Celah korupsi dan gratifikasi penerimaan peserta didik baru
Praktik pungutan tak resmi ditemukan pada 2,24% sekolah dan 2,05% perguruan tinggi dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru.
swipe
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis hasil indeks Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan pada Selasa (30/4) lalu. Hasilnya, masih ada berbagai praktik pungutan tidak resmi pada 44,86% sekolah dan 57,14% perguruan tinggi.
Hasilnya, masih ada berbagai praktik pungutan tidak resmi di lebih dari 44,86% sekolah dan lebih dari 57,14% perguruan tinggi. Nepotisme banyak terjadi pada proses penerimaan siswa atau mahasiswa baru, serta pada pengangkatan dan penempatan guru, dosen, dan pimpinan satuan pendidikan. Pada 38,77% sekolah dan 64,02% perguruan tinggi, ditemukan adanya kasus siswa atau mahasiswa titipan pejabat sekolah atau perguruan tinggi, pejabat daerah, dan pejabat pusat.
Praktik pungutan tak resmi tersebut meliputi pungutan atau biaya yang dikenakan kepada guru dan dosen dalam pengajuan sertifikasi dan kenaikan pangkat atau jabatan. Praktik pungutan tak resmi juga ditemukan pada 2,24% sekolah dan 2,05% perguruan tinggi dalam penerimaan siswa atau mahasiswa baru. Pada satuan pendidikan negeri, umumnya terjadi ketika ada siswa atau mahasiswa yang tidak memenuhi syarat atau ketentuan penerimaan.
Selain itu, praktik gratifikasi ditemukan pada 45,94% sekolah dan 73,02% perguruan tinggi, berupa guru dan dosen yang menerima bingkisan dari siswa atau mahasiswa, dengan tujuan mendapatkan perhatian khusus. Perilaku yang mengarah pada suap juga ditemukan di 10,29% sekolah dan 29,70% perguruan tinggi, di mana ditemukan ada guru dan dosen yang memberikan sesuatu kepada pejabat di dinas pendidikan atau pejabat lainnya, dengan tujuan mendapatkan penempatan sesuai keinginannya. Pemberian bingkisan oleh siswa juga terdapat di 45,94% sekolah dan mahasiswa pada 69,31% perguruan tinggi kepada guru atau dosen, dengan tujuan memengaruhi nilai atau mempermudah kelulusan.
Potensi koruptif tersebut, kata Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji muncul karena setiap orang yang punya uang berpeluang lebih besar untuk diterima di institusi pendidikan ketimbang mereka yang berstatus ekonomi lemah.
Menurut Ubaid, kecurangan itu bisa terjadi dalam bentuk jual-beli kursi, menumpang kartu keluarga, sertifikat abal-abal, siswa titipan, pemalsuan data kemiskinan, atau manipulasi jarak zonasi. Jatah kursi maupun penitipan siswa dari pihak internal atau eksternal sekolah, katanya, sudah membuat kisruh sistem pendidikan. Akhirnya, penerimaan peserta didik baru yang diharapkan untuk pemerataan, justru menimbulkan ketimpangan lantaran sistem rebutan kursi yang tak bisa dihindari.
“Sangat potensial adanya jalur gratifikasi, karena sistemnya adalah rebutan kursi. Jadi yang punya uang lebih punya kuasa,” kata Ubaid kepada Alinea.id, Kamis (13/6).
Lebih lanjut, Ubaid mengatakan, kondisi itu merata di semua daerah. Ia mengambil contoh Jakarta. Karena daya tampung yang kurang, penerimaan peserta didik baru di Jakarta juga melibatkan sekolah swasta dengan daya tampung sebanyak 8.426 kursi.
Sistem penerimaan peserta didik baru bersama ala Pemprov DKI Jakarta ini hanya mampu menampung sekitar 4% dari total kebutuhan. Dengan begitu, sistem ini ternyata gagal menciptakan keadilan. Sebab berpotensi akan menelantarkan sebanyak 161.797 siswa di Jakarta lantaran mereka “terlempar” dari sistem rebutan kursi.
Bila dihitung total secara nasional, sebut Ubaid, maka ditemukan sebanyak 10.523879 peserta didik yang terdiskriminasi di sekolah swasta. Tidak heran, dengan kondisi tersebut, potensi korupsi dan gratifikasi muncul. Karena itu, menurutnya, tidak ada jaminan mendapatkan kursi. Bahkan, ditemukan sebanyak 3.094.063 anak Indonesia terpaksa tak sekolah.
“Harus ada perubahan sistem yang berkeadilan, semua harus kebagian kursi dan tidak perlu ada kompetisi,” ujar Ubaid.
Sementara itu, pengamat kebijakan pendidikan sekaligus Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung, Cecep Darmawan menuturkan, berkaca pada kondisi di Jawa Barat, ada pakta integritas yang dibuat para pejabat sebagai satuan tugas (satgas) untuk mengawasi proses penerimaan peserta didik baru.
Pembentukan satgas tersebut dilakukan bersama dinas pendidikan, Ombudsman, dan Polri. Kebutuhan ini didasarkan karena ada potensi gratifikasi sebagai pidana. Satgas ini pun mesti berjalan dengan tegas, berdasarkan aturan yang ada. Jika terjadi pelanggaran, setiap peserta langsung dikeluarkan dari kompetisi.
“Seharusnya (ada) panitia bersama, jangan panitia sekolah. Kepanitian bersama itu selain unsur sekolah, disdik (dinas pendidikan), dan unsur lainnya,” ucap Cecep, Kamis (13/6).
Ia menyarankan, agar tak terjadi perilaku koruptif, perlu ada pula transparansi dengan sistem daring. Misalnya, keterangan jumlah kuota penerimaan dan jalur masuk para peserta didik.
“Dengan menghormati aturan, tidak ada jalur belakang,” kata Cecep.