
Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, JPPI Sorot 3 Problem Pendidikan
Jakarta – Pemerintahan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah masuk satu tahun. Satu tahun perjalanan duet pemimpin ini menjadi momentum penting untuk menakar arah kebijakan dan capaian kinerja di berbagai sektor.
Tak hanya dari sisi politik dan ekonomi, sektor pendidikan juga menjadi sorotan utama para pengamat dan praktisi. Salah satu sorotan datang dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI). Ada tiga hal yang digarisbawahi oleh JPPI.
1. Makan Bergizi Gratis (MBG) dari Anggaran Pendidikan
Berdasarkan perhitungan JPPI, anggaran pendidikan hanya tersisa 14% dari total APBN 2026. Sedangkan berdasarkan amanat konstitusi minimal adalah 20%.
JPPI menilai hal ini sebagai pelanggaran serius terhadap ayat 4 Pasal 31 UUD 1945. Pihaknya juga menyorot pemangkasan jatah anggaran pendidikan untuk MBG telah dilakukan pada 2025.
“Ironisnya, meskipun serapannya buruk, bukannya dievaluasi dan dikurangi jatahnya, pemerintah justru menambah alokasi MBG berlipat ganda pada APBN 2026, totalnya mencapai (Rp) 335 triliun,” ungkap JPPI.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji menilai kebijakan ini melemahkan sektor pendidikan dan tidak berpihak kepada anak.
“Ini bukan sekadar salah kelola, tapi dugaan pelanggaran konstitusi yang terang-benderang. Pemerintah memotong hak pendidikan anak-anak untuk membiayai proyek politik populis atas nama gizi,” ujar Ubaid melalui keterangannya pada Senin (20/10/2025).
2. Putusan MK tentang Pendidikan Dasar Gratis Belum Terlaksana
JPPI menegaskan putusan MK Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang pendidikan dasar gratis di sekolah negeri dan swasta belum dilaksanakan oleh pemerintah. Menurut JPPI, ini melanggar Pasal 34 UU Sisdiknas dan pasal 31 UUD 1945 yang mewajibkan negara menanggung pembiayaan pendidikan dasar untuk seluruh warga negara Indonesia.
“Empat juta lebih anak Indonesia hari ini tidak sekolah karena negara gagal menunaikan kewajibannya. Pemerintah boleh bicara makan gratis, tapi kalau anaknya tidak sekolah, itu artinya negara sedang memberi makan kebodohan,” ungkap Ubaid.
Gebrakan 1 Tahun Mendikdasmen Abdul Mu’ti: Ubah Kebijakan Nadiem Makarim-Deep Learning
3. Kebijakan Pendidikan yang Tidak Sesuai Prinsip Inklusif dan Berkeadilan
JPPI menilai program Sekolah Rakyat untuk anak miskin dan Sekolah Garuda untuk kelompok unggulan menciptakan segregasi baru dalam pendidikan nasional. JPPI berpendapat hal ini tidak memperkuat pendidikan inklusif.
JPPI mengkalkulasi Sekolah Rakyat hanya mampu menampung sekitar 0,3% anak putus sekolah karena faktor ekonomi.
“Kebijakan ini seolah berpihak pada rakyat kecil, tapi sesungguhnya menstigma kemiskinan. Sekolah Rakyat hanyalah kosmetik untuk menutupi ketidakmampuan negara menyediakan akses setara bagi semua. Sementara Sekolah Garuda akan jadi menara gading baru bagi anak-anak ber-privilege,” kata Ubaid.
Ia menegaskan pemerintahan saat ini harus segera mengembalikan arah pendidikan nasional ke jalur pendidikan yang adil, inklusif, dan bebas pungutan.
“Kalau arah ini tidak segera dikoreksi, sejarah akan mencatat bahwa pemerintahan ini gagal menjaga hak paling dasar anak bangsa: hak atas pendidikan tanpa diskriminasi dan berkeadilan untuk semua, no one left behind,” pungkasnya.