kasus 2023, ini sudah lama. Karena apa? Karena kekerasan didukung sistem yang secara sistemik merupakan bagian dari pembiaran,” tuturnya.

Terakhir, Ubaid juga menyinggung soal cara pandang guru dan para tenaga pengajar yang masih melihat kekerasan sebagai upaya paling efektif untuk mendisiplinkan peserta didik.

“Kenapa pelaku banyak guru? Karena masih ada cara pandang kekerasan sebagai cara efektif untuk melakukan pendisiplinan,” kata dia.

Untuk mencegah aksi tawuran ataupun maraknya kasus kekerasan pada anak, Ubaid minta Pemprov DKI membentuk suatu instrumen untuk melakukan pengawasan.

Instrumen berupa satuan tugas (Satgas) anti kekerasan itu pun disebut Ubaid, harus melihatkan semua unsur, baik itu guru, orang tua murid, maupun murid.

“Kenapa pelaku banyak guru? Karena masih ada cara pandang kekerasan sebagai cara efektif untuk melakukan pendisiplinan,” kata dia.

Untuk mencegah aksi tawuran ataupun maraknya kasus kekerasan pada anak, Ubaid minta Pemprov DKI membentuk suatu instrumen untuk melakukan pengawasan.

Instrumen berupa satuan tugas (Satgas) anti kekerasan itu pun disebut Ubaid, harus melihatkan semua unsur, baik itu guru, orang tua murid, maupun murid.

“Harus ada instrumen kelembagaan yang bisa mengawasi dari level provinsi hingga satuan pendidikan dan harus melibatkan semua,” ucapnya.

“Karena kalau satgas hanya orang dinas atau guru semua yang ada ya enggak akan ada perubahan,” tambahnya menjelaskan.

Terakhir, Ubaid juga minta komitmen Pemprov DKI dalam bentuk pendanaan untuk memberikan dukungan kepada korban kekerasan.

Karena tak jarang korban enggak melapor karena tak adanya jaminan keselamatan yang diberikan pemerintah.

Korban justru acap kali mendapat intimidasi pihak-pihak tertentu supaya kasus kekerasan tidak diungkap.

“Penting untuk dilaksanakan di 2024 itu terkait perbaikan kelembagaan, kolaborasi, dan komitmen penganggaran,” ujarnya.

Sumber: TribunJakarta.com

Comments are closed.