Soal Biaya Sekolah, Warga Kelas Menengah Jadi Juara Bagi masyarakat kelas menengah, pendidikan dianggap berpeluang besar mengubah kehidupan.

0
40

Mereka pun tak segan mendaftarkan anaknya di sekolah mahal.

Menyadari pentingnya pendidikan, kelas menengah mengalokasikan dana untuk biaya sekolah lebih tinggi dibanding empat kelompok ekonomi lainnya. Mereka menilai, pendidikan adalah investasi bagi anak-anaknya.

Tim Jurnalisme Data Harian Kompas mengolah data Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2024 di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar. Hasilnya, 35 persen dari warga kelas menengah atau sekitar 179.265 rumah tangga yang menyekolahkan anak/cucu di sekolah dasar (SD) mengalokasikan lebih dari 10 persen pengeluarannya untuk biaya sekolah.

Jumlah rumah tangga itu lebih tinggi dibandingkan dengan kelas lainnya. Pada kelompok miskin, 4,2 persen atau 2.654 rumah tangga yang mampu mengalokasikan 10 persen pengeluarannya untuk uang sekolah, kelompok rentan miskin 8,5 persen atau 12.543 rumah tangga, calon kelas menengah 11,8 persen atau 73.077 rumah tangga, dan kelompok atas 30,9 persen atau 10.532 rumah tangga.

Pada 2024, BPS mendefinisikan kelas miskin dengan pengeluaran bulanan per kapita kurang dari Rp 582.932, rentan miskin (Rp 582.932-Rp 874.938), calon kelas menengah (Rp 874.398-Rp 2,04 juta), kelas menengah (Rp 2,04 juta-Rp 9,9 juta), dan kelas atas (lebih dari Rp 9,9 juta). Dalam hal ini, Kompas meninjau 1,37 juta rumah tangga yang memiliki anak/cucu di tingkat SD.

Berada dalam kelompok kelas menengah, Dono (44), pekerja di Jakarta, mengalokasikan Rp 1,2 juta per bulan per anak untuk sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) bagi dua buah hatinya yang duduk di bangku SD swasta. Dana untuk membeli buku pelajaran sekitar Rp 1,5 juta per tahun per anak. Artinya, dia mengalokasikan minimal 12 persen per anak dari pengeluaran per kapita untuk dana pendidikan.

Bagi Dono, kedua anaknya disekolahkan di SD swasta demi memiliki kedisiplinan, pergaulan yang egaliter, dan pendidikan berkualitas. Bahkan, dia sudah menabung untuk uang pangkal masuk SD sejak anaknya lahir.

Berdasarkan besarannya, rata-rata pengeluaran rumah tangga kelas menengah untuk biaya pendidikan sekitar Rp 1,18 juta per bulan. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran untuk kebutuhan utilitas dan hunian yang sebesar Rp 342.721 per bulan, sedangkan pembelian kendaraan Rp 256.372 per bulan.

Memprioritaskan pendidikan

Menurut Ketua Umum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Nasional Saur Panjaitan, warga kelas menengah memprioritaskan pendidikan karena menganggap pendidikan sebagai investasi berharga. ”Mereka menginginkan stratanya lebih tinggi dari orangtuanya atau minimal sama. Maka, logikanya, kelas menengah akan berinvestasi sebesar-besarnya untuk itu,” kata Saur.

Pendidikan bagi kelas menengah dianggap berpeluang besar mengubah kehidupan mereka. Orangtua kelas menengah, kata Saur, berusaha menyekolahkan anaknya di jenjang pendidikan dasar dan menengah di sekolah yang berbiaya mahal.

Sebanyak 31 murid kelas 5 SDN Duri Pulo 04, Jakarta Pusat, menempati kelas berukuran sekitar 56 meter persegi, Selasa 16/7/2025. Selama setahun ini, SDN Duri Pulo 04, menempati beberapa ruangan kelas dan musholla SDN Cideng 07 karena bangunan sekolahnya direnovasi.

Senada dengan Saur, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengatakan, warga kelas menengah menyadari pendidikan bisa menjadi investasi sumber daya manusia di masa depan. ”Kelas menengah sudah mulai sadar mengenai perubahan di masa depan soal hukum, politik, sosial, dan ekonomi harus dimulai dari pendidikan secara personal dan masa depan Indonesia,” ujarnya, Selasa (1/7/2025).

Meski demikian, lanjut Ubaid, kelas menengah juga menyadari, mereka adalah kelompok yang rentan karena merasa tidak mendapat dukungan dari pemerintah. ”Saat pemerintah mengeluarkan kebijakan afirmasi untuk kelompok menengah ke bawah, kelas menengah sadar, kemungkinan mereka masuk jalur afirmasi karena tidak miskin akan tertutup,” tambah Ubaid.

Kelas menengah yang tidak bisa bersekolah di sekolah negeri harus bersiap untuk menyiapkan uang sekolah di swasta. Di sisi lain, mereka juga harus membayar cicilan rumah dan kendaraan.

Kencangkan Ikat Pinggang, Rata-rata Biaya SD Swasta Capai Rp 211,2 Juta Per Anak
Minim, Jumlah SD Negeri di Area Padat  
Lonjakan Biaya SD Hampir 5 Kali Gaji Orangtua
Sekolah Swasta Berlabel Agama Jadi Pilihan Orangtua
Jumlah Murid Baru di SD Swasta Meningkat Tajam

Kencangkan Ikat Pinggang, Rata-rata Biaya SD Swasta Capai Rp 211,2 Juta Per Anak

Orangtua yang hendak menyekolahkan anaknya di SD swasta perlu berinvestasi sebesar Rp 2,1 juta per bulan sejak buah hatinya lahir.

Kondisi tersebut, menurut Ubaid, memberatkan kelas menengah. Apalagi, dengan kondisi ekonomi sekarang, kelas menengah rentan turun kelas karena penghasilannya menurun akibat dari pemutusan hubungan kerja.

Dalam situasi perekonomian saat ini, rumah tangga kelas menengah perlu menyusun prioritas tujuan keuangan. Annisa Steviani, perencana keuangan, diskusi keuangan suami-istri yang realistis menjadi fondasi untuk menyusun prioritas dalam lima tahun ke depan.

Dia menggambarkan, keinginan punya anak berarti mesti mengumpulkan uang sekolah. Keinginan memiliki mobil demi mengantar anak mungkin diikuti oleh cicilan. Jika ingin punya rumah, harus bersiap membayar uang muka beserta cicilan. Ada juga pasangan yang ingin mendaftar ibadah haji.

Infografik Total Biaya SD Swasta Selama 6 Tahun Bersekolah

KOMPAS/ARIE
Infografik

Keinginan-keinginan itu, menurut Annisa, perlu mempertimbangkan uang yang saat ini dimiliki. ”Solusinya, cari karier atau pekerjaan yang lebih baik (dari segi penghasilan). Kalau memang banyak maunya, risikonya begitu,” katanya.

Tumbuh pesat

Meskipun alokasi kelompok warga lainnya untuk dana pendidikan belum setinggi kelas menengah di area sampel, rata-rata pertumbuhan uang yang dikeluarkan untuk sekolah sepanjang 2021-2024 terbilang pesat. Bahkan, kenaikan pengeluaran untuk dana pendidikan lebih tinggi dibanding untuk kebutuhan pangan.

Kompas menemukan, rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk uang sekolah pada warga miskin melonjak 43 persen dari Rp 62.254 per bulan pada 2021 menjadi Rp 89.223 per bulan pada 2024. Di sisi lain, kenaikan untuk biaya pangan sekitar 30 persen.

Infografik Pertumbuhan Pengeluaran untuk Sekolah

Pertumbuhan rata-rata pengeluaran rumah tangga untuk pendidikan di kelompok rentan miskin sebesar 40 persen atau 2,3 kali lipat lebih tinggi dibandingkan peningkatan kebutuhan pangan. Pengeluaran pendidikan itu naik dari Rp 87.380 per bulan menjadi Rp 122.690 per bulan.

Karena anaknya tidak diterima di SD negeri, Atun (43), pekerja rumah tangga di Jakarta, memutuskan mengeluarkan uang Rp 150.000 per bulan untuk les putrinya yang berusia 6 tahun 5 bulan. Dia berharap kemampuan membaca, menulis, dan berhitung sang putri dapat terasah sembari menunggu tahun ajaran berikutnya.

Dia berharap pendidikan dapat membuat anaknya memiliki kesempatan kerja yang lebih baik dibandingkan dengan dirinya di masa depan. Berdasarkan pengeluaran bulanan per kapita, dia dan keluarga tergolong dalam kelompok rentan miskin.

Siswa baru pada hari pertama masuk sekolah di SD Negeri Kaliasin I, Surabaya, Senin (14/7/2025). Pada Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS), guru dan perwakilan siswa menyambut murid baru dengan meggunakan kostum yang bertema tentang makanan sehat dan bergizi. Selain itu, juga dilakukan penyambutan dengan tarian-tarian tradisional. Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)

Bersiap membayar

Renata (35), warga Cakung, Jakarta Timur, bersiap mengeluarkan uang Rp 240.000 per bulan untuk membayar SPP dan uang pangkal Rp 1,3 juta untuk putri sulungnya yang mulai bersekolah di SD swasta. Mestinya, sang anak masuk SD pada tahun ajaran 2024/2025. Namun, karena tidak diterima di SD negeri, dia tak bersekolah selama setahun.

Keuangan keluarga ibu dua putri itu bersumber dari penghasilan suaminya sebagai pengemudi ojek dalam jaringan yang berkisar Rp 3 juta per bulan. Dia merasa sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk membayar sewa rumah Rp 600.000 per bulan, dengan penghasilan tersebut.

Oleh karena itu, Renata menunda sekolah putri keduanya yang ditolak oleh 10 SD negeri di sekitarnya pada Juni 2025 karena persoalan usia. ”Pendapatan suami tak menentu. Kebutuhan sehari-hari juga terkendala. Jadi, anak saya dirumahkan saja dan menunggu pendaftaran SD negeri tahun depan,” katanya saat dihubungi, Selasa (15/7/2025).

Terjegal Usia di SD Negeri, Terbebani Biaya di SD Swasta
Guru Bimbing 40 Siswa Kelas 6 SD Negeri, Ada yang Belum Paham Perkalian
Ketika SD Negeri Susah Didapat, Haruskah SD Swasta Jadi Solusinya? 
Terjegal Usia di SD Negeri, Terbebani Biaya di SD Swasta

Faktor usia anak yang kurang dari 7 tahun menjadi hambatan untuk masuk SD negeri. Akibatnya, orangtua terbebani biaya mahal di SD swasta.

Sementara itu, pada rumah tangga warga calon kelas menengah, pengeluaran untuk biaya sekolah meningkat 37 persen sepanjang 2021-2024 dari Rp 183.483 per bulan menjadi Rp 251.376 per bulan. Peningkatan itu lebih tinggi 1,7 kali lipat dibandingkan dengan pertumbuhan pengeluaran untuk makan sehari-hari.

Lonjakan pengeluaran rumah tangga kelas menengah untuk dana pendidikan tetap menempati posisi teratas, yakni 57 persen sepanjang 2021-2024. Nilainya tumbuh dari Rp 755.974 per bulan menjadi Rp 1,18 juta per bulan. Peningkatan itu lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pengeluaran untuk pangan yang sekitar 29,6 persen.

kompas.com

Comments are closed.