
Pengadaan Smart TV di Sekolah, Borok Lama Kulit Baru: Saat Kesejahteraan Guru yang Diinginkan, tapi Malah TV yang Datang
Program pengadaan Smart TV ke sekolah-sekolah ibarat borok lama di kulit yang baru. Ia nggak penting, cuma buang-buang anggaran, dan rawan korupsi.
Ruang kelas di sekolah-sekolah negeri sebentar lagi akan punya wajah baru. Bukan lagi papan tulis putih dan spidol hitam yang mendominasi, melainkan layar besar berteknologi digital.
Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan target ambisiusnya: 330 ribu sekolah akan mendapat Smart TV hingga akhir 2025.
“Idealnya satu ruang kelas satu layar,” kata Prabowo dalam sela-sela kunjungannya ke Sekolah Rakyat Menengah Atas (SRMA) 10 di Jakarta Selatan, Kamis (11/9/2025) lalu.
Gagasan ini terdengar menjanjikan. Smart TV disebut-sebut mampu membuka akses konten belajar digital, mendukung guru, sekaligus mengurangi kesenjangan pendidikan.
Pemerintah bahkan menyiapkan anggaran besar: Rp2 triliun, yang dialokasikan khusus untuk smart classroom, termasuk Smart TV. Namun, di balik gegap-gempita janji itu, pertanyaan-pertanyaan mulai bermunculan: apakah Smart TV benar-benar akan menjawab kebutuhan sekolah, atau sekadar menjadi proyek mercusuar yang membebani anggaran?
Angka yang tak wajar di tiap unit Smart TV
Kontroversi langsung mencuat setelah Tempo melaporkan bahwa harga pengadaan setiap unit Smart TV mencapai Rp26 juta. Angka itu dianggap tidak wajar, terlebih jika dibandingkan dengan harga pasar yang bisa jauh lebih rendah untuk spesifikasi serupa.
Indonesian Corruption Watch (ICW) juga mengkritik pola pengadaan yang dilakukan tanpa tender—metode yang memang sah secara hukum tapi rentan disalahgunakan.
“Tanpa tender membuka ruang besar bagi praktik penyelewengan,” ungkap Koordinator Badan Pekerja ICW Wana Alamsyah kepada Tempo, dikutip Senin (15/9/2025).
Proyek ini juga dinilai berpotensi sarat masalah bukan hanya karena harga, tetapi juga karena minimnya jaminan keberlanjutan pemanfaatan di sekolah.
Bahkan, masalah lain justru datang dari dasar pijakan program itu sendiri. Meski sudah diumumkan presiden, pelaksanaannya masih menunggu Instruksi Presiden (Inpres).
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah bahkan mengatakan pihaknya “menunggu arahan lebih lanjut”. Kebijakan raksasa bergulir lebih cepat daripada persiapan di lapangan.
Nasibnya bakal sama seperti kasus Chromebook?
Sementara pemerintah pusat berbicara soal transformasi digital, sekolah-sekolah di lapangan masih bergulat dengan masalah klasik: listrik tak stabil, internet yang lemah, hingga ketiadaan tenaga teknis yang bisa mengoperasikan perangkat baru.
Alhasil, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, pun menilai program Smart TV hanyalah pengulangan pola lama.
“Seperti biasa, program-program seperti itu tidak pernah dibicarakan dari bawah, tapi semua atas ide pusat. Smart TV bisa mengalami nasib sama dengan Chromebook, yang tidak banyak dimanfaatkan untuk pembelajaran,” katanya saat dihubungi Mojok, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, pola top-down ini rawan salah arah karena tidak berbasis kajian kebutuhan nyata.
“Mestinya berdasarkan pemetaan dari bawah, bukan suka-suka pejabat pusat—yang ujung-ujungnya ternyata ada niat lain,” ujarnya. Ia juga mengingatkan risiko korupsi jika pola pengadaan semacam ini terus dibiarkan.
Lebih penting lagi, Ubaid menggarisbawahi bahwa ada prioritas lain yang seharusnya dikejar pemerintah: pembiayaan sekolah tanpa pungutan, sesuai amanat Mahkamah Konstitusi, serta peningkatan kualitas guru.
“Kalau dua hal itu tidak dibereskan, percuma bicara digitalisasi,” katanya.
Banyak guru dan sekolah belum siap
Pandangan ini mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat. Tanpa pondasi pendidikan yang kuat, alat canggih bisa saja tidak lebih dari hiasan. Dengan demikian, pertanyaan kunci berikutnya: seberapa siap guru menghadapi perangkat baru ini?
Survei Kominfo (2022) menunjukkan lebih dari 40 persen guru di Indonesia belum merasa percaya diri menggunakan perangkat digital secara rutin dalam pembelajaran, terutama di daerah non-kota. Padahal, literatur internasional seperti laporan OECD menekankan bahwa literasi digital guru adalah syarat mutlak sebelum sekolah dijejali perangkat digital.
Idealnya, semua guru harus siap.
Tapi faktanya, baru sepertiga yang merasa mampu. Artinya, pemerintah sedang mendorong percepatan digitalisasi dengan perangkat bernilai puluhan juta rupiah, sementara SDM yang akan memakainya belum siap sepenuhnya.
Satu unit Smart TV setara 5 tahun gaji guru honorer
Dari sisi biaya, Rp26 juta per unit Smart TV juga menimbulkan pertanyaan. Angka itu setara dengan 52-86 bulan gaji guru honorer yang rata-rata hanya menerima Rp300-500 ribu per bulan. Dengan kata lain, satu unit Smart TV sama dengan gaji 4–7 tahun seorang guru honorer.
Atau, jika mau dibelikan buku saja, misalnya, uang sebesar itu bisa menghasilkan lebih dari 500 eksemplar buku teks pelajaran—cukup untuk melengkapi koleksi satu sekolah menengah.
Bahkan, dengan harga Chromebook edisi edukasi yang sekitar Rp4-5 juta, Rp26 juta bisa dibelikan lima hingga enam laptop yang bisa dipakai langsung siswa dan guru.
Pertanyaan sederhana muncul: lebih bermanfaat mana untuk pembelajaran sehari-hari, satu TV di dinding kelas atau enam laptop yang bisa dipakai interaktif?
Kekhawatiran publik tidak lepas dari pengalaman masa lalu. Pada 2021–2023, pemerintah membagikan lebih dari 400 ribu Chromebook ke sekolah-sekolah. Program itu digadang-gadang bisa mendukung pembelajaran secara daring dan digitalisasi kelas.
Namun, laporan dari lapangan menunjukkan banyak perangkat yang mangkrak karena internet lemah, guru tidak terlatih, dan perawatan tidak jelas. Bahkan ada sekolah yang menyimpan Chromebook di gudang karena tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Hal serupa juga pernah terjadi pada pengadaan laboratorium komputer dan perpustakaan digital di era sebelumnya. Barang datang, pemanfaatan tak berjejak.
Perangkat datang duluan, kesiapan menyusul belakangan
Kritik terhadap pola semacam ini sejalan dengan temuan peneliti Faisal Mustafa dan kawan-kawan peneliti. Dalam risetnya berjudul “The Challenges and Solutions of Technology Integration in Rural Schools” (2023), ia menunjukkan bahwa integrasi teknologi di sekolah pedesaan kerap gagal karena tidak ada pelatihan guru, infrastruktur tidak mendukung, serta pengadaan dilakukan tanpa memperhatikan kebutuhan lokal.
Situasi di Indonesia saat ini mencerminkan pola serupa: perangkat datang lebih dulu, kesiapan menyusul belakangan.
Smart TV tentu punya potensi jika benar-benar digunakan secara konsisten. Dengan akses konten visual yang luas, ia bisa membantu guru memperkaya materi. Tapi tanpa anggaran perawatan dan tanpa kesiapan infrastruktur, bayangan ribuan layar yang hanya menyala ketika pejabat berkunjung bukanlah hal mustahil.
Digitalisasi pendidikan memang tidak bisa dihindari. Dunia berubah, dan sekolah perlu menyesuaikan diri. Tetapi, sebagaimana diungkap Mustafa, “sejarah menunjukkan bahwa transformasi tidak cukup dijalankan dengan menjejali sekolah dengan perangkat baru.”
Tanpa melibatkan guru, murid, dan kebutuhan riil sekolah, program apapun rawan mandek. Smart TV bisa jadi peluang, bisa juga jebakan. Pertanyaannya kini: apakah pemerintah akan belajar dari kegagalan program sebelumnya, atau sekadar mengulang pola lama dengan wajah baru?
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza