SD Berkualitas Seharusnya Menjadi Hak Setiap Anak

0
58

Tidak mudah bagi warga mendapatkan SD berkualitas. Jumlah SD negeri terus berkurang, sementara mayoritas SD swasta berkualitas berbiaya mahal.

Mendapatkan pendidikan terbaik untuk anak merupakan harapan setiap orangtua. Berbagai upaya dilakukan orangtua agar anak dapat bersekolah di sekolah dasar berkualitas.

Bagi sebagian keluarga, khususnya kelas menengah bawah, dihadapkan pada dua pilihan. Jika memilih SD negeri, kuotanya terbatas dan pendaftarannya tidak mudah diakses. Sementara jika masuk ke SD swasta akan terkendala biaya yang lebih mahal daripada SD negeri.

Kuota SD negeri yang terbatas terindikasi dari pertumbuhan jumlah SD negeri yang melambat. Data Statistik Sekolah Dasar Kemendikdasmen menunjukkan, jumlah SD negeri tahun ajaran 2024/2025 sebanyak 129.367 unit.

Angka ini berkurang dari tahun ajaran 2020/2021 yang jumlahnya 131.058 unit sekolah. Dalam lima tahun ajaran itu, rata-rata setiap tahun ada 423 unit SD negeri yang tidak lagi beroperasi.

Selain jumlahnya yang terbatas, proses pendaftaran di SD negeri juga dinilai menyulitkan warga. Seperti Renata (35), warga Cakung, Jakarta Timur. Ia dua kali gagal memasukkan anaknya ke SD negeri.

Ada 10 sekolah di kelurahan saya, tetapi tidak ada satu pun yang menerima karena kendala umur dan zona prioritas.

Infografik Jumlah Murid Baru Sekolah Dasar Negeri dan Swasta (anak)

KOMPAS/ISMAWADI

Pada tahun 2024, anak pertamanya tidak bisa bersekolah di SD negeri karena faktor usia. Tahun ini, anak keduanya juga mengalami hal yang sama. Ketika mendaftar SD negeri pada Juni 2025, anak kedua Renata berusia 6 tahun 8 bulan.

”Ada 10 sekolah di kelurahan saya, tetapi tidak ada satu pun yang menerima karena kendala umur dan zona prioritas,” ucap Renata, Selasa (15/7/2025).

Renata akhirnya menunda sekolah anak keduanya karena kendala biaya. Penghasilan suaminya sebagai pengojek daring sebesar Rp 3 juta per bulan cukup berat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk sewa rumah petak Rp 600.000 per bulan. Apalagi, tahun ini anak pertama Renata harus masuk SD swasta setelah setahun tak bersekolah.

Sedikit SD negeri

Selain pertambahan jumlah SD negeri yang melambat, wilayah dengan pertumbuhan penduduk tinggi justru lebih banyak tersedia SD swasta dibandingkan dengan SD negeri. Ini merupakan hasil olahan Kompas menggunakan peta titik-titik lokasi SD dari basis data Kemendikdasmen yang ditumpang-susunkan dengan peta raster jumlah penduduk Global Human Settlement Layer (GHSL) pada tahun 2020 dan 2025.

Wilayah pertumbuhan penduduk tinggi merupakan area dengan peningkatan jumlah penduduk antara 20 orang dan 35 orang di area seluas 1 hektar atau 2.000-3.500 orang dalam area 1 kilometer persegi selama kurun waktu lima tahun terakhir.

Contoh di Ciledug, di Kota Tangerang, dan Medan Satria di Kota Bekasi. Dari total SD di area pertumbuhan penduduk tinggi itu, hampir 60 persen di antaranya merupakan SD swasta. Artinya, penduduk di area tersebut, saat hendak menyekolahkan anaknya di bangku SD, pilihannya lebih banyak didominasi SD swasta.

SD negeri jaraknya tersebar dan lebih jauh berkisar 3-4 kilometer. SD swasta yang lebih bagus, jaraknya cuma 1,5 kilometer dari rumah.

Para pelajar SDN Leuwibatu 02 sedang bergotong royong membersihkan ruang kelas, Rabu (18/12/2024). Kegiatan bersih-bersih ini sebelum mereka libur sekolah.

Hal ini membuat orangtua tidak memiliki pilihan lain selain SD swasta. Itulah yang dialami Bondan (35), warga Maja, Lebak, Banten. Tahun lalu, ia dan istri memasukkan anak pertama mereka ke SD swasta, Sekolah Muslim Cendekia, yang berjarak 1,5 kilometer dari rumah.

”Sebenarnya sekolah swasta di sini tidak banyak pilihannya. Cuma, kalau SD negeri, jaraknya tersebar dan lebih jauh berkisar 3-4 kilometer. Dan, waktu saya kepikiran mau memasukkan anak ke SD negeri, sarana prasarananya minim. Saya kasihan sama anak saya,” ujar Bondan, Senin (7/7/2025).

Meski menguras biaya lebih besar, Bondan dan istri lebih tenang menyekolahkan anak mereka di SD swasta. Tahun lalu uang pangkal yang harus ia bayar hampir Rp 6 juta dan uang sekolah Rp 600.000 per bulan. Selain fasilitasnya lebih lengkap, Bondan menilai, guru-guru di sekolah swasta anaknya memberikan perhatian secara personal kepada setiap murid.

Swasta lebih mahal

Biaya SD swasta yang lebih mahal dari SD negeri juga menjadi kendala bagi sebagian orangtua. Dari temuan Kompas, biaya SD swasta lebih besar  4,4 kali lipat daripada biaya SD negeri.

Besarnya biaya ini memberatkan warga yang tidak dapat mengakses SD negeri. Sebab, ketersediaan SD negeri belum sejalan dengan perkembangan demografi warga.

Rata-rata biaya pendidikan SD swasta di Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi), Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar Rp 7,1 juta per tahun dan SD negeri Rp 1,6 juta per tahun. Biaya itu termasuk uang pangkal, dana SPP, iuran sekolah, buku pelajaran, dan uang kursus.

Sahabat Kompas dapat melakukan simulasi berapa banyak uang yang harus ditabung/diinvestasikan untuk menyekolahkan anak di SD swasta

Temuan ini berasal dari analisis data mikro Susenas BPS Maret 2024 di Jabodetabek dan sembilan kota di Indonesia. Ironisnya, dari data yang sama, sebanyak 25,5 persen dari total 230.443 keluarga miskin di Jabodetabek dan sembilan kota lain menyekolahkan anak di SD  swasta. Menurut BPS tahun 2024, keluarga miskin adalah mereka yang pengeluarannya kurang dari Rp 582.932 per kapita per bulan.

Kualitas SD swasta lebih baik

Tidak dapat dimungkiri, biaya yang mahal ini juga dibarengi kualitas SD swasta yang lebih baik daripada SD negeri. Data Kemendikdasmen tahun ajaran 2024/2025 menyebutkan, baru 20,7 persen sekolah dari total 129.367 SD negeri yang sudah terakreditasi A. Sementara dari total 19.791 SD swasta, sekolah yang sudah terakeditasi A mencapai 28,4 persen.

Selain itu, kondisi kelas SD negeri umumnya juga tidak sebaik SD swasta. Di tahun ajaran yang sama, hanya 34,4 persen kelas di SD negeri dalam kondisi baik. Sementara di SD swasta lebih banyak, yakni 66,5 persen kelas. Ketersediaan ruang laboratorium sains di SD swasta lebih banyak (22,9 persen) dibandingkan dengan SD negeri yang hanya memiliki 4,8 persen laboratorium.

Memang, ada SD negeri dekat sini, tetapi saya kurang sreg karena kualitasnya kurang baik.

Hal ini membuat orangtua lebih memilih SD swasta daripada SD negeri. Tahun lalu, Rie (31), warga Kota Bandung, Jawa Barat, menyekolahkan anaknya di SD swasta dekat rumahnya. Kartu tanda penduduk (KTP) dia dan suaminya belum pindah ke Bandung. Namun, jika sudah pindah pun, menurut Rie, kualitas SD negeri di dekat rumahnya kurang bagus.

”Memang, ada SD negeri dekat sini, tetapi saya kurang sreg karena kualitasnya kurang baik. Sebenarnya ada beberapa SD negeri yang bagus, cuma jaraknya jauh dari rumah saya. Karena sistem zonasi, sepertinya pilihan SD negeri yang saya dapat, ya, yang kurang bagus itu,” jelas Rie, Rabu (9/7/2025).

Perbaikan fasilitas

Mantan guru SD negeri dan swasta, CEO Smartick Indonesia Galih Sulistyaningra, menilai, salah satu perbedaan antara SD negeri dan SD swasta ialah pada alat mengajar yang mengintegrasikan teknologi. Contohnya, SD swasta dapat mengadakan proyektor di kelas dan laboratorium komputer.

Siswa SD Negeri Malasari 01 mengoperasikan komputer jinjing atau laptop di ruang kelas di Desa Malasari, Kecamatan Nanggung, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (9/4/2022). Pemerataan konektivitas digital bagi siswa sekolah sebenarnya bisa menjadi salah satu cara dalam memangkas kesenjangan kualitas pendidikan. KOMPAS/HERU SRI KUMORO 09-04-2022

Namun, tidak semua komputer di laboratorium sejumlah SD negeri berfungsi. Akibatnya, murid mesti menyediakan sendiri laptop atau komputer. Padahal, idealnya fasilitas itu disediakan sekolah.

”Kenapa sekolah negeri akhirnya tidak begitu banyak diminati orangtua yang ingin anak-anak punya kompetensi yang baik perihal teknologi. Ya, karena memang tidak didukung fasilitasnya,” ujar Galih, Selasa (24/6/2025).

Banyaknya murid yang dijejalkan dalam satu kelas juga mengurangi kualitas pengajaran. Data statistik Kemendikdasmen 2024 menunjukkan, jumlah murid di SD negeri dalam kelas atau jumlah rombongan belajar (rombel) contohnya di Jabodetabek melebihi ketentuan pemerintah. Rata-rata jumlah rombel di Jabodetabek adalah 30 orang. Bahkan, di Kabupaten Bekasi mencapai 53 murid.

Infografik Kenaikan Gaji Buruh/Karyawan dan Kenaikan Biaya Sekolah Dasar 2018-2024

KOMPAS/ISMAWADI
Infografik Kenaikan Gaji Buruh/Karyawan dan Kenaikan Biaya Sekolah Dasar 2018-2024

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 47 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah menyatakan, jumlah murid SD dalam satu kelas adalah 28 murid. Hal itu bisa dikecualikan jika jumlah satuan pendidikan yang dapat diakses oleh peserta didik dalam suatu wilayah terbatas.

Namun, menurut Ketua Umum Asosiasi Kepala Sekolah Indonesia Asep Tapip Yani, batas maksimal jumlah anak dalam satu kelas tetap harus disesuaikan dengan ketentuan rasio luas ruang kelas dalam aturan Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pandidikan Kemendikbudristek Nomor 048 Tahun 2023. Dalam petunjuk teknis standar sarana-prasarana pendidikan PAUD, dasar, dan menengah itu disebutkan rasio minimal luas ruang kelas adalah 2 meter persegi per peserta didik.

Dari balik tembok triplek yang rusak, terlihat suasana belajar di Sekolah Dasar Kunjung SDN 012 Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Senin (20/11/2023).

KOMPAS/SUCIPTO
Dari balik tembok tripleks yang rusak terlihat suasana belajar di Sekolah Dasar Kunjung SDN 012 Kampung Mului, Desa Swan Slotung, Kecamatan Muara Komam, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, pada 20 November 2023.

Merujuk aturan tersebut, luas minimal ruang kelas pendidikan dasar dan menengah dengan jumlah murid hingga 15 anak adalah 30 meter persegi. Adapun jika jumlah peserta didiknya di atas 15-28 anak, luas ruang kelas minimal yaitu 56 meter persegi.

Asep menilai, jumlah anak dalam satu kelas yang melebihi ketentuan akan memengaruhi kualitas pembelajaran siswa.

”Pembelajaran itu prinsipnya adalah individual. Jadi, yang harus dihadapi dan disukseskan guru adalah individu. Guru harus memberikan perhatian khusus kepada tiap-tiap murid sesuai dengan bakatnya,” kata Asep, awal Juli lalu.

Utamakan public goods

Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Gogot  Suharwoto mengimbau sekolah swasta menyesuaikan biaya pendidikan dengan kemampuan warga.

Di sisi lain, pemerintah terus berusaha membantu mengurangi beban warga bersekolah di SD swasta, salah satunya melalui bantuan operasional satuan pendidikan (BOSP) dan Kartu Indonesia Pintar.

Siswa Sekolah Dasar memperlihatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) saat berlangsung Kegiatan Pembagian Kartu Indonesia Pintar bagi siswa Yatim/Panti di SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi, Kabupaten Malang, Sabtu (3/6). Pembagian dilakukan dihadiri langsung oleh Presiden Jokowi.Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)03-06-2017

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA
Siswa SD memperlihatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) saat berlangsung Kegiatan Pembagian Kartu Indonesia Pintar bagi siswa Yatim/Panti di SMK Muhammadiyah 7 Gondanglegi, Kabupaten Malang, pada 3 Juni 2017.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji menyebutkan, umur menjadi salah satu persoalan anak tidak diterima di sekolah negeri. Contoh, anak usia 6,5 tahun kemungkinan besar tidak lolos karena sekolah mengutamakan usia 8 tahun dan 9 tahun yang belum masuk SD.

Ia menambahkan, sistem penerimaan siswa baru sekolah negeri selama masih kompetitif, dan akan selalu ada masyarakat yang dirugikan karena tidak bisa bersekolah di negeri yang gratis.

”Seharusnya pendidikan adalah hak semua anak, tidak perlu dikompetisikan. Jadi, seakan-akan pendidikan adalah private goods. Padahal pendidikan adalah public goods, setiap orang mempunyai hak yang sama,” ujar Ubaid, Selasa (1/7/2025).

kompas.com

Comments are closed.