Pengaturan yang Adil bagi Sekolah Negeri dan Swasta untuk Menjaga Kualitas Pendidikan

0
249

Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang lanjutan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pada Rabu (11/9/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia dan tiga Pemohon perorangan yang bernama Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum. Fathiyah dan Novianisa merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan Riris seorang ibu yang bekerja sebagai PNS. Agenda persidangan mendengar keterangan Pihak Terkait yaitu PP Muhammadiyah (Cq. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pendidikan Nonformal), PBNU (Cq. LP Maarif), Majelis Nasional Pendidikan Katolik, Majelis Pendidikan Kristen Indonesia, dan Taman Siswa.

Ketua Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah dan Pendidikan Nonformal PP Muhammadiyah Didik Suhardi dalam persidangan menyampaikan, secara keseluruhan, kebijakan pendidikan gratis dengan tidak memungut biaya dari siswa dan tanpa dukungan biaya yang optimal dari pemerintah dapat mengancam keberlanjutan sistem pendidikan, terutama bagi sekolah-sekolah swasta, serta dapat merusak kualitas pendidikan secara umum. Solusi yang lebih baik adalah memastikan subsidi yang memadai dan pengaturan yang adil antara pendidikan negeri dan swasta, agar kualitas dan keberlanjutan pendidikan tetap terjaga.

“Rekomendasi kami terhadap rencana implementasi UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 34 ayat (2), “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”, mengusulkan agar pemerintah fokus kepada sekolah negeri (milik pemerintah) agar tidak melakukan pemungutan biaya terhadap para siswanya, terutama kepada siswa miskin, kurang mampu, atau rentan miskin,” ujarnya.

Selain itu, sambungnya, Pemerintah fokus pada pemberian subsidi pendidikan yang dapat diarahkan kepada siswa-siswa yang tidak mampu secara ekonomi, baik yang bersekolah di sekolah negeri maupun swasta. Dengan demikian, prinsip keadilan sosial tetap terjaga, tanpa mengorbankan keberlanjutan dan kualitas pendidikan di lembaga swasta.

Kemudian menurut PP Muhammadiyah, Pemerintah perlu mengembangkan dan menyediakan standar biaya operasional pendidikan yang ideal untuk memastikan sekolah negeri maupun swasta dapat beroperasi dengan baik dengan menyediakan pendidikan yang berkualitas. Dengan demikian, tidak ada ketimpangan pembiayaan pendidikan antar sekolah (negeri atau swasta). Mengembalikan guru P3K yang berasal dari sekolah swasta agar dapat kembali mengajar di sekolah swasta asal.

Lebih lanjut Didik menyebut, hal ini sesuai dengan Pasal 11 ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.”, dan Pasal 41 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu.”, serta Pasal 46 ayat (3) UU Sisdiknas yang menyatakan, “Mobilitas talenta dilakukan: a. dalam 1 (satu) Instansi pemerintah; b. antar-Instansi Pemerintah; atau c dinyatakan bahwa “Mobilitas talenta ke luar Instansi Pemerintah antara lain badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, lembaga internasional, badan hukum lain yang dibentuk oleh peraturan perundang-undangan, dan badan swasta.”

Pada kesempatan yang sama, Romo Darmin Mbula mewakili Majelis Pendidikan Nasional Katolik (MPNK) dalam keterangannya mengatakan Pemerintah wajib menyediakan pendidikan gratis pada tingkat pendidikan paling dasar namun penerapan kebijakan menggratiskan seluruh biaya pendidikan baik di sekolah negeri maupun swasta membutuhkan pendekatan yang lebih komprehensif berdasarkan kajian hukum dan kebijakan yang mempertimbangkan aspek konstitusional, kesejahteraan sosial dan aksesibilitas.

“Hal ini mencakup pengaturan anggaran yang memadai, penyesuaian otonomis dengan swasta serta memastikan bahwa kualitas pendidikan tetap terjamin,” sebut Romo Darmin dalam persidangan.

Darmin menjelaskan, kebijakan yang berkeadilan bagi sekolah negeri dan swasta mencakup subsidi atau bantuan operasional yang setara untuk sekolah swasta dan negeri. Kebijakan lain adalah membantu ketersediaan tenaga pendidik seperti guru PNS di sekolah swasta.

Sementara Aarce Tehupeiory dari Majelis Pendidikan Kristen (MPK) menjelaskan berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, standar pembiayaan pendidikan akan menjadi acuan yang bersifat mengikat seluruh institusi pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA), baik negeri maupun swasta. Dalam proses penyelenggaraan pendidikan dasar, pemerintah juga mengadakan program Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Dalam pendidikan, dana BOS tidak diberikan langsung pada siswa, namun dikelola oleh sekolah untuk membiayai kebutuhan tiap siswa selama menempuh proses pembelajaran.

Selain itu, dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 63 Tahun 2022 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan yang di dalamnya terdapat dalam Pasal 7 ayat (2), dana BOS terbagi atas dana BOS Reguler dan BOS Kinerja.

Sesuai data yang dimilik MPK, 95% sekolah Kristen menerima dana BOS, sedangkan 5% tidak menerima (menolak) dana BOS, melainkan membiayai penyelenggaraan pendidikannya dengan memungut biaya dari peserta didik.

Dalam frasa “Wajib Belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” deskripsi perilaku tertentunya belum dapat dikatakan tertentu. Karena itu, MPK berpendapat kalimat dalam UU Sisdiknas pasal 34 ayat (2) dapat disempurnakan menjadi “Wajib Belajar pada jenjang pendidikan dasar negeri maupun swasta tanpa memungut biaya”, sehingga tidak menimbulkan multitafsir.

Sehingga, ia menyebut perlu diadakan perbaikan dalam pengkalimatan UU Sisdiknas pasal 34 ayat (2). Selain itu, Pemerintah perlu konsisten dan konsekuen dalam mengalokasikan Anggaran Pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD sebagaimana diamanatkan Konstitusi.

Sebagai tambahan informasi, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) diuji secara materiil ke MK. Permohonan perkara Nomor 3/PUU-XXII/2024 ini diajukan oleh Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) atau (Network Education Watch Indonesia/New Indonesia) bersama tiga Pemohon perorangan yaitu Fathiyah, Novianisa Rizkika, dan Riris Risma Anjiningrum.

Para Pemohon menguji norma Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Selengkapnya Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas menyatakan, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.”

Sebelumnya, para Pemohon menyatakan bahwa frasa tersebut multitafsir, karena hanya pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri yang tidak dipungut biaya. Pemohon mendalilkan jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya hanya dilakukan di sekolah negeri. Sedangkan jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah swasta tetap dipungut biaya. Sehingga Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya” telah menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini merupakan bentuk diskriminasi pendidikan.

Untuk itu, dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 34 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang frasa “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”, inkonstitusional secara bersyarat dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “wajib belajar pada jenjang pendidikan dasar yang dilaksanakan di sekolah negeri maupun sekolah swasta tanpa memungut biaya”.

Mahkamah Konstitusi

Comments are closed.