Penerimaan Siswa Baru Pastikan Hak Pendidikan Anak Terpenuhi

0
21

Pemerintah harus memastikan anak-anak usia sekolah dapat melanjutkan pendidikan sesuai jenjangnya untuk memenuhi hak pendidikan anak.

Perebutan kursi di sekolah negeri masih menjadi ritual tahunan seleksi penerimaan siswa baru. Daya tampung sekolah negeri terbatas dibandingkan dengan jumlah siswa yang hendak mendaftar, sedangkan sekolah swasta belum juga optimal digandeng untuk mengatasi keterbatasan daya tampung.

Mengatasi daya tampung sekolah negeri yang dianggap ”gratis” atau murah dibandingkan sekolah swasta ditawarkan pemerintah daerah dengan menambah daya tampung. Namun, penambahan daya tampung dengan memperbanyak rombongan belajar (rombel) ataupun jumlah siswa di kelas diharapkan jangan sekadar menyelesaikan masalah akses, tetapi juga sekaligus fokus pada mutu.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji, di Jakarta, Rabu (2/7/2025), mengatakan, penerimaan siswa baru, bahkan lewat sistem SPMB 2025, masih diskriminatif dan belum sepenuhnya memenuhi prinsip perlindungan ”hak semua anak” atas pendidikan. Akibatnya, masyarakat masih sibuk mengalami ”rebutan kursi” di sekolah negeri. Di sisi lain, pemerintah lupa memenuhi kewajiban ”hak semua anak” mendapatkan pendidikan sesuai jenjangnya.

Rata-rata daya tampung SMA negeri di berbagai provinsi hanya sekitar 30 persen. ”Mestinya pemerintah fokus ke 70 persen anak yang tidak tertampung. Namun, tiap tahun tanpa memberikan solusi komprehensif bagi mayoritas anak yang tidak tertampung. Kondisi ini berpotensi mengakibatkan tingginya angka putus sekolah di jenjang SMA dan rendahnya angka partisipasi sekolah,” kata Ubaid.

Sementara itu di Jawa Barat, keterbatasan daya tampung di SMA dan SMK negeri dicoba carikan solusinya oleh Gubernur Jawa Barat Dedy Mulyadi dengan mewacanakan penambahan jumlah murid per kelas dari 36 menjadi 50 murid per kelas. Alasannya untuk menampung anak-anak dari golongan miskin.

”Usulan ini di satu sisi memang mulia karena berupaya memberikan layanan pendidikan untuk semua warga di Jawa Barat yang selama ini tertinggal, tapi di sisi lain juga akan menjadi bumerang bagi pendidikan di wilayah Jawa Barat,” kata aktivis pendidikan Tamansiswa, Darmaningtyas.

Libatkan sekolah swasta
Wacana meningkatkan kapasitas kelas di SMA/SMK negeri di Jawa Barat bisa maksimal menampung 50 siswa per kelas mendapat tentangan dari Forum Kepala Sekolah (FKSS) Provinsi Jawa Barat. Ketua FKSS Jawa Barat Ade D Hendriana mengatakan kebijakan Gubernur Jawa Barat harus mengacu pada kebijakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah. Di Jawa Barat, mayoritas sekolah negeri paling banyak punya 9-10 rombel.

”Masih banyak sekolah swasta yang berperan untuk mencegah anak putus sekolah yang bisa dilibatkan. Dengan menambah rombel yang banyak, bisa berdampak pada mutu pendidikan yang terancam menurun,” kata Hendriana.

Selain itu, bisa berdampak pada guru besertifikat yang kekurangan jam mengajar. Sekolah swasta berpotensi tutup dan berisiko menimbulkan pemutusan hubungan kerja guru dan karyawan jika sekolah swasta tutup bukan karena tidak berkualitas, melainkan karena tidak diberi ruang untuk bersaing.

”Kebijakan menambah rombel di sekolah negeri sebanyak-banyaknya akan membenturkan sekolah negeri dan swasta sehingga berpotensi terjadinya kesenjangan sosial yang semakin tajam dalam dunia pendidikan,” kata Sekretaris Jenderal FKSS Jabar Suhaerudin.

Darmaningtyas memaparkan, dengan jumlah rombel 50 anak dalam satu kelas, tidak mungkin guru dapat mengajar dengan optimal. Selain itu, belum tentu guru dapat memperhatikan perkembangan murid satu per satu.

”Akhirnya yang terjadi adalah formalitas saja bahwa guru sudah mengajar kepada murid-muridnya sesuai dengan jam yang diberikan. Apakah pembelajarannya itu mencerdaskan atau tidak, itu soal lain lagi. Kondisi pembelajaran yang seperti ini jelas akan mengantarkan pendidikan di Jawa Barat akan merosot kualitasnya. Jadi, masalahnya bergeser, dari banyaknya anak usia sekolah yang tidak bersekolah menjadi bersekolah, tetapi minus kualitas,” ujar Darmaningtyas.

Bagi murid sendiri, kata Darmaningtyas, berada dalam satu ruangan dengan 49 murid lainnya tentu bukanlah kondisi yang nyaman. Keramaian dalam satu ruangan tidak terelakkan lagi sehingga konsentrasi murid menjadi terganggu. Hal ini bisa berdampak munculnya demotivasi murid-murid yang memiliki semangat belajar dan ingin maju. Motivasi mereka mengendur karena ketidaknyamanan di dalam kelas.

Masalah lain, kebijakan memperbesar daya tampung murid SMA dan SMK negeri itu juga akan mematikan sekolah-sekolah swasta di wilayah Jawa Barat yang selama ini telah membantu pemerintah daerah mencerdaskan masyarakat. Pemda seharusnya melibatkan sekolah swasta untuk memberikan layanan pendidikan bagi golongan miskin secara gratis, misalnya dengan memberikan bantuan operasional pendidikan (BOP) untuk sekolah-sekolah swasta yang menampung anak-anak dari golongan miskin, dan mereka juga diperjuangkan untuk mendapatkan Kartu Indonesia Pintar (KIP).

”Tidak masalah siswa miskin di sekolah swasta, tapi bisa gratis karena ada dukungan pemda. Dengan begitu, sekolah swasta tetap hidup, anak-anak golongan miskin tetap bersekolah tanpa dibebani biaya, dan kualitas pendidikan, baik di negeri maupun swasta, tetap terjaga,” tutur Darmaningtyas.

Sementara itu, Ubaid menekankan negara wajib membiayai, bukan hanya memberikan bantuan pendidikan. JPPI juga menyoroti ketidakpatuhan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai tafsir Pasal 34 Ayat (2) UU Sisdiknas terkait sekolah tanpa dipungut biaya di SD dan SMP. Menurut JPPI, SPMB 2025 mestinya mengatur skema pembiayaan ’full gratis’ bagi calon murid yang tidak lolos di sekolah negeri dan akhirnya masuk ke sekolah swasta.

Sejak 2022, sekolah itu menjadi salah satu dari 132 sekolah dari tingkat TK hingga SMP swasta yang mengikuti program sekolah gratis dari Pemerintah Kota Semarang. Kebutuhan operasional sekolah, termasuk gaji guru di sekolah-sekolah swasta gratis tersebut dibiayai menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kota Semarang melalui Program Bantuan Operasional Satuan Pendidikan.

Sejak 2022, sekolah itu menjadi salah satu dari 132 sekolah dari tingkat TK hingga SMP swasta yang mengikuti program sekolah gratis dari Pemerintah Kota Semarang.
Namun, aturan SPMB 2025 tidak tegas mewajibkan pemda untuk membiayai anak-anak di sekolah swasta, selain hanya menyinggung dengan kalimat: ”pemda dapat memberikan bantuan pendidikan”. Hal ini menunjukkan rendahnya kemauan politik pemerintah dalam melindungi hak anak atas pendidikan.

”Kalau sekadar memberikan bantuan, periode lalu juga sudah, dan itu jelas dianggap inkonstitusional oleh MK. Jadi, harus dibiayai total kebutuhannya bukan sekadar bantuan parsial,” kata Ubaid.

Secara terpisah, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah Gogot Suharwoto mengatakan, pihaknya mengapresiasi dukungan seluruh pihak, mulai dari dinas pendidikan, Ombudsman RI, orangtua, masyarakat, hingga para pemangku kepentingan lainnya yang telah berperan aktif menjaga kelancaran proses SPMB.

”Kemendikdasmen terus mendorong sinergi antara sekolah dan dinas pendidikan serta seluruh masyarakat dalam rangka memastikan setiap anak mendapatkan haknya untuk mengakses pendidikan secara adil dan setara,” ujar Gogot.

kompas.id

Comments are closed.