Video Sri Mulyani soal “Guru Beban Negara” Memang Hoaks, tapi Isinya adalah Fakta

0
23

Sebuah video, yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani ngomong “guru sebagai beban negara” memang telah dikonfirmasi sebagai hoaks oleh yang bersangkutan. Kendati demikian, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menegaskan bahwa di balik pelabelan hoaks tersebut, ada fakta yang tercermin terkait dengan nasib guru di negeri ini.

“Inti dari narasi yang beredar tersebut, yakni ‘negara menganggap guru sebagai beban’, adalah fakta yang didukung oleh kebijakan pemerintah selama ini,” ujar Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, dalam keterangan tertulisnya kepada Mojok, Kamis (21/8/2025).

Dalam video asli yang menjadi sumber hoaks, Sri Mulyani menyoroti gaji dan tunjangan guru sebagai tantangan bagi keuangan negara. Ia bahkan mempertanyakan, “Apakah semuanya harus dari keuangan negara ataukah ada partisipasi dari masyarakat?”

Pertanyaan tersebut dipandang Ubaid telah mencerminkan tiga masalah utama yang menunjukkan bahwa negara, melalui kebijakan anggarannya, memang memandang guru sebagai beban.

Alasan (fakta) guru dianggap beban anggaran

Ubaid memandang, setidaknya ada tiga alasan mengapa pemerintah, setidaknya melalui kebijakan anggarannya, menganggap guru sebagai beban. Pertama, karena pemerintah tidak paham kewajiban konstitusional.

Gaji dan tunjangan guru adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945, yang mewajibkan pemerintah mengalokasikan 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk pendidikan. Dana tersebut mencakup alokasi untuk gaji para pendidik.

“Pertanyaan (Sri Mulyani) tentang partisipasi masyarakat dalam pembiayaan ini sama saja dengan melepaskan tanggung jawab negara,” tegas Ubaid. “Pemenuhan hak guru adalah sebuah keharusan, bukan pilihan, dan seharusnya tidak dibebankan kepada masyarakat.”

Pola pikir keliru tersebut, pada akhirnya melahirkan masalah kedua, yakni kebijakan tidak tepat sasaran—yang pada akhirnya menjadi beban anggaran.

Masalahnya, kata Ubaid, kalau negara merasa terbebani masalahnya bukan pada jumlah guru. Melainkan pada “alokasi anggaran pendidikan yang tidak tepat sasaran dan praktik korupsi yang masif”.

Ia mencontohkan, dalam rancangan APBN 2026, pemerintah justru memprioritaskan program-program non-pendidikan yang kontroversial seperti program makan gratis (MBG), ketimbang fokus pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.

Kondisi ini berakibat fatal. Banyak guru, termasuk guru madrasah, harus menunggu antrean hingga lebih dari 50 tahun untuk mendapatkan sertifikasi dan tunjangan profesi.

“Ini fakta ironis di tengah klaim pemerintah tentang perhatiannya pada pendidikan,” ujarnya.

Beban sebenarnya adalah korupsi, bukan para pendidik ini

Masalah ketiga, Ubaid menekankan bahwa beban nyata bagi negara bukanlah guru yang menjadi ujung tombak pendidikan, melainkan para pejabat yang tidak memiliki integritas dan melakukan korupsi. Mereka yang seharusnya menjadi teladan justru menghabiskan uang rakyat.

“Mereka sudah mendapatkan fasilitas mewah, tapi tetap saja melakukan korupsi,” kata Ubaid. “Anggaran pendidikan yang seharusnya dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan guru dan kualitas pengajaran, justru habis karena praktik korupsi. Ini membuat negara sulit memenuhi kewajiban konstitusionalnya.”

Atas dasar itu, JPPI pun mendesak pemerintah untuk segera mengubah cara pandangnya yang menganggap guru sebagai beban, bahkan seperti komoditas yang bisa “dimurah-murahkan.”

Menurut JPPI, gaji para pendidik ini harus dipandang sebagai hak yang wajib dipenuhi oleh pemerintah, bagian dari kewajiban konstitusional.

“Sudah saatnya pemerintah berhenti mencari kambing hitam dan fokus pada perbaikan sistem anggaran yang adil dan transparan,” kata dia.

“Guru bukanlah beban negara. Melainkan jantung dari investasi bangsa dan pembangun peradaban, yang pantas dihargai dan disejahterakan. Bukan hanya secara finansial tetapi juga secara martabat,” pungkasnya.

mojok.co

Comments are closed.