Ironi Pelajar Terjebak Judol, Di mana Kehadiran Negara?

0
202

Fenomena pelajar terjerat judi online makin mengkhawatirkan. Lemahnya pengawasan dan literasi digital menjadikan anak muda korban ekosistem judol.

Ada ironi dan aroma kegagalan ketika mendengar fenomena pelajar atau anak-anak terjerat aktivitas judi online alias judol, terus merebak.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman generasi masa depan bangsa berada dalam genggaman mereka sendiri. Kehadiran Negara melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.

Hafizh (19) masih ingat pertama kali diperkenalkan aplikasi judol dari teman sebangkunya di sekolah. Kejadian itu sekitar dua tahun lalu, ketika ia masih duduk di bangku kelas 2 SMK salah satu sekolah di Kabupaten Bogor.

Usai momen itu, Hafizh keranjingan judol hingga menjual barang-barang pribadi milik orang tuanya. Ia sempat menjual tabung gas 3 kg, monitor komputer, bahkan sepeda miliknya. Hal ini sempat membuat Hafizh sering cekcok dengan keluarganya.

“Baru setahun uring-uringan saya putusin udeh nggak bisa lagi, kudu setop. Saya mau lulus,” cerita Hafizh, yang mengaku kepada Tirto sudah tidak lagi bermain judol, ketika dihubungi via telepon, Selasa (28/10/2025) malam.

Serupa kisah kecanduan judol lainnya, dia terjebak karena sempat meraih satu kemenangan besar. Padahal, pemuda asal Bogor itu mengatakan, bila dikalkulasikan, angka kemenangan dan modal yang sudah ia keluarkan untuk deposit judol, sebetulnya dia sudah merugi.

Hafizh membulatkan tekad berhenti judol karena tersadar, ia hendak lulus dari bangku sekolah menengah. Namun ia mengakui, godaan untuk kembali bermain terkadang masih muncul. Apalagi, kata dia, tak pernah ada kesulitan bagi anak-anak mengakses situs atau aplikasi judol lewat ponsel pintar yang mereka miliki.

“Promonya aja di YouTube, TikTok, atau Twitter (sekarang X) lah misalnya, itu gila-gilaan. Nempel sana-sini itu iklan judol, tinggal klik masuk situsnya nggak keblokir,” terang Hafizh.

Kisah lain dibagikan guru di salah satu SMA swasta di Kota Depok, sebut saja Alda. Ia mengaku sempat disambati oleh salah satu wali murid yang anaknya kecanduan judol. Ini menjadi tantangan yang tak mudah diselesaikan karena mesti membujuk murid tersebut tak lagi bermain judi.

Menurut pria 28 tahun itu, anak-anak yang kecanduan judol tidak bisa langsung dirampas ponsel atau dihukum keras. Hal tersebut biasanya akan direspons dengan agresif dan justru menambah besar persoalan.

Berbeda dengan kecanduan gim, kata Alda, untuk membantu murid lepas dari judol, perlu melakukan pendekatan secara emosional. Alda misalnya menyadarkan bahwa perekonomian milik keluarga anak itu akan hancur jika terus-menerus bermain judi.

“Perlahan anak itu menyadari juga, intinya jangan dikasih opsi masih bisa punya duit, bisa pinjam, bisa ngutang, jangan dibuka opsinya. Teman-temannya pun membantu, jadi ini anak yang kecanduan, ya korban bisa dibilang,” ungkap Alda kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10/2025), di kesempatan terpisah.

Fenomena anak-anak sekolah keranjingan judol adalah alarm keras agar upaya pemerintah membasmi penyakit masyarakat ini perlu terus digenjot. Tak cukup menangkap pemain atau operator judol kelas teri, penegak hukum mesti berani menyikat bandar-bandar judi besar.

Provinsi dengan pelaku judi online terbanyak nasional

Warga melihat iklan judi online melalui gawainya di Bogor, Jawa Barat, Rabu (26/6/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/foc.

Lihat bagaimana dampak dari judol menyasar seorang bocah SMP di Kokap, Yogyakarta. Ini bermula dari informasi yang diberikan Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Ahad, 26 Oktober 2025 lalu. Diberitakan, seorang siswa SMP di Kokap kecanduan bermain judi online hingga terlilit utang pinjaman online (pinjol).

Karena terlilit utang pinjol, anak tersebut takut untuk datang ke sekolah. Dari informasi yang dihimpun Tirto, anak tersebut memakai Nomor Induk Kependudukan (NIK) bibinya untuk mengakses jasa pinjol. Karena tak juga mampu melunasi utang, bocah itu meminjam uang teman-temannya hingga sekitar Rp4 juta.

Kejadian-kejadian di atas merupakan potret buram dunia pendidikan dan penegakan hukum kita yang masih ‘tak kuasa’ menghadapi gempuran aktivitas judol. Tahun lalu, PPATK pernah melaporkan, total uang perputaran aktivitas judol mencapai Rp1.200 triliun.

November 2024 silam, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkap bahwa tercatat sekitar 200 ribu pelajar berusia di bawah 19 tahun memiliki indikasi terpapar aktivitas judi online. Sekitar 80 ribu pelajar itu berada pada jenjang usia di bawah 10 tahun.

Data kuartal satu Tahun 2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain judol berusia 10-16 tahun lebih dari Rp2,2 miliar.

Sementara usia 17-19 tahun mencapai Rp47,9 miliar dan deposit yang tertinggi, usia antara 31-40 tahun yang mencapai Rp2,5 triliun.

Mirisnya, 71,6 persen masyarakat yang melakukan judi online berpenghasilan di bawah Rp5 juta dan memiliki pinjaman di luar pinjaman perbankan, koperasi serta kartu kredit. Terbukti, pada tahun 2023 dari total 3,7 juta pemain, sebanyak 2,4 juta di antaranya punya pinjaman itu. Angka tersebut naik pada 2024 menjadi total 8,8 juta pemain judol dengan 3,8 juta di antaranya memiliki pinjaman.

Butuh Perhatian Nyata Negara

Peneliti Bidang Sosial dari The Indonesian Institute (TII), Made Natasya Restu Dewi Pratiwi, menyatakan judol dan pinjol ilegal merupakan persoalan yang rentan merugikan kelompok muda, termasuk pelajar. Keduanya berkelindan dan dapat tumbuh subur karena kemudahan akses digital, lemahnya pengawasan platform, serta rendahnya literasi finansial dan digital di kalangan remaja.

“Banyak pelajar mudah terjebak dalam siklus ‘high risk–high reward’ yang ditawarkan oleh judi online dan ketika mengalami kerugian, mereka akhirnya mencari jalan pintas lewat pinjol ilegal untuk menutup kerugian,” ujar Natasya kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10).

Siklus pinjol-judol adalah fenomena gawat karena membentuk pola perilaku impulsif, adiktif, serta berdampak pada kesehatan mental maupun relasi sosial anak-anak. Dari pengalaman advokasi dan telaah artikel ilmiah yang Natasya lakukan, siklus itu dapat berawal dari rasa ingin mendapatkan keuntungan cepat yang gagal dirasionalkan.

Biasanya dipicu akibat pengetahuan yang rendah, tekanan sosial (lingkungan pergaulan dan keluarga), bahkan dapat bermula dari dorongan ekonomi, termasuk gaya hidup.

“Ironisnya, rendahnya pengawasan platform digital, literasi digital, literasi keuangan digital dan manajemen keuangan bagi pelajar juga membuat praktik judi dan pinjol dalam bentuk game online atau model lainnya sulit disadari oleh pelajar,” terang Natasya.

Fenomena judol kalangan pelajar mencerminkan kerentanan baru era digital. Potensi adiksi, eksploitasi finansial, dan ketimpangan literasi bagi remaja bakal semakin besar. Pemerintah perlu memastikan kebijakan bersifat adaptif, lintas sektor, dan berbasis pemulihan psikologis

Mayoritas pelajar mengenal judi online dari media sosial secara mandiri, paparan informasi teman sebaya, ataupun terpengaruh oleh lingkungan terdekatnya. Berdasar berbagai studi, kata Natasya, terdapat pelajar yang memilih bermain judol secara sadar karena motivasinya sendiri sebagai strategi pemecahan masalah atau mengatasi kesedihan yang dialami akibat kerugian finansial.

“Pelaku yang terjerat judol masih kerap distigma publik dengan anggapan sebagai kriminal. Padahal, pada beberapa kasus terdapat pelaku judol yang berakar dari masalah ekonomi bahkan psikologis dan bahkan kurangnya pengetahuan dan kesadaran,” ujar dia.

Pekan lalu, Komdigi menyatakan nilai deposit judi online pada semester pertama 2025 sudah mencapai Rp17 triliun. Sepanjang 2025, Komdigi sudah melakukan penanganan terhadap lebih dari 7,2 juta konten perjudian daring. Namun, fenomena ini diakui memang terus berevolusi dengan cepat.

“Kami sudah memblokir jutaan konten, tapi yang tumbuh juga tak kalah cepat. Ini tantangan global yang menuntut kerja bersama,” ujar Safriansyah yang mewakili Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi Alexander Sabar, di Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Ia menambahkan, kerugian akibat praktik judi daring tidak hanya bersifat finansial, tetapi juga sosial. “Praktik ini merambah berbagai lapisan masyarakat, menghancurkan ekonomi keluarga, dan merusak masa depan generasi muda,” tutur dia.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Strategi dan Kebijakan Pengawasan Ruang Digital Komdigi, Muchtarul Huda, menjelaskan upaya pemerintah berlandaskan kerangka hukum yang kuat seperti UU ITE, UU PDP, hingga PP 71/2019. Namun, imbuhnya, regulasi saja tidak cukup.

“Kita butuh AI-based detection system, integrasi database lintas instansi, serta kerja sama internasional dalam mengurangi masifnya perjudian daring di Indonesia,” kata Huda.

Dalam konteks pemberantasan judi daring, Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) kerap dijadikan kambing hitam atas maraknya praktik transaksi perjudian daring. Padahal, dalam ekosistem tersebut, layanan keuangan tidak berada di hulu, melainkan di tahap akhir, yang kerap disalahgunakan pelaku untuk memanfaatkan netralitas sistem pembayaran digital.

Untuk itu, kata Huda, diperlukan kolaborasi antara Komdigi, industri pembayaran, PPATK, dan Polri yang mencakup aksi pemblokiran rekening mencurigakan, sistem deteksi transaksi ilegal, dan kampanye literasi keuangan yang masif.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyatakan persoalan utamanya adalah judol masih sangat mudah diakses melalui internet, dan tanpa persyaratan usia yang ketat.

Pelajar di masa pencarian pengakuan atau tergoda dengan gaya hidup instan, bisa terjerat oleh iklan dan iming-iming kemenangan besar yang ditampilkan di media sosial atau saat bermain gim online.

“Banyak kasus bermula dari gim online yang kemudian bergeser ke judi online,” kata Ubaid kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10).

JPPI mendesak pemerintah segera mengambil langkah komprehensif dan sistematis untuk mengatasi fenomena pemain judol di kalangan pelajar. Hal ini merupakan bentuk kegagalan sistem perlindungan anak dan masa depan bangsa.

Sistem pendidikan mesti lebih adaptif terhadap ancaman digital. Tidak cuma mengajarkan akademik, namun juga pendidikan karakter dan kesehatan mental. Karenanya, pemerintah diminta mempercepat dan mengakselerasi pemblokiran situs serta aplikasi-aplikasi judol.

“Penegakan hukum terhadap bandar dan penyedia pinjol ilegal juga harus dilakukan secara tegas dan transparan agar menimbulkan efek jera,” tegas Ubaid.

tirto.id

Comments are closed.